Berlindung Dibalik Demokrasi
Secara umum, semua sepakat bahwa LGBT adalah penyakit moral yang keliru dan tercela. Dari sisi kemanusiaan juga dipandang perilaku yang tidak lazim dilakukan bagi seorang manusia yg memiliki akal. Namun, ironisnya jumlah LGBT terus bertambah bag jamur di musim hujan. Dilansir dari republik.co.id menurut Berdasarkan estimasi Kemenkes pada 2012, terdapat 1.095.970 LSL baik yang tampak maupun tidak. Lebih dari lima persennya (66.180) mengidap HIV. Sementara, badan PBB memprediksi jumlah LGBT jauh lebih banyak, yakni tiga juta jiwa pada 2011. Tidak ada data yang pasti jumlah LGBT di Indonesia. Tetapi dapat dipastikan dari tahun ke tahun jumlahnya bertambah.
Mengapa LGBT tetap masih bisa bergerak bebas? Meskipun dalam kondisi yang tidak diterima oleh masyarakat. Pertanyaan yang tidak mampu dipikirkan oleh orang-orang yang berfikir dangkal. Sebabnya, kita harus berfikir serius dan cemerlang bahwa keberadaan kaum LGBT tumbuh dengan masif tidak lain lahir dari paham kebebasan yang melekat erat di negeri ini. Paham kebebasan atau demokrasi sejak kemerdakaan Indonesia hingga detik ini dijadikan asas pemerintahan yang diagung-agungkan. Semua aktivitas masyarakat di negara ini berpijak pada empat asas kebebasan demokrasi yaitu bebas berperilaku, bebas berpendapat, bebas berkepemilikan dan bebas beragama.
Maka ditengah kemelut LGBT, Kedutaan Inggris di Jakarta yang mengunggah foto pengibaran bendera LGBT di samping bendera kebangsaan Inggris, mereka berani berlindung dalam hak asasi, dalam akun Instagramnya pihaknya mengatakan “..Inggris tetap menyatakan bahwa hak LGBT+ merupakan hak asasi manusia yang fundamental. Semua orang, dimanapun, harusnya bebas untuk mencintai siapapun dan mengekspresikan diri mereka tanpa rasa takut akan kekerasan atau diskriminasi..”. Hak asasi notabene lahir dari rahim demokrasi yang memberikan ruang bagi manusia untuk hidup bebas tanpa diatur oleh siapapun termasuk diatur oleh agama.
Kebebasan ini selalu jadi payung LGBT untuk tetap eksis. Kaum LGBT tidak merasa terancam, mereka tetap berani tampil di depan publik. Meskipun secara UU kaum LGBT tidak mendapat kepastian perlindungan akan tetapi secara landasan negara sudah sah terlindungi sejak awal. Aktivitas LGBT adalah aktivitas rusak, anehnya dengan percaya diri mereka tetap berkilah dibalik kata hak asasi manusia padahal mereka telah melakukan tindakan yang membunuh regenerasi manusia lewat tindakan sodom yang dilakukan.
Apakah ini kemaslahatan? Justru kemudharatan dan itu yang tidak dipandang oleh demokrasi. Manusia dibiarkan bebas sebebas-bebasnya meskipun kebebasan itu merusak seisi alam. Dampak buruk dari komunitas LGBT adalah terciptanya penyakit HIV/AIDS. Menurut data dari UNAIDS, jumlah infeksi HIV baru menempati peringkat ketiga. Setiap tahun, ada 46 ribu kasus infeksi baru terbanyak setelah India dan China di Asia Pasifik. Indonesia 1 dari 20 negara yang kontribusi jumlah HIV terbanyak di dunia (health.detik.com, 9/12/2019). Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kemenkes RI dr Siti Nadia Tarmizi, M.Epid menyebut bahwa orang dengan HIV secara global hingga 2020 tercatat 37,7 juta dengan rata-rata penambahan setiap tahun 1,5 juta kasus (www.kompas.com, 22/6/2021). Kerusakan yang nampak nyata akan tetapi dalam kehidupan yang berbau kebebasan -yang katanya dapat menjamin kebahagiaan-, kerusakan yang terjadi tidak menjadi bahan pemikiran untuk membatalkan prinsip-prinsip kebebasan.
Inilah wujud kebebasan berpikir yang dikampanyekan Barat demi menerima komunitas yang melanggar aturan agama. Propaganda ini jelas akan merusak manusia dan kaum muslim khususnya. Realitas membuktikan, perilaku tersebut telah menjerumuskan manusia pada titik martabat paling rendah, karena hewan pun “enggan” melakukannya.