Scroll keatas untuk lihat konten
OPINIHEADLINES

SINISME

×

SINISME

Sebarkan artikel ini

Karena sangat terkait erat dengan aspek kejiwaan, spiritual dan moralitas, maka sinisme berpotensi disandang oleh siapapun,tanpa mengenal status sosial seseorang. Namun sinisme pada diri sendiri dan orang lain, umumnya sangat potensial akan menggejala pada 2 personal dengan status sosial yang berbeda ; yakni ; Pertama, mereka yang merasa berada pada posisi “tidak berdaya” merasa miskin misalnya, merasa tidak punya pendidikan yang memadai, merasa sebagai orang kampungan dan sebagainya. Kedua, mereka atau individu yang dikategorikan sebagai “elite” yang sudah mapan atau pernah merasakan kemapanan sebagai “orang besar”.

Jenis manusia pertama akan selalu sinis pada dirinya, jika berbicara tentang masa depan atau tentang kesuksesan. Ia mislanya akan merasa sinis, bahwa dewi fortuna tidak akan pernah berpihak kepadanya untuk masuk menjadi seorang “pilot”,karena tidak memiliki biaya dan sebagainya. Juga, mereka atau individu seperti ini, akan cenderung bersikap sinis terhadap orang lain yang status sosialnya lebih tinggi dari dirinya. Contoh ungkapan yang sering terlontar, “mana mungkin dia mau berteman dengan orang miskin seperti saya” misalnya. Padahal, belum tentu apa yang bergelayut dalam pikirannya itu menggejala pada orang lain. Artinya, ia sama sekali tidak menghadirkan pikiran positif bahwa orang kaya juga butuh teman yang memiliki kesederhanaan misalnya. Itulah sebabnya, sinisme yang mengidap pada jenis manusia pertama ini, cenderung akan melahirkan “pesimisme akut” yang semakin membuatnya terpuruk.

Advertisement
Scroll kebawah untuk lihat konten

Berbeda dengan jenis manusia kedua, karena ia merasa sebagai bagian dari kaum elit, “orang besar” semisal seorang pejabat atau orang kaya, maka sinisme terhadap orang lain, porsinya jauh lebih besar. Sinisme seperti ini cenderung melahirkan “keangkuhan” dan rasa percaya diri yang belebihan. Akibatnya ia akan selalu memandang orang lain tidaklah berarti apa-apa, jika dibandingkan dengan dirinya.

Bahkan, meski ia sudah mulai redup dari “panggung kehidupan” sekalipun misalnya, ia masih tetap saja bersikap sinis terhadap orang lain, terutama kepada seseorang yang dianggap sebagai rivalnya. Akibatnya lagi, hati dan pikirannya akan dipenuhi oleh aura negatif sehingga melupakan kebaikan, kelebihan dan prestasi orang lain itu dengan sangat vulgarnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *