OPINI,mediasulutgo.com — Berawal dari kebiasaan, lama-lama membentuk gaya hidup. Itulah hukum pasti alam yang akan terjadi jika sesuatu dilakukan secara berulang dan konsisten, entah itu secara sadar ataupun tidak. Ketika dulu isu seksualitas dianggap tabu oleh masyarakat, kini justru dianggap lumrah bahkan menjadi lifestyle atau gaya hidup oleh generasi zaman sekarang.
Jika di masa lalu, dengan mengatakan kalau berpegangan tangan dengan lawan jenis perempuan akan hamil sudah cukup menakuti anak-anak, sekarang justru anak-anak sudah tidak malu lagi menampilkan aktivitas zina secara terang-terangan. Jika dulu seragam sekolah kekecilan rasanya malu, remaja hari ini malah sengaja mengecilkan dan mengetatkan seragamnya untuk menunjukan lekuk tubuh.
Disaat dulu banyak perempuan yang putar balik ketika mmelihat kumpulan laki-laki di lorong jalan, hari ini malah para perempuan berlomba-lomba menjadi pusat perhatian walaupun itu harus mengorbankan kehormatannya sendiri. Alhasil, moralitas yang seharusnya menjadi kompas batin yang memandu kita dalam mengambil keputusan dan menentukan mana yang baik dan buruk; mana yang benar dan mana yang salah, hanya tinggal menjadi seperangkat aturan tertulis yang tidak memiliki nilainya.
Berita salah satu selebgram/influencer, Erika Ricardo, yang mengumumkan tentang kehamilannya di luar nikah secara terbuka di salah satu podcast terbesar di Indonesia, menjadi salah satu contoh gejala nyata dari merosotnya moralitas di tengah-tengah masyarakat. Hal ini juga dibuktikan oleh data survei dari Komnas Perlindungan Anak (KPAI) dan Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa 62,7% remaja pernah melakukan hubungan seksual di luar nikah.
Selain itu, data dari BKKBN juga menunjukkan peningkatan hubungan seksual di kalangan remaja usia 15-19 tahun, dengan angka 59% pada perempuan dan 74% pada laki-laki. Ini menunjukkan merosotnya kesadaran masyarakat tentang apa yang dianggap benar dan salah dalam konteks moral.
Kemerosatan moral ini tidak hanya sekadar pilihan pribadi, tetapi merupakan cerminan dari kegagalan masyarakat dalam mempertahankan nilai-nilai etika dan moral. Karena pada dasarnya seksualitas—tetutama dalam norma agama, sangat terikat pada komitmen pernikahan yang suci dan sakral.
Namun beberapa tahun terakhir, seks bebas menjadi opsi yang cukup nge-trend di kalangan anak muda jaman sekarang untuk melampiaskan syahwatnya. Trend ini dianggap sebagai simbol kebebasan dan gaya hidup modern. Kehamilan di luar nikah yang dulu dianggap aib, kini justru disambut dengan narasi dukungan dan cinta.
Tak sedikit komentar yang mendukung lifesyle seks bebas ini dengan membandingkan respon masyarakat yang ada di Indonesia dan di luar negeri. Dalam komentar tersebut mengatakan jika di luar negeri orang yang hamil diluar nikah akan diberikan ucapan selamat, setelahnya dibuatkan pesta pernikahan sekaligus perayaan kehamilan bagi sang calon ibu. Di Indonesia justru sebaliknya, dalam komentar tersebut mengatakan bahwa respon masyarakat Indonesia yang tidak welcome terhadap perempuan yang hamil di luar nikah bahkan cenderung dibully adalah tindakan yang norak.
Apalagi dengan munculnya trend baru-baru ini yang menyelipkan budaya dan pemikiran luar melalui drama korea berjudul S line. Trend S Line bercerita tentang garis merah yang memperlihatkan berapa kali seseorang telah berhubungan seks dengan adanya bantuan kacamata ajaib. Hal ini dianggap lucu bahkan tak sedikit yang meramaikan trend ini di Tik Tok maupun X dengan menggambar garis sendiri, seolah banyaknya garis tersebut menjadi identitas yang patut untuk dibanggakan.
Dari sini nampak ironi yang sangat jelas tentang cara hidup dan pola pikir masyarakat hari ini yang telah terwarnai oleh pemikiran barat. Dimana batas antara baik dan buruk; benar dan salah telah terkaburkan oleh kenikmatan fana dan standar dunia yang kini hanya dilihat berdasarkan materi semata. Maka tidak heran bila memuaskan hawa nafsu menjadi prioritas utama, tanpa mempertimbangkan lagi keberadaan akal sebagai alat untuk berpikir akan dampak dan akibat dari setiap perbuatan.
Dari sinilah lahir bibit-bibit liberalisme—masyarakat merasa bebas untuk mengadopsi dan mengekspresikan sesuatu termasuk dalam ranah seks. Tidak adanya gambaran tentang panduan lengkap menjalani kehidupan, cara menyelesaikan problematika hidup manusia, serta buramnya tujuan hidup di dunia, membuat mereka merasa bebas untuk menentukan jalan hidup mereka sendiri hingga beresiko menyimpang dari hakikat kehidupan yang sebenarnya. Maka tidak mengejutkan jika zaman sekarang hubungan seks pun bisa menjadi lifestyle dengan hanya bermodalkan rasa suka sama suka, tanpa ada status pernikahan yang sah secara hukum dan agama.
Kemajuan internet dan cepatnya algoritma hari ini tak pelak dijadikan oleh barat sebagai alat utama untuk memfasilitasi ‘pameran’ perilaku yang bertentangan moral manusia. Penjajahan pemikiran seperti demikian ditanamkan barat ke kepala-kepala kaum muslim melalui drama, film, musik, budaya, kebiasaan, dan konten-konten yang tersebar di internet.
Paparan konten seksualitas yang semakin berani dan tanpa pengontrolan dari pemerintah, telah membentuk persepsi bahwa fenomena ini merupakan sesuatu yang wajar. Sistem negara yang menjadikan agama hanya urusan batin seseorang mengakibatkan moral menjadi list kesekian yang menjadi prioritas pemerintah. Dalam sistem kapitalisme-liberalisme menganggap aturan dari tuhan tidak cocok di gunakan untuk mengatur hajat hidup masyarakat yang serba heterogen.
Monsterisasi terhadap syariat Islam pun tidak dapat dihindari ketika ada narasi-narasi yang mengatakan syari’at islam itu tidak relevan lagi dengan zaman modern; larangan campur baur antara laki-laki dan perempuan itu terlalu kaku dan tidak gaul; perintah menutup aurat bertentangan dengan hak individu manusia; serta nasihat yang berisi norma agama hanya dilakukan oleh orang-orang konservatif dan mabuk agama. Tidak jarang, penolakan berupa celetukan “jangan bawa-bawa agama” atau “jangan ngomongin dosa” seringkali dilontarkan demi mengaburkan dosa sendiri.
Padahal di dalam Islam telah sempurna mengatur dan memberikan keistimewaan kepada kaum perempuan. Tidak perlu membuat aturan sendiri, seorang perempuan telah termulaikan dan terhormat dengan sendirinya bahkan di abadikan dalam surah An-Nisa di dalam Al-Qur’an. Perempuan bukan tempat penampungan sperma dan pemuas syahwat laki-laki belaka, tapi ia merupakan tiang peradaban dan sekolah pertama bagi anaknya.
Oleh karena itu, Islam sudah pasti mempunyai seperangkat aturan untuk menjaga perempuan termasuk tentang bagaimana naluri kasih sayang bisa dilampiaskan dengan cara yang halal. Islam telah menyampaikan hanya dengan pernikahan hak perempuan dapat terjamin baik secara agama atau hukum negara. Memang jika dilogikan hubungan seksual dengan menikah atau tanpa menikah sama-sama bisa mengobati kepuasan syahwat.
Tapi hanya dengan menikah pintu-pintu keberkahan Allah hadirkan, hanya dengan menikah pahala-pahala dari setiap aktivitas suami dan istri Allah berikan, dan hanya dengan menikah kehormatan dan nama baik manusia terjaga meski melampiaskan syahwatnya. Berbeda dengan aktivitas zina yang sudah jelas mudaratnya. Walaupun enak di awal tapi ada kerugian dan dosa besar yang tersembunyi dibalik kenikmatan itu.
Di antara kerugian tersebut ialah merusak kohormatan dan harga diri dari perempuan itu sendiri. Selain itu, karena aktivitas seks ini bisa dilakukan dengan siapa saja, maka akan sulit menentukan ayah dari sang anak sekaligus merusak nasab yang sudah ada. Maka pantas saja, dalam surah Al-Isra ayat 32, manusia sudah diwanti-wanti untuk tidak mendekati zina, apalagi sampai melakukannya. Namun tidak cukup jika mengamalkan isi Al-Qur’an hanya sebatas level individu saja, harus ada sesuatu yang lebih besar untuk menerapkan syari’at ini secara global agar dapat terjalankan tanpa tercokoli oleh pemikiran-pemikiran asing.
Negaralah yang menjadi unsur utama dalam tegaknya syariat Islam dan akan membasmi segala bentuk aktivitas yang berindikasi zina. Pencegahan awal yang dilakukan yakni dimulai dari ranah pendidikan. Dalam sistem pendidikan Islam tidak hanya berorientasi pada ilmu pengetahuan tapi juga tentang cara melahirkan generasi berkepribadian Islam (syakhshiyah Islam). Dengan begitu, anak-anak sejak dini telah terbentengi dari pengaruh buruk nikmat duniawi sekaligus terbiasa melakukan amar makruf nahi mungkar untuk menjaga generasi dari kemaksiatan.
Selain itu, sistem pergaulan juga akan diatur dan dibatasi antara laki-laki dan perempuan agar sesuai dengan syariat Allah. Ketika syariat Islam dijadikan sebagai standar kebijakan, maka kebijakan tersebut akan menyaring dan memblokir konten-konten porno atau muatan gaya hidup bebas yang bertentangan dengan Islam seperti yang terjadi hari ini. Sekalipun masih ada yang melakukan maksiat atau pelanggaran, maka sanksi yang tegas akan diberlakukan tanpa pandang bulu dan tunggu nanti-nanti. Saknsi ini berfungsi sebagai penebus dosa (jawabir) dan memberikan efek jera (zawajir). Dengan demikian lengkap sudah Islam sebagai pedoman hidup yang turun langsung dari tuhan, bukan dari manusia yang dibuat sesuka hatinya untuk memuaskan nafsunya belaka.(**)