Tragedi Kanjuruhan, Antara Fanatisme dan Represif
Oleh : Ayu Moidady (Mahasiswa Arsitektur)
OPINI, mediasulutgo.com — Sudah lama rezim di negeri ini seolah memandang remeh nyawa warganya. Ratusan manusia yang kehilangan nyawa dianggap tidak berharga oleh Negara.
Paling tidak hal itu berlangsung sejak pembunuhan puluhan orang yang terduga terorisme (seperti pembunuhan Siyono pada tahun 2016), meninggalnya lebih dari 850 petugas KPPS pada Pemilu 2019 lalu, pembunuhan terhadap 6 laskar FPI pada tahun 2020, hingga pembantaian lebih dari 130 orang penonton atau suporter sepakbola di Stadion Kanjuruhan Malang baru-baru ini.
Dalam kasus terakhir tragedi kanjuruhan. Fakta terbaru dilansir dari (CNN Indonesia) BPBD Jawa Timur mencatat 174 jiwa meninggal dunia dan 298 korban luka ringan. Adapun sejumlah 11 jiwa luka berat dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan Malang. Data ini didapatkan BPBD Jawa Timur pada Minggu (2/10).
Tidak bisa dibayangkan Jumlah korban sebanyak ini tentu sangat memilukan bagi keluarga yang ditinggalkan. Apalagi, rata-rata korban meninggal atau terluka akibat kehabisan nafas dan terinjak-injak sesamanya.
Terbayang, saat ribuan orang menghadapi ancaman kematian yang tiba-tiba datang. Sementara saat itu mereka, yang mayoritas kaum milenial, sedang berada dalam kesia-siaan bagaikan tiada arti sama sekali.
Pun juga diantara dari mereka tewas bukan akibat kerusuhan antar suporter. Tragisnya, gas air mata tersebut ternyata sudah kedaluwarsa.
Efeknya, sebagaimana kata seorang pengamat ahli kimia, jauh lebih berbahaya. Faktanya, ratusan orang harus meregang nyawa dengan tewas secara tidak wajar. Semua ini seolah membantah klaim polisi bahwa tewasnya ratusan suporter tersebut bukan karena tembakan gas air mata, padahal sudah jelas-jelas banyak korban tewas akibat tembakan gas air mata.
Di sisi lain, klaim Presiden yang menyebut seolah-olah ketidaklayakan stadion tersebut sebagai penyebab utama tewasnya ratusan suporter tentu tidak bijak. Apalagi Presiden sama sekali tidak menyinggung bahkan tidak menyalahkan pihak aparat kepolisian yang nyata-nyata telah melakukan tindakan yang melanggar hukum.
Yang lebih ironis, sampai saat ini tak ada satu pun dari pihak pemerintah yang mau bertanggung jawab.
Potensi yang Diasingkan
Tragedi tragis di Kanjuruhan disebut-sebut sebagai insiden terburuk kedua sepanjang sejarah liga sepak bola di dunia. Pada Mei 1964 pernah terjadi kerusuhan mematikan antar pendukung tim Peru dan Argentina. 318 orang tewas, dan lebih dari 500 orang luka-luka.
Bukan rahasia, jika pertandingan sepak bola cenderung melahirkan fanatisme buta suporternya.
Di Indonesia, kisruh sepak bola pun sudah menjadi hal biasa. Hanya sebelum-sebelumnya, tidak sampai menelan banyak korban jiwa.
Media asing bahkan menyorot secara khusus tradisi rusuh persepak bolaan di Indonesia. The New York Times (2/10/2022) menulis, “Soccer violence has long been a problem for Indonesia, where violent, often deadly rivalries between major teams are common. Flares are often thrown on the field, and riot police are a regular presence at many matches. Since the 1990s, dozens of fans have been killed in soccer-related violence.” (Kekerasan sepak bola telah lama menjadi masalah bagi Indonesia, persaingan sengit dan seringkali mematikan antara tim-tim besar sering terjadi. Suluh api (bom molotov) sering dilemparkan ke lapangan, dan polisi antihuru-hara selalu hadir di banyak pertandingan. Sejak 1990-an, puluhan penggemar tewas dalam kekerasan terkait sepak bola).
Sebagaimana Yang ditulis The New York Times memang benar adanya. Kehadiran aparat pada setiap pertandingan sepak bola di Indonesia mengonfirmasi besarnya potensi rusuh antar suporter yang sudah dibaca pihak penguasa. Apalagi, untuk di Kanjuruhan, aparat sampai bersiap membawa gas air mata. Padahal, penggunaannya telah dilarang FIFA. Sayangnya, negara seakan abai terhadap fakta yang ada. Bahkan, cenderung membiarkan potensi buruk akibat fanatisme buta ini dengan terus menggelar berbagai liga. Pertanyaannya, kenapa bisa?