Paling tidak, dalam konteks sinisme pada jenis personality seperti ini, umumnya melanda pada seseorang yang terserang Post Power Syndrom. Hal itu bisa terjadi, karena kurangnya penghayatan terhadap nilai-nilai kehidupan yang hakiki. Itulah sebabnya, ada yang berpendapat, bahwa sinisme “orang biasa” yang berpotensi melahirkan pesimisme itu masih bisa ditolerir dan diobati. Berbeda dengan sinisme “orang besar” yang boleh disebut sangat berbahaya dan tercela. Mengapa?, karena angkuh dan sombong itu bukan “pakaiannya” manusia, melainkan hak atau pakaiannya Sang Maha Pencipta, Penguasa alam semesta Allah SWT. Oleh karena itu, mawas diri, kemudian asupan nilai-nilai spiritual sangat urgen untuk dimanifestasikan ke dalam ruang kehidupan sehari-hari.
Sinisme yang selalu memandang diri yang paling benar, paling berprestasi, paling hebat, paling berjasa sehingga melupakan kebaikan, prestasi dan kelebihan orang lain, kesemuanya itu merupakan potret individu yang “kebablasan”, lupa diri dan kehilangan esensi kemanusiaan yang cukup parah bahkan mengerikan.
Disebut demikian, karena secara kudrati, setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan, sebagaimana ada siang ada malam. Dengan begitu, tidak ada alasan bagi siapapun untuk memandang dirinya yang paling hebat, paling bepengaruh dan berprestasi sehingga meremehkan orang lain. Dalam konteks ini, bahwa siapapun yang terlahir ke muka bumi, memiliki hak dan potensi yang sama untuk meraih kebaikan, menggapai sukses dan berprestasi dalam bidang masing-masing. Demikian juga, bahwa kebaikan, kesuksesan dan prestasi bukanlah monopoli orang per orang, tapi disediakan dan berpotensi untuk diraih oleh semua orang.
Yang berbeda adalah eksistensi kemanusiaan seseorang berdasarkan rentetan waktu dan masa, sebagaimana ungkapan yang mengatakan, “Setiap orang ada masanya, setiap masa ada orangnya”. Jika cahaya kehidupan mulai dirasakan meredup, maka itu adalah isyarat “cahaya nurani yang sejatinya dipertajam”, bukan sebaliknya, sibuk “memadamkan cahaya” orang lain”. Semoga. (***)