OPINI,mediasulutgo.com — Cerita keluarga yang seharusnya seperti di dongeng-dongeng, bayangan kehidupan yang berselimutkan cinta dan kasih, serta orang tua yang diharapkan menjadi sayap pelindung bagi sang buah hatidari bahaya dunia luar, nyatanya kini telah menjelma duri dalam daging. Sudah tidak asing di telinga, banyaknya berita pelecehan seksual yang terjadi dari ruang-ruang yang tidak pernah terduga yaitu keluarga. Bahkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sendiri belum lama ini mencatat 70% korban kekerasan seksual mengenal sang pelaku, mulai dariayah kandung, paman, kakek, kakak, hingga keluargaterdekat korban. Dengan fakta demikian, maka pupus sudah slogan keluarga adalah tepat pulang ternyaman dan teraman, apalagi dengan adanya penemuan grup Facebook “Fantasi Sedarah’ yang menambah daftar panjang kasus pelecehan seksual di Indonesia.
Beberapa hari belakangan ini masyarakatdihebohkan dengan sebuah komunitas bernama FantasiSedarah yang muncul media sosial Facebook yang telah di ikuti oleh sekitar 30 ribu manusia yang sudah kehilangan akal. Pasalnya grup tersebut berisi konten-konten hubungan inses (hubungan sedarah) yang sangat kotor dan menjijikan. Setelah diusut oleh Bareskrim Polri, sebagaimana nama grupnya, polisi menemukan banyaknya unggahan yang mengandung pornografi anak dan perempuan. Lebih menyedihkannya lagi, para pelaku yang bertugas sebagai member dan kontributor aktif, juga menjual konten pornografi tersebut kepada pengikut sesama grup. Walaupun kasusnya sementara di tangani dan 6 pelaku yang menjadi otak dibalik berdirinya grup yang dibuat sejak Agustus 2024 lalu itu telah ditangkap oleh Polisi, tetap saja ini bukan akhir dari segalanya yang membuat kita malah berpangku tangan sambil menunggu kelanjutan kasusnya. Pun tidak cukup jika hanya berharap pada ditangkapnya pelaku, sanksi sosial, edukasi seksual, atau kelas parenting untuk mengentaskan masalah pelecehan seksual sebagaimana yang digembar-gemborkan oleh para pakar dan intelektual. Melainkan, negara sebagai kontributor aktif juga harus segera mengambil peran utamanya dalam menghadirkan solusi fundamental yang menyelesaikan permasalahan dari akar-akarnya.
Namun sayangnya, solusi yang ditawarkan oleh pemerintah seperti UU TPKS, sepertinya masih bersifat semu dan memiliki celah hukum untuk ditembus. Anggapan ini hadir dari isi undang-undangnya yang hanya memberikan perlindungan hukum kuat bagi korban pelecehan seksual, namun gagal mencegah dan membasmi para predator seksual. Walaupun kebijakan ini telah diterapkan, kasus pelecehan seksual masih terus tumbuh subur, malahan tidak henti menghadirkan kasus-kasus baru yang semakin tidak masuk akal, bagaikanpepatah: hilang satu tumbuh seribu. Buramnya solusi yang dihadirkan terjadi karena pemetaan dan cara pandang yang salah ketika menganalisis akar permasalahan yang sebenarnya. Munculnya pelecehan seksual seperti hubungan inses pada grup Fantasi Sedarah, masih dilihat dari sudut pandang yang sempit, yakni sebagai masalah pribadi masing-masing keluargasehingga peran kontrol masyarakat dan negara seolah ditiadakan. Namun berbeda jika dilihat sudut pandang makro, jelas ini adalah masalah sistematik yang memerlukan solusi yang menyeluruh pula. Adanya peran dari sebuah sistem besar yang senantiasa mensuasanakanmasyarakatnya untuk hidup dan menjadikan materialisme sebagai cara pandang baru, telah membentuk mental kapitalisme menjalar ke berbagai sendi-sendi kehidupan, termasuk menyerang keutuhan keluarga.