Scroll keatas untuk lihat konten
OPINIHEADLINES

Maraknya Kasus Bunuh Diri, Siapa yang Bertanggungjawab?

×

Maraknya Kasus Bunuh Diri, Siapa yang Bertanggungjawab?

Sebarkan artikel ini

Oleh : Rostia Mile

Advertisement
Scroll kebawah untuk lihat konten

Penulis adalah Mahasiswa UNG

OPINI,mediasulutgo.com-Baru-baru ini kita di hebohkan dengan adanya kasus bunuh diri yang terjadi di Gorontalo, dimana seorang mahasiswi berinisial SD salah satu universitas ternama di Gorontalo ditemukan tewas gantung diri, pada Kamis (8/6/2023) sekitar pukul 17.00 Wita. Informasi yang berhasil dihimpun awak media, mahasiswi tersebut berusia 19 tahun asal Desa Mulyonegoro, Kecamatan Pulubala, Kabupaten Gorontalo.

Bukan hanya itu kasus serupa terjadi dalam waktu yang berdekatan seorang ibu rumah tangga  berusia 21 tahun yang bekerja sebagai pegawai indomart tewas setelah gantung diri di kamar menggunakan seutas tali ayunan anaknya. Korban nekat melakukan aksi bunuh diri diduga karena ditipu oleh pinjaman online (Pinjol). Kapolsek Kota Barat, Iptu Eldo Rawung, menjelaskan bahwa korban dijanjikan akan mendapat pinjaman uang Rp15 juta oleh seseorang yang tak dikenalnya jika mengirim uang Rp3,2 juta.

Belum lah usai kasus bunuh diri yang dilakukan oleh seorang mahasiswi dan pegawai indomart. Kini pada Kamis, 15 Juni 2023 di temukan lagi  seorang siswi SMP yang baru duduk di kelas VII itu nekat gantung diri menggunakan tali ayunan bayi yang tergantung di kamar rumahnya. Korban pertama kali ditemukan ayahnya sekitar pukul 09.00 Wita. Saat ditemukan korban tergantung dalam kondisi masih mengenakan seragam sekolah.

Maraknya fenomena kasus bunuh diri yang akhir-akhir ini terjadi di Provinsi Gorontalo, membuat Pemerintah Gorontalo resah. Sebab, sudah tiga kali kasus bunuh diri yang terjadi selama sebulan terakhir. Melihat situasi ini Penjabat Gubernur Gorontalo Ismail Pakaya mengajak seluruh stakeholder di Gorontalo guna mencari solusi dari masalah ini. Terlebih fenomena ini banyak terjadi di kalangan kaum wanita dengan umur di bawah 25 tahun.

Tentunya ini bukanlah suatu kebetulan. Sebuah studi pada 2022 menemukan bahwa angka bunuh diri di Indonesia mungkin empat kali lebih besar daripada data resmi. Menurut sejumlah pakar, kurangnya data telah menyembunyikan skala sebenarnya dari persoalan bunuh diri di Indonesia. WHO sendiri menyatakan bunuh diri adalah penyebab kematian terbesar keempat di antara orang-orang berusia 15—29 tahun di seluruh dunia pada 2019.

Alhasil yang membuat kerap kali kebanyakan orang bunuh diri karena sebagian dari mereka merasa rapuh, lemah, mudah menyerah sehingga merasa depresi dengan keadaan dan tidak berani berjuang. Bagaimana mungkin generasi saat ini tidak merasa depresi? Ketika kehidupan di penuhi dengan tekanan, kesulitan ekonomi mulai dari tingginya angka pengangguran, dan rendahnya tingkat pendidikan, belum lagi angka kemiskinannya yang semakin tinggi, serta biaya hidup yang tidak terpenuhi dan masih banyak lagi. Sehingga membuat kesehatan jiwa terganggu dan ujung-ujungnya mengakhiri masalah hidupnya.

Generasi muda pun mengidap penyakit “overthinking” (terlalu banyak waktu untuk memikirkan suatu hal dengan cara yang merugikan) serta mengalami “quarter life crisis” (merasa tidak memiliki arah hidup, khawatir, dan bingung). Dimana Quarter life crisis yang terjadi pada generasi muda salah satunya adalah mudah cemas dengan berbagai harapan yang tidak bisa dicapai sebab hidupnya tidak biasa berjuang dan tidak bisa susah. Kerap kali menemukan kesulitan, mereka berupaya menghindari masalah. Dengan mudah mereka mengatakan butuh “healing” atau yang paling ekstrem adalah bunuh diri.

Sehingga bunuh diri pun menjadi salah satu pengantar kematian tertinggi kedua setelah kecelakaan di kalangan remaja. Angka pikiran untuk bunuh diri lebih besar daripada kasus bunuh diri itu sendiri. Menurut Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes), jumlah angka kematian akibat bunuh diri di dunia mendekati 800.000 per tahun atau hampir 1 kematian setiap 40 detik. (Kumparan, 21/06/2021).

 

Lemahnya Sistem Saat Ini

Mengutip laman resmi Kementerian Kesehatan (6-9-2022), penyebab utama bunuh diri adalah kondisi depresi pada individu. Depresi merupakan problem kesehatan masyarakat yang cukup serius. WHO menyatakan bahwa depresi berada pada urutan nomor empat penyakit di dunia dan diprediksi akan menjadi masalah gangguan kesehatan yang utama. Gangguan mental adalah salah satu faktor terkuat yang melatarbelakangi tindakan bunuh diri. Dr. Sandersan Onnie, mahasiswa pascadoktoral di Black Dog Institute Australia, mengatakan bahwa selama lima tahun terakhir ada perkembangan yang cukup pesat dalam hal kesadaran tentang kesehatan jiwa. Namun, pengerahan sumber daya dan usaha Indonesia baru sekitar 10% dari Australia, padahal di Australia bunuh diri masih jadi penyebab utama kematian bagi warga usia muda.

Sungguh, ini adalah tragedi besar. Semua data tersebut tentu membuat kita miris. Remaja yang semestinya menjadi generasi penerus, ternyata mengalami krisis jati diri yang begitu parah. Meski alam kehidupan yang didominasi sekularisme saat ini memang begitu berat, namun krisis jati diri juga tampak jelas sebagai wujud rendahnya mental health. Ibarat kata, mental generasi muda saat ini cenderung sebagaimana “mental tempe”. Kematangan emosinya di titik nadir. Sosoknya mudah depresi, pragmatis terhadap dinamika kehidupan, perjuangan hidupnya salah arah, bahkan mereka jauh dari karakter problem solver.

Pendidikan sekuler berhasil membuat para pelajar lemah akan pemikiran, lemas tidak berdaya karena pengaruh racun liberalisme dan pendidikan niragama. Orang tua pun tidak berperan baik dalam mendidik dan menanamkan nilai-nilai agama pada anak. Akhirnya, anak-anak tumbuh dengan jiwa antisosial, pemarah, tidak mau kalah, miskin empati, dan bermental lemah. Pendidikan berpengaruh sangat besar bagi pembentukan karakter pelajar. Pendidikan pula yang menjadi salah satu tonggak lahirnya aset suatu bangsa. Namun, kini yang terjadi, pendidikan karakter sekuler justru menunjukkan kondisi yang makin parah. Buah dari hasil pendidikan sekuler ialah generasi yang tumbuh dengan kemudahan instan yang ditawarkan teknologi.

Begitu tampak jelas bahwa sistem sekuler membangun masyarakat yang cenderung mudah hampa dengan keadaan yang ada. Sangat miris! Sehingga umat haruslah sadar akan bahaya sekularisme yang menjadi landasan dalam kehidupan saat ini. Kehidupan sekuler juga menjauhkan pelajar dari rasa kemanusiaan, cenderung hedonis, dan tidak takut dosa, apalagi terhadap Tuhan. Sehingga bunuh diri pun kerap kali menjadi pilihan terakhir mengakhiri masalah yang dihadapi.

 

Sumber Penyelesaian Haruslah Yang Ahsan

Sayangnya, fenomena serta maraknya bunuh diri tidak coba penguasa selesaikan dengan mendekatkan generasi muda pada pemikiran-pemikiran Islam kafah. Ide Islam kafah hingga kini masih saja dimonsterisasi. Para pengemban dakwahnya dipojokkan dengan tudingan radikal dan ekstremis. Padahal, semua itu hanya dalih penguasa untuk tetap melanggengkan sistem sekuler. Ini sebagaimana yang pernah terjadi di Gunung kidul, Yogyakarta. Tingginya kasus bunuh diri di wilayah tersebut justru diantisipasi oleh sejumlah stakeholder dengan menggelar forum motivasi moderasi beragama di rumah dinas penguasa setempat. Meski nasihat yang disampaikan seputar ajakan agar tidak mudah putus asa, tetapi sejauh mana nasihat itu bisa menjadi solusi bunuh diri ketika kesadaran hubungan dengan Ilahi Rabbi tidak ditanamkan dan ditumbuhkan?

Sebaliknya, kesadaran akan hubungan dengan Allah Taala harus dibangun berdasarkan landasan pemikiran yang sahih sehingga mampu menumbuhkan pada diri seseorang bahwa hanya Allah saja tempat berlindung dan memohon pertolongan. Islam menegaskan bahwa kebahagiaan hakiki seorang muslim adalah meraih rida Allah Taala. Islam sebagai ideologi yang sempurna juga telah mewajibkan Negara melindungi dan menjamin kehidupan warganya. Di satu sisi, Islam memang memberikan pijakan individual bahwa ketakwaan dan ketawakalan seorang hamba adalah modal besar dan pedoman utama menjalani kehidupan. Akan tetapi, di sisi lain Islam juga memberikan pilar-pilar mengenai kebahagiaan yang harus diwujudkan oleh penguasa bagi rakyat yang dipimpinnya. Penguasa dalam Islam memahami dengan sungguh-sungguh bahwa rakyat adalah amanah, layaknya gembalaan yang wajib dijaga dan dilindungi oleh gembalanya.

Jelas, sistem dan negara sekuler telah menabung kesalahan besar karena aturan kehidupannya menghasilkan borok dan berbagai kebusukan yang menjadi atmosfer negatif sehingga memicu mental health yang rendah yang sekaligus memicu tingginya angka bunuh diri. Kapitalisme telah gagal memberikan kebahagiaan sejati bagi orang-orang yang bernaung padanya, alih-alih kesejahteraan hakiki. Sungguh, hanya Allah tempat berlindung.

Seorang muslim harus meyakini bahwa ketetapan Allah Taala akan berujung pada kebaikan. Tindakan bunuh diri, dengan cara apa pun merupakan hal yang dilarang dalam Islam. Perilaku ini merupakan dosa besar. Allah Taala berfirman, “Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisa [4]: 29). Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw. Juga bersabda, “Barang siapa yang membunuh dirinya sendiri dengan suatu cara yang ada di dunia, niscaya kelak pada hari kiamat Allah akan menyiksanya dengan cara seperti itu pula.” (HR Bukhari dan Muslim). Wallahu ‘alam bishowab….

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *