Scroll keatas untuk lihat konten

OPINIHEADLINES

Tenaga Pendidik Jadi Predator Pelecehan Seksual, Akibat Agama Ditempatkan Hanya Sekedar Ritual

×

Tenaga Pendidik Jadi Predator Pelecehan Seksual, Akibat Agama Ditempatkan Hanya Sekedar Ritual

Sebarkan artikel ini

Oleh: Rayyan Kinasih

OPINI,mediasulutgo.com — Lembaga pendidikan untuk kesekian kalinya kembali tercoreng integritasnya oleh kasus pelecehan seksual yang semakin hari semakin tumbuh subur di tempat–tempat yang katanya tempat teraman bagi mereka hendak menimbah ilmu. Saking suburnya, jika dibuatkan daftar kasus pelecehan seksual di Indonesia, kertas yang berisi daftar tersebut sudah tidak sanggup lagi untuk memuatnya. Dan sekali lagi, kasus kekerasan seksual yang baru-baru ini terjadi di salah satu sekolah di Provinsi Gorontalo kembali menambah daftar panjang tersebut. Melansir dari Go-Pena.id, kasus pelecehan ini terjadi di SMAN 1 Suwawa yang terletak di Kabupaten Bone Bolango. Sang korban berinisial AH yang merupakan seorang siswi, mengungkapkan bahwa ia telah 2 kali di lecehkan tepatnya pada tanggal 24 dan 25 Februari 2025 oleh gurunya sendiri (RA) yang saat itu mengajar mata pelajaran ekonomi dan prakarya sekaligus merangkap menjadi pembina OSIS.

Dengan iming-iming perbaikan nilai, korban di minta datang ke ruang osis, yang pada aslinya di momen itulah sang guru melancarkan aksi bejatnya pada gadis berumur 18 tahun tanpa merasa berdosa. “Saya mulai dipegang-pegang oleh pelaku dan dikasih tidur di atas matras. Pakaian dalamnya saya juga dikasih keluar. Saya berusaha melawan tapi tenaga saya tidak cukup kuat untuk melakukan perlawan disitulah dia setubuhi saya,” ungkap korban.

Advertisement
Scroll kebawah untuk lihat konten

Sungguh miris, guru yang seharusnya menjadi role model, sebagaimana pepatah jawa ‘guru itu digugu dan ditiru’; juga orang tua di sekolah; dan sebagai tongkat estafet guna meraih mimpi di masa depan, nyatanya merekalah orang pertama yang menengelamkan mimpi indah tersebut sekaligus merampas kehormatan anak muridnya sendiri secara paksa. Hingga rasanya kesal jika di setiap muncul kasus pelecehan seksual, pelaku kerap kali di bumbui dengan embel-embel oknum, oknum, dan oknum, padahal data dan fakta di lapangan menunjukkan ratusan kasus serupa, sampai sulit untuk dikatakan bahwa ini hanya dilakukan oleh satu atau dua orang saja.

Menurut Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), sepanjang tahun 2024, ada 101 korban kekerasan seksual di sekolah dengan 69% dari populasi adalah laki-laki dan 31% adalah perempuan. Terdapat 62,5% kasus kekerasan terjadi di SMP, MT, dan Ponpes; dan 37,5% kasus lainnya terjadi di SD dan MI. Ini hanya sebagian yang terdata oleh FSGI dari Januari hingga Agustus 2024, dan mungkin lebih banyak lagi jika ditambah dengan kasus yang disembunyikan. Angka ini sudah cukup tinggi bagi sebuah lembaga terhormat yang di isi oleh orang-orang yang katanya intelektual. Lantas dimanakah letak kesalahan pendidikan hari ini hingga membuat image guru yang sedemikian kerennya justru beralih menjadi predator seks yang menakutkan? Apakah ini hanya salah individunya atau justru ada sebuah sistem besar yang terus memelihara tindakan bejat ini agar tetap tumbuh subur bahkan merambat ke institusi pendidikan?

Sudah menjadi rahasia umum bahwa model sistem pendidikan Indonesia seperti hari ini telah menjadi sasaran empuk para kritikus. Penyelenggara pendidikan yang hanya berorientasi pada nilai dan angka, membuat peran guru kini hanya sekedar transfer ilmu saja, tidak lagi di iringi dengan transfer karakter. Ini membuat siswa tidak dapat melihat guru sebagai panutannya lagi. Siswa hanya terus di gembar-gembor untuk menghasilkan nilai yang tinggi; diajarkan bagaimana cara mencetak prestasi yang membanggakan guna mendapatkan piala yang besar dan banyak agar bisa di pajang di dinding sekolah, tapi tidak mereka tidak di ajarkan bagaimana menjadi pelajar baik yang sesungguhnya; karakter dan akhlak seperti apa yang seharusnya di miliki oleh seorang siswa dalam bermasyarakat dan lain sebagainya, yang hal itu hanya bisa didapatkan dari penanaman dan pengajaran nilai-nilai spritual dan moral.

Inilah yang disebut sebagai sistem pendidikan sekuler—sistem yang menguatamakan aspek materialistik dan individualistik dan meminggirkan pendidikan moral dan agama pada generasi muda. Hal ini menyebabkan siswa kehilangan nilai-nilai seperti etika, kejujuran, ketekunan, integritas, tanggung jawab, sopan santun, dan empati, yang pada akhirnya mendorong mereka berperilaku yang tidak semestinya seperti asusila dan tindak amoral lainnya. Dan ini tidak ada bedanya dengan yang dialami guru hari ini, bukankah guru yang mengajar di sekolah-sekolah juga melewati pendidikan tingkat SD, SMP, SMA bahkan Universitas yang juga menganut sistem pendidikan serupa? Maka tidak mengherankan bahkan ketika mereka telah menjadi tenaga pendidik sekalipun, karakter yang mereka bawa masih merupakan karakter hasil bentukan sistem pendidikan sekuler tersebut di masa lalu. Sekali lagi, sungguh ironi yang luar biasa jika di tengah-tengah mimpi untuk memajukan pendidikan Indonesia, dunia pendidikan masih di isi oleh tenaga-tenaga pendidik yang bahkan tidak layak untuk di sebut Guru—gelar yang sungguh mulia dalam Islam.

Selain sistem pendidikan Indonesia yang salah kaprah, aksi kekerasan seksual juga dapat dipicu oleh maraknya konten pornografi yang tersebar di sosial media. Karena aksesnya begitu mudah dan tidak ada filter yang tegas dari pemerintah, maka siapa pun bisa berselancar di dalamnya kapanpun dan dimanapun, tak terkecuali bagi mereka yang memiliki status-status terhormat seperti guru dan anak-anak yang masih belum cukup umur. Tontonan dan konten seperti ini dapat merusak struktur dan fungsi otak bagi para pengonsumsinya. Salah satu efek utama dari seringnya menonton pornografi adalah aktivasi sistem dopamin di otak menjadi berlebihan. Dopamin adalah neurotransmitter yang mengatur kenikmatan dan keinginan. Ketika seseorang mengonsumsi pornografi secara terus menerus, dopamin akan dilepaskan dalam jumlah berlebih ke bagian otak yang disebut area korteks prefrontal. Alhasil, area tersebut menjadi terendam dopamin dan menyebabkan korteks prefrontal menjadi tidak aktif, ukurannya mengecil, dan fungsinya menjadi terganggu. Padahal area korteks prefrontal bertanggung jawab atas pengambilan keputusan dan kontrol diri. Apabila area otak ini rusak, maka kemampuan seseorang untuk mengendalikan dorongan dalam diri mereka menjadi berkurang sehingga berpotensi melakukan tindakan bejat seperti pelecehan.

Ini adalah bukti bahwa negara tidak mampu menunaikan tugasnya untuk melindungi rakyat terutama anak-anak dari bahaya pelecehan seksual, baik yang masuk dari pintu pendidikan ataupun sosial media. Kalaupun ada upaya penanganan yang dikeluarkan oleh pemerintah itu tetap tidak mampu menyentuh akar permasalahan sebenarnya. Beginilah negara dengan profil sistem sekulerisme, karena memisahkan agama dari kehidupan, ketika mecanangkan aturan atau solusi dari suatu persoalan yang berkaitan dengan kehidupan duniawi seperti sistem sosial (dalam hal ini sosial media) maupun pendidikan, tidak boleh ada campur tangan agama di dalamnya. Solusi dengan model seperti ini sebenarnya sudah sering dilakukan. Ketika angka penyakit menular seksual meningkat, legalkan saja alat kontrasepsi bagi remaja, dengan begitu masalah selesai atau jika mencuat kasus pelecehan di lembaga-lembaga pendidikan, luncurkan saja tim penanganan tanpa berpikir bahwa pencegahanlah—langkah yang paling fundamental untuk diambil daripada bergerak saat nasi sudah jadi bubur. Ibarat menutup lubang masalah satu dengan menumpuknya menggunakan masalah yang lain, namun tidak pernah benar-benar niat memusnahkannya.

Dengan demikian, sistem sekuler telah terbukti gagal, bukan hanya dalam hal melindungi tapi juga ketika menetapkan solusi dari suatu permasalahan. Oleh karena itu, perlu adanya sistem kehidupan yang mengatur kehidupan masyarakat secara komprehensif. Jika sistem sekuler gagal karena menghalalkan penghilangan agama dari kehidupan, maka untuk menyelematkan negeri ini, perlu mengembalikan agama hadir di tengah-tengah kehidupan, dan tidak ada agama yang sesempurna Islam—agama yang bukan hanya sekedar mengatur perkara ritual tapi juga mengatur manusia dalam menjalani kehidupan di dunia. Untuk mencegah pelecehan seksual, sistem Islam memiliki mekanisme yang dibagi menjadi tiga bagian yang saling berkaitan, yaitu sistem pergaulan, sistem pendidikan, dan sistem sanksi.

Daripada berpikir tindakan apa yang di ambil setiap kali pelecehan telah terjadi, mari mencari akar permasalahannya dan mencabut akar tersebut sebelum ia tidak tumbuh semakin besar. Dalam hal ini, sistem pergaulan yang menjadi ujung tombak permasalahan, harus di atur dengan aturan Islam terkait hubungan antara laki-laki dan perempuan karena ini merupakan pintu masuk paling awal menuju zina. Dalam Islam, jemaah perempuan dipisahkan dari jamaah laki-laki, kecuali dalam hal-hal yang berkaitan dengan alasan syar”i seperti muamalah, pendidikan, pengadilan, dan ibadah haji & umrah. Selain itu, Islam melarang laki-laki dan perempuan berdua-duaan (berkhalwat). Bagi maing-masing individu, baik perempuan maupun laki-laki diperintahkan untuk menundukkan pandangan. Terkhusus untuk perempuan diwajibkan untuk menutup auratnya dengan pakaian sempurna, seperti jilbab dan khimar. Mereka juga dilarang melakukan perjalanan selama sehari semalam kecuali jika mereka disertai oleh mahram dan memiliki izin dari wali mereka.

Sama halnya dengan sistem pergaulan yang di atur menggunakan agama Islam, maka ini juga berlaku pada sistem pendidikan. Pendidikan haruslah berlandaskan akidah Islam, menjadikan fokus pembelajaran bukan hanya terbatas pada aspek teori akademik saja, namun juga terkait dengan amal perbuatan—mencakup pendidikan karakter, moral, dan nilai-nilai untuk membentuk generasi ber-syakhshiyah Islam. Islam dipelajari untuk dipahami dan diterapkan untuk kemaslahatan umat, bukan demi nilai dan angka yang menguntungkan individu semata. Sehingga ketaatan pada aturan Islam yang hadir dalam kehidupan sehari-hari merupakan buah dari keimanan—setiap individu akan berusaha taat dan terikat dengan syariat tiap saat.

Tidak hanya itu, negara akan melarang semua alat yang memicu diskusi seksual dan menimbulkan gejolak syahwat. Media massa yang menyiarkan konten mesum dan melanggar undang-undang akan ditindak tegas. Pornografi, pornoaksi, dan pornoliterasi dianggap sebagai musuh bersama. Oleh karena itu, masyarakat juga ikut memikul tanggung jawab untuk menjaga dan memilihara masyarakat secara keseluruhan sebab amar makruf nahi mungkar adalah kewajiban dan telah menjadi kebiasaan bagi masyarakat Islam.

Namun jika kasus pelecehan seksual tetap terjadi, negara akan memberlakukan sistem sanksi yang tegas. Tegasnya sanksi bukan saja menimbulkan efek jera pada pelaku, tapi juga masyarakat lain agar tidak melakukan hal yang sama karena melihat ngerinya hukuman yang diberikan, seperti bagi pelaku zina baik laki-laki dan perempuan yang belum menikah akan dihukum seratus kali cambukan, dan pelaku zina yang sudah menikah akan dirajam sampai mati. Sedangkan aktivitas yang melanggar kehormatan, seperti perbuatan cabul (pornografi, pornoaksi, dan pornoliterasi), atau pelanggaran atas kesopanan yang tidak ditetapkan oleh Allah—dijatuhkan hukuman takzir yang jenis dan kadarnya akan diputuskan oleh khalifah. Dengan demikian, upaya meningkatkan ketakwaan individu, pengontrolan terhadap masyarakat, dan pemberlakuan sistem Islam yang dilakukan oleh negara akan menjadi langkah konkret untuk mengatasi pelecehan seksual yang hari ini tiada kunjung usai.(*)

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *