OPINI,mediasulutgo.com — Jika sebelumnya tenaga kerja bebas berpindah mencari tawaran terbaik, kini trend baru yang di sebut job hugging justru membuat banyak orang bertahan di pekerjaan mereka meski gaji tidak sepenuhnya memuaskan. Banjir job hugging semakin berkembang di Indonesia dan Amerika, di tengah kondisi ekonomi yang lesu dan meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK). Pasar kerja menjadi kurang bergairah, dan kinerja perusahaan tidak optimal. Banyak lulusan perguruan tinggi yang terjebak dalam situasi ini demi menjaga keamanan finansial dan stabilitas hidup. Mereka lebih memilih untuk tetap bekerja, meskipun tidak puas dan tidak sepenuhnya mencukupi kebutuhan dari pada menjadi pengangguran intelektual.
Job hugging adalah fenomena di mana pekerja muda global dan Indonesia memilih untuk bertahan pada pekerjaan mereka yang sekarang, meskipun sudah tidak nyaman atau tidak memuaskan. Hal ini terjadi karena adanya ketidakpastian ekonomi global, seperti ancaman PHK, perlambatan ekonomi, dan sulitnya mencari pekerjaan baru, yang membuat mereka lebih memilih keamanan finansial daripada mengambil risiko. Meskipun memberikan rasa aman jangka pendek, job hugging dapat menghambat pertumbuhan karir dan menyebabkan stagnasi bagi individu, serta memiliki dampak negatif jangka panjang.
Sam Demose, seorang karyawan professional di pasar kerja daring (Ziprecruiter). Mengungkapkan: definisi sederhana dari job hugging ini adalah dimana seorang karyawan check in fisikly and check out emosionally, dalam artian, dia (karyawan) akan datang ke kantor tapi boleh dibilang mirip seperti zombi, hanya melakukan apa yang harus dilakukan tidak kurang tidak lebih, sehinga ketika diminta untuk melakukan hal-hal yang inovatif out of the box dan kemudian juga untuk memberikan lebih dari yang diminta, ini akan menjadi sebuah keberatan tersendiri. Salah satu penyebabnya adalah karena kondisi perekonomian yang memang belakangan ini sedang kurang baik-baik saja, bisa kita lihat ya, begitu banyak berita seperti kemarin di Bekasi ketika ada job fair (bursa kerja) yang dihadiri oleh 25.000 orang, itu seakan akan menunjukkan bahwa saat ini mencari pekerjaan memang sangatlah sulit, sehingga orang yang sudah memiliki pekerjaan memilih untuk job hugging.
KERJA CUMA BUAT BERTAHAN: POTRET GENERASI JOB HUGGING DI TENGAH KRISIS
- Kenapa Job Hugging Makin Marak? : Fenomena job hugging semakin meluas karena ketidakpastian ekonomi global yang dihadapi banyak negara, termasuk Indonesia dan Amerika. Dengan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) yang meningkat dan perlambatan ekonomi, banyak pekerja merasa terjebak dalam situasi di mana mereka lebih memilih untuk tetap di pekerjaan yang tidak memuaskan daripada mengambil risiko mencari pekerjaan baru yang mungkin lebih baik tetapi tidak pasti. Rasa takut akan kehilangan pendapatan dan stabilitas finansial membuat mereka bertahan meskipun tidak puas dengan kondisi kerja mereka.
- Swasta Ambil Alih Tanggung Jawab: Sektor swasta kini mengambil alih tanggung jawab yang seharusnya diemban oleh negara dalam menyediakan lapangan kerja. Ketika perusahaan tidak mampu atau tidak mau memberikan jaminan pekerjaan yang layak, pekerja merasa terpaksa untuk tetap di posisi yang ada, meskipun mereka tidak puas. Hal ini menciptakan ketergantungan pada pekerjaan yang tidak memuaskan, karena banyak orang merasa bahwa mencari pekerjaan baru di tengah ketidakpastian ekonomi adalah risiko yang terlalu besar.
- Sumber Daya Dikuasai Segelintir Orang: Negara sering kali melegalkan penguasaan sumber daya oleh segelintir kapitalis, yang mengakibatkan ketidakmerataan kesempatan kerja. Hal ini menciptakan situasi di mana banyak lulusan perguruan tinggi terjebak dalam pekerjaan yang tidak sesuai dengan kualifikasi mereka, karena pilihan yang terbatas.
- Ekonomi yang Tidak Berkelanjutan: Praktik ekonomi yang tidak berkelanjutan dan berbasis ribawi minim dalam menciptakan lapangan kerja yang nyata. Ketidakmampuan untuk menggerakkan ekonomi secara efektif menyebabkan stagnasi dalam penciptaan pekerjaan, sehingga pekerja merasa terpaksa untuk tetap di posisi yang ada.
- Kurikulum vs. Realita Kerja: Meskipun banyak perguruan tinggi berusaha untuk menyesuaikan kurikulum mereka agar sesuai dengan kebutuhan pasar kerja yang terus berubah, kenyataannya tidak sejalan. Hal ini menyebabkan lulusan perguruan tinggi merasa kurang siap menghadapi tantangan di dunia kerja. Akibatnya, banyak lulusan perguruan tinggi yang terjebak dalam pekerjaan yang tidak sesuai dengan kualifikasi mereka, atau bahkan terpaksa menerima pekerjaan yang tidak memadai hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.
KERJA BUKAN SEKEDAR CARI GAJI: VISI ISLAM TENTANG KEADILAN, AMANAH, DAN MARTABAT PEKERJA
- Negara Penanggung Jawab Utama Mengurus Rakyat: Dalam sistem Islam, negara memiliki kewajiban utama untuk mengurus seluruh urusan rakyatnya, termasuk penyediaan lapangan kerja yang layak. Hal ini ditegaskan dari pernyataan Syekh Taqiyuddin an-Nabhani yang menyebutkan bahwa negara wajib menjamin setiap individu memperoleh pekerjaan yang sesuai untuk memenuhi kebutuhannya. Tanggung jawab ini bukan hanya bersifat administratif, tetapi merupakan amanah syar’i yang melekat pada pemimpin sebagai pelayan umat. Berbeda dengan kondisi sekarang, di mana banyak pemerintah cenderung melepaskan tanggung jawab kepada mekanisme pasar dan sektor swasta. Akibatnya, rakyat — khususnya pekerja muda — kehilangan jaminan kesejahteraan dan keamanan kerja, sehingga mereka terjebak dalam fenomena job hugging, bertahan pada pekerjaan yang tidak memuaskan karena takut kehilangan sumber penghidupan.
- Negara Melayani Rakyat, Bukan Sebaliknya. Negara dalam sistem Islam tidak berperan sebagai penguasa yang mencari keuntungan, tetapi sebagai pelayan umat (khadim al-ummah) yang bekerja dengan dorongan ibadah. Setiap kebijakan negara ditujukan untuk memastikan kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuran rakyat. Pada masa kejayaan Islam, seperti era Khulafaur Rasyidin, para pemimpin memastikan tidak ada satu pun rakyat yang dibiarkan kelaparan atau kehilangan pekerjaan. Sebaliknya, kondisi saat ini memperlihatkan bagaimana negara justru menekan rakyat dengan pajak tinggi, biaya hidup mahal, dan lemahnya perlindungan tenaga kerja. Akibatnya, rakyat menjadi apatis dan pasrah terhadap kondisi kerja yang stagnan. Jika sistem pelayanan umat seperti di masa Islam diterapkan, rakyat akan bekerja dengan semangat, karena merasa dilindungi, dihargai, dan dimuliakan oleh negaranya.
- Sumber Daya Dikuasai Segelintir Orang: Dalam sistem kapitalisme, negara sering kali melegalkan kepemilikan dan monopoli sumber daya oleh pihak swasta atau pemodal besar. Akibatnya, kesempatan kerja menjadi sempit dan tidak merata. Banyak lulusan perguruan tinggi terpaksa menerima pekerjaan di bawah kualifikasinya, atau bertahan pada posisi yang tidak memberi perkembangan karier. Padahal, dalam Islam, sumber daya alam merupakan milik umum (milkiyyah ‘ammah) yang harus dikelola oleh negara untuk kemaslahatan seluruh rakyat. Pada masa kejayaan Islam, pengelolaan sumber daya dilakukan secara adil dan terdistribusi, sehingga menciptakan kesejahteraan yang merata dan mendorong produktivitas umat.
- Ekonomi Islam Berbasis Keberlanjutan dan Keadilan: Negara dalam Islam memastikan setiap kebijakan ekonomi berorientasi pada kemaslahatan rakyat, bukan keuntungan segelintir pihak. Sistem ini mendorong tumbuhnya ekonomi produktif yang menciptakan lapangan kerja secara luas dan stabil. Sebaliknya, ekonomi ribawi dan kapitalistik yang berlaku saat ini justru menimbulkan stagnasi, ketimpangan, dan ketakutan kehilangan pekerjaan. Dalam sejarah peradaban Islam, keberlanjutan ekonomi dibangun melalui kebijakan distribusi yang adil dan pengelolaan zakat, kharaj, dan baitul mal yang efisien, sehingga masyarakat hidup dalam kesejahteraan tanpa kecemasan ekonomi.
Pendidikan dan Pekerjaan Berbingkai Ruh Keimanan: Dalam pandangan Islam, pendidikan dan pekerjaan tidak hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, tetapi juga merupakan sarana ibadah dan kontribusi terhadap kemaslahatan umat. Sistem pendidikan Islam mempersiapkan generasi agar memiliki keterampilan sekaligus kesadaran spiritual yang kuat, sehingga mereka bekerja dengan niat ibadah dan tanggung jawab moral. Hal ini berbeda dengan sistem pendidikan sekuler modern yang lebih berorientasi pada kebutuhan pasar dan penghasilan. Akibatnya, banyak lulusan sekolah menengah atas atau perguruan tinggi yang kehilangan makna kerja, merasa hampa, dan mudah terjebak dalam job hugging karena pekerjaannya tidak memberi kepuasan spiritual maupun aktualisasi diri. Di masa peradaban Islam, pendidikan melahirkan individu yang tangguh, mandiri, dan berorientasi pada amal saleh, sehingga pekerjaan bukan sekadar mencari nafkah, melainkan jalan untuk beribadah kepada Allah.(*)
Penulis: Ladyana | Mahasiswa Fakultas Kelautan, UNG














