Scroll keatas untuk lihat konten
OPINIHEADLINES

Program Sastra Masuk Kurikulum

×

Program Sastra Masuk Kurikulum

Sebarkan artikel ini

Oleh: Sandyakala | Mahasiswa

Literasi dulu baru sastra

Literasi” tidak secara langsung terkait dengan “sastra,” literasi sebenarnya mencakup kemampuan kita untuk memahami informasi dengan mendalam. Literasi melibatkan kemampuan menerima informasi, mengolahnya, dan merespons secara kritis. Sastra, sebagai bagian dari literasi, membantu kita melampaui sekadar menerima informasi secara pasif dan mendorong kita untuk berpikir kritis, merenungkan makna, dan menggali nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra.
Sayangnya banyak masyarakat di Indonesia hari ini masih terjebak pada tahap menerima informasi tanpa melakukan pemrosesan yang mendalam. Hal ini berpotensi konten yang disajikan ditelan mentah-mentah oleh peserta didik. Kelemahan ini membuat penikmat sastra rentan terhadap manipulasi informasi dan tindakan yang merugikan karena hanya sekadar menjadi pembaca tanpa menjadi pembaca yang kritis.

Menanggapi program ini, pemerhati kebijakan pendidikan Noor Afeefa menyatakan, negara benar-benar ceroboh dan lalai.

Advertisement
Scroll kebawah untuk lihat konten

“Setidaknya terdapat ada dua kelalaian fatal yang dilakukan. Pertama, terkait tujuan dibuatnya program. Kedua, terkait pemilihan buku sastra,” ungkapnya kepada MNews, Jumat (31-5-2024).
Pertama, urainya, negara layak dikatakan lalai karena tidak mampu merumuskan tujuan sebuah program pendidikan yang sahih.

“Mengasah sisi sosial dan emosional dengan berpikir kritis dan berpikir dengan perspektif berbeda melalui karya sastra—sebagaimana disampaikan Kemendikbudristek—dalam sistem sekuler kapitalisme tentu bukanlah bagian dari tujuan sahih pendidikan. Ini problem mendasar yang harus disoal,” ucapnya.

Tujuan tersebut, lanjutnya, hanya akan mengarahkan peserta didik pada inklusivisme, yakni sikap keterbukaan dan menormalisasi pada budaya bahkan pemikiran menyimpang yang seharusnya dikritisi dan ditinggalkan. “Tentu hal ini menjadi alarm bahaya apabila justru diberikan kepada siswa yang seharusnya mendapatkan cara berpikir sahih (sesuai Islam-penj.) sejak dini,” tuturnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *