Upaya Mencari Panggung
Geliat kaum LGBT muncul pertama kali di New York, Amerika Serikat terjadi pada peristiwa demonstrasi atau Huru-Hara Stonewall tahun 1969 ketika kaum waria dan gay melawan represi polisi yang kala itu sedang menjalankan sistem hukum AS berkaitan dengan antihomoseksual. Para kaum gay melakukan perlawanan terhadap negara untuk memperjuangkan hak-hak gay dan lesbian di Amerika Serikat.
Lambat laun LGBT melebarkan sayap perjuangannya ke Eropa dan belahan bumi lain termasuk Indonesia. Diyakini LGBT di Indonesia dimulai dengan berdirinya organisasi transgender pertama Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD) yang difasilitasi oleh Gubernur Jakarta pada saat itu, Ali Sadikin, pada 1969. Himpunan ini dijadikan wadah perjuangan hak-hak LGBT. Perjuangan LGBT di tanah air meledak di era milenium 2000 berlanjut hingga sekarang. Namun sejak awal kemunculannya keberadaan LGBT dalam kondisi terdiskriminasi.
Isu LGBT Indonesia dari tahun ke tahun terus menggelinding seperti bola. Ini terjadi sejalan dengan kaum LGBT yang belum diakui keberadaannya secara terbuka dan secara moril. Berdasarkan survei SMRC sebanyak 87,6 % penduduk Indonesia masih menganggap LGBT adalah ancaman. Sebab masyarakat Indonesia adalah mayoritas muslim yang kehidupannya masih memegang prinsip-prinsip agama. Sehingga kehadiran LGBT terpinggirkan karena dipandang melakukan penyelewengan.
Belum ada pengakuan atas eksistensi LGBT itu yang mendorong mereka terus bergerak. Mereka tak mundur meskipun digempur. Kaum LGBT terus bergerliya mencari upaya untuk menyukseskan tujuan puncak mereka yaitu melegalkan pernikahan sejenis yang sebagian telah berhasil mereka wujudkan di 20-an negara.
Kaum LGBT dalam mewujudkan tujuannya telah menempuh upaya-upaya berikut, antara lain; melalui jalur jaringan/komunitas. Kaum LGBT membentuk komunitas-komunitas LGBT. Arus Pelangi dan Gaya Nusantara dua komunitas LGBT terbesar secara nasional di Indonesia. Sementara dalam skala lokal terdapat 119 komunitas LGBT di 28 provinsi (dari 34 provinsi) dengan jutaan pengikut. Khusus komunitas LGBT di Gorontalo bernama Bhinte Pelangi Gorontalo dan Ikatan Waria Indonesia Gorontalo. Pembentukan komunitas-komunitas itu adalah wadah kekuatan politik untuk mempertahankan eksistensi LGBT. Tak jarang komunitas-komunitas LGBT menyelenggarakan aksi bakti sosial bersama warga yang secara tersirat mengandung unsur politis pengakuan eksistensi, bahwa keberadaan mereka juga bisa bermanfaat bagi orang disekitar, tak melulu hanya menjadi “sampah” yang menebarkan penyakit ditengah masyarakat. Mereka berusaha menaikkan derajat diri di mata masyarakat untuk mendapat pengakuan.
Komunitas LGBT di Indonesia juga memanfaatkan jalur media sosial, bacaan, media sosial dan film-film yang bertujuan untuk membentuk opini umum agar masyarakat secara terbuka menerima kehadiran LGBT. Aktivis LGBT sering melakukan survei, penelitian, diskusi, konseling, jumpa pers. Mereka juga membuat buku, leaflet, e-poster, video, infografis, tulisan serta konten lainnya. Bahan-bahan untuk debat di medsos juga disediakan di website. Banyak buku-buku bacaan, komik dan film yang dibuat dengan menyisipkan karakter dan adegan LGBT. Masih ingat di tahun 2018 lalu Tim Intelijen Kejaksaan Agung memusnahkan ratusan komik berbahasa China bergambar LGBT yang hendak dikirim di Kantor Pos Besar Pasar Baru, Jakarta Pusat. Publik juga tidak asing dengan film Indonesia yang bertemakan “Kucumbu Tubuh Indahku” pada tahun 2019 yang nampak mempromosikan LGBT ke penontonnya.
Jalur pendidikan juga diperalat kaum LGBT untuk memberi justifikasi (pembenaran) LGBT berbasis intelektual. Pada tanggal 6-9 November 2006 ada pertemuan 29 pakar HAM di UGM Jogya yang melahirkan “Prinsip-Prinsip Yogyakarta” yang mendukung LGBT. Tahun 2016 di Universitas Indonesia (UI) muncul lembaga Support Group and Resource Center On Sexuality Studies (SGRC) yang juga pro terhadap kelompok LGBT.
Kaum LGBT tidak berdiri independen, dari sisi pendanaan LGBT didanai oleh lembaga Internasional bernama United Nations Development Programme (UNDP). Dilansir dari news.detik.com pada tahun 2016 sebuah badan PBB, United Nations Development Programme (UNDP) ketahuan menguncurkan dana untuk mendukung LGBT sebesar US$ 8 juta (sekitar Rp 108 miliar) yang dananya di fokuskan ke empat negara: China, Filipina, Thailand dan termasuk Indonesia.
Maka, menjadi sebuah kesimpulan bahwa gerakan LGBT bukan gerakan recehan. Gerakan LGBT telah menjelma menjadi kekuatan politik. Kaum LGBT akan terus berikhtiar mencari panggung demi terwujudnya cita-cita tertinggi mereka selama belasan tahun -sekali lagi- untuk melegalkan pernikahan sejenis.