Begitu banyak kasus yang sudah terjadi yang mencerminkan betapa hukum negara ini tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Sebagai contoh, Dilansir dari republika.co.id, Jakarta, terjadi kasus dimana polisi menangkap dua ibu-ibu di Blitar, Jawa Timur yang berinisial MRS (55) dan YLT (29).
Dua ibu-ibu itu mencuri susu di dua toko berbeda. Keduanya tengah mendekam ditahanan karena dijerat pasal 363 KUHP dengan ancaman hukuman penjara 7 tahun.
Sebelumnya MRS mengakui alasan ia mencuri susu tersebut karena suaminya mengalami sakit hingga tidak bisa berjalan sehingga demi mencukupi kebutuhan keluarga, ia terpaksa mencuri.
Jika kita compare dengan kasus-kasus korupsi yang terjadi dimana diketahui, ICW mencatat rata-rata hukuman pelaku korupsi sepanjang tahun 2019 hanya 2 tahun 7 bulan penjara. Dari 1.125 terdakwa kasus korupsi yang disidangkan pada 2019, 842 orang divonis ringan (0-4 tahun penjara) sedangkan yang divonis berat (di atas 10 tahun penjara) hanya 9 orang. Ditambah lagi Djoko Tjandra hanya divonis 4,5 tahun penjara serta denda 100 juta rupiah subsider 6 bulan kurungan.
Jika kita bandingkan dua permasalahan diatas, tentunya ini menimbulkan ketidakadilan bagi rakyat kecil, dibuktikan dengan hukuman yang diterima rakyat kecil ketika melakukan pelanggaran lebih berat dibandingkan para penguasa yang melakukan pelanggaran.
Masalah terkait ini pun belum bisa terselesaikan hingga saat ini, jika ditambah dengan pengesahan RKUHP saat ini tentunya ini nantinya akan semakin memperparah keadaan. Larangan menghina para pemimpin dan penguasa sama saja seperti menutup rapat pintu kritik terhadap pemerintah, larangan demonstrasi tanpa adanya izin sama halnya dengan menutup akses rakyat dalam menyuarakan pendapatnya.
Padahal jika kita lihat lagi, demonstrasi dan penghinaan ini tidak akan terjadi jika pemerintah sudah menjalankan tugasnya dengan baik, menjamin kesejahteraan hidup masyarakat, bukan malah menembah beban pikiran dan hidup masyarakat dengan berbagai tuntutan maupun aturan yang semakin hari semakin tak wajar.