Scroll keatas untuk lihat konten
OPINIHEADLINESPOLITIK

Politik Dinasti Wajah Asli Demokrasi

×

Politik Dinasti Wajah Asli Demokrasi

Sebarkan artikel ini

Oleh: Stela Abdullah | Mahasiswa

OPINI,mediasulutgo.com — Lagi dan lagi, terjadi perombakan persyaratan calon pejabat pemerintah yang berhasil menggegerkan publik layaknya kemarin dengan kasus serupa. Lucunya, jika kemarin sang kakak yang menjadi bahan kontroversi, kini sang adik yang menjadi objeknya. Jika kemarin keributan terjadi dalam MK, kini hal serupa terjadi dalam MA dimana MA menyatakan bahwa pasal 4 ayat (1) dalam Peraturan KPU RI Nomor 9 Tahun 2020 tentang pencalonan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati dan atau wali kota dan wakil wali kota.

Sebelumnya, bunyi pasal 4 ayat (1) huruf d: berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak penetapan Pasangan Calon.

Advertisement
Scroll kebawah untuk lihat konten

Aturan tersebut kemudian diubah oleh MA menjadi: Berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak pelantikan pasangan Calon terpilih. Peneliti dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Aisah Putri Budiarti mengatakan bahwa putusan MA itu membuka pintu bagi Kaesang Pangarep yang baru akan berusia 30 tahun pada Desember mendatang untuk mencalonkan diri dalam pilkada tingkat Provinsi dikutip dari bbc.com (2/6/2024).

Putusan ini lantas menimbulkan banyak polemik ditengah masyarakat, ada yang pro juga ada yang kontra. Namun, banyak yang berpandangan bahwa adanya keputusan ini tdak lain adalah untuk mengutak-atik peraturan perundang-undangan guna memenuhi kebutuhan kelompok tertentu.

Sehingganya tidaklah mengherankan ketika publik hari ini seringkali menyematkan sebutan MK sebagai Mahkamah Kakak serta MA sebagai Mahkamah Adik dalam berbagai cuitan juga postingan atau konten yang banyak dimuat dimedia sosial.

Wajah Asli Demokrasi

Lahirnya putusan MK juga MA pada kenyataannya sangatlah mendukung langgengnya kekuasaan politik dinasti yang juga menjadi wajah asli demokrasi. Batasan berkuasa yang hanya selama dua periode (tidak boleh lebih) menjadikan politik dinasti sebagai jalan satu-satunya agar rezim tetap dapat berkuasa.

Politik dinasti sendiri memiliki definjsi rantai kekuasaan yang di jalankan atau di turunkan oleh segelintir orang yang mempunyai hubungan keluarga. Politik dinasti itu juga seringkali disebut dengan politik kekerabatan dan banyak melibatkan orang dalam.

Politik kotor pun dijalankan guna memuluskan jalan para politikus sekalipun aturan seringkali harus direvisi. Politik dinasti tumbuh subur bahkan menjadi sesuatu yang dilumrahkan dalam negeri hari ini, terbukti dari bagaimana pergantian rezim berurutan dalam satu ikatan darah.

Demokrasi meniscayakan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau pihak tertentu. Kekuasaan menjadi alat legitimasi, mengalahkan supremasi hukum. Penguasa hari ini dapat dengan leluasa merevisi bahkan meniadakan suatu kebijakan menurut kepentingan pribadi, menafikkan otoritas hukum sebagai aturan tertinggi. Kesimpulannya, penguasa yang mengendalikan hukum bukan lagi hukum yang mengendalikan penguasa.

Padahal sejatinya sebuah hukum dibuat dengan tujuan untuk memberikan keadilan serta menjamin keteraturan dalam suatu negara, namun justru disalahgunakan.

Adapun praktik politik dinasti ini tidak hanya terjadi secara tunggal saja, namun sudah menyentuh level jamak sebab yang menjalankan politik dinasti tidak hanya satu keturunan kekerabatan saja melainkan ada beberapa.

Tidak hanya oleh petinggi sekelas presiden bahkan hingga sekelas aparat desa juga ada yang melakukan politik dinasti ini. Tidak hanya disatu daerah, namun banyak juga diberbagai daerah.

Jika sudah banyak yang menjalankan, bukankah ini akan langgeng? Lantas mengapa banyak dari para politikus hari ini yang gemar sekali berkecimpung dalam kubangan politik dinasti?

Hal ini jelas tidak lain berkolerasi dengan tujuannya dalam memperoleh keuntungan. Terlebih bagaimana sistem kapitalisme sekularisme yang menggerogoti negara sekaligus individu-individu didalamnya, sehingga sangat logis ketika hal semacam politik dinasti tumbuh lagi subur.

Aturan agama yang dipisahkan dari kehidupan menjadikan individu menjadi nir-akhlak, tanpa memandang politik seperti ini sesuai dengan perintah Allah atau tidak. Selama mampu memberikan keuntungan akan diambil sekalipun harus menghalalkan segala cara.

Alhasil, kekuasaan hari ini telah keluar dari tujuan yang seharusnya yakni menjamin hajat hidup masyarakat yang justru menjadi menjamin hajat hidup penguasa. Penguasa elit, masyarakat sulit.

Miris bukan? Hukum yang seharusnya berada pada kedudukan tertinggi, kini harus tunduk menyesuaikan kepentingan dinasti. Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat hanyalah slogan tanpa arti oleh demokrasi itu sendiri.

Namun realisasinya adalah keseluruhannya hanya diperuntukkan bagi penguasa dalam keuntungan sedangkan masyarakat hanya mendapatkan remahan-remahan juga kerugian.

Tradisi buruk

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *