Scroll keatas untuk lihat konten
OPINIHEADLINES

Program Sastra Masuk Kurikulum

×

Program Sastra Masuk Kurikulum

Sebarkan artikel ini

Oleh: Sandyakala | Mahasiswa

OPINI,mediasulutgo.com — 20 Mei 2024 yang biasa diperingati dengan hari Kebangkitan Nasional dan Hari Perbukuan Nasional, bersamaan dengan itu pula Mendikbudristek mencetuskan program Sastra Masuk Kurikulum (SMK) diluncurkannya program ini dengan tujuan untuk meningkatkan minat baca dan kemampuan literasi murid yang menjadi salah satu tujuan utama dari gerakan Merdeka Belajar.

Kementerian mendorong guru untuk memanfaatkan karya-karya sastra yang sudah dikurasi sebagai bahan ajar berbagai mata pelajaran, tidak hanya Bahasa Indonesia. Namun, guru tetap perlu mendampingi proses pembacaan yang dilakukan murid sehingga dapat menggali nilai-nilai yang terkandung dalam suatu karya sastra. Berikut yang disampaikan Kementerian dalam workshop “Sastra dalam Kurikulum: Mengasah Nalar, Menumbuhkan Empati,” siaran langsung KEMENDIKBUD RI, Senin, 20 Mei 2024.

Advertisement
Scroll kebawah untuk lihat konten

Isu Konten Kontroversial

Begitu diluncurkan program ini mendapatkan kritikan tajam dari berbagai pihak, bukan tanpa alasan. Pasalnya buku yang telah dikurator ini memuat kekerasan fisik, konten cabul, kekerasan seksual, pedofilia, dan L687. Misalnya novel berjudul Puya ke Puya karya Faisal Oddang. Buku lain berjudul Semua Untuk Hindia karya Iksaka Banu, dan buku Saman karya Ayu Utami juga dianggap tidak aman untuk anak SMA, tetapi masuk dalam daftar rekomendasi. Bahkan, buku lain yang mungkin dianggap “aman” faktanya menormalisasi aktivitas-aktivitas yang menyimpang dari norma sosial dan agama.

Hal ini bertolak belakang dengan UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang sistem perbukuan Pasal 42 ayat 5 butir c: tidak mengandung unsur pornografi. Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau ekploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Faktanya Negara tidak konsisten dalam menerapkan prinsip-prinsip perlindungan anak dalam kebijakan pendidikan, seolah standar ganda sudah merupakan hal biasa yang sering dijumpai hari ini.

Menanggapi hal ini Wayan Artika ahli sastra I, Dosen Universitas Pendidikan Ganesha, ia menilai hasil kerja tim curator terlalu elitis dan rabun, karena dunia sastra cenderung tak sama dengan dunia pendidikan. Melalui postingan instagram @artcallsindonesia pada tanggal 6 Juni 2024.

Penting untuk membedakan antara kritik sastra terhadap karya sastra itu sendiri dengan sastra yang diajarkan di lingkungan pendidikan formal. Saat sastra masuk ke dalam kurikulum sekolah, aspek-aspek seperti perlindungan anak, konten yang sesuai dengan psikologi perkembangan, serta tujuan pendidikan dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam kurikulum harus dipertimbangkan. Kritikus sastra mungkin memberikan pujian atau kritik terhadap suatu karya sastra berdasarkan nilai-nilai estetika, yang tidak selalu sejalan dengan nilai-nilai edukasi yang dianut dalam konteks pendidikan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *