Oleh: Deisy Fitriana Maunu (Mahasiswi UNG)
OPINI|mediasulutgo.com — Dilansir dari cnnindonesia.com bahwa meski mengalami pro dan kontra, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) akhirnya disetujui dan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menjadi Undang – Undang dalam rapat Paripurna yang digelar secara elusif di parlemen pada Selasa (6/12).
Pengesahan RKUHP ini juga mendapat banyak pertentangan dan penolakan dari berbagai kalangan, baik masyarakat dan juga mereka para mahasiswa yang tergabung dalam berbagai macam organisasi kampus.
Sebagaimana dilansir dari liputan6.com (7/12), ada sekitar 151 organisasi yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP bersama-sama menampik pengesahan RKHUP ini. Mereka menjajal bahwa sederet pasal yang terkandung dalam RKUHP tersebut masih banyak yang bermasalah.
RKUHP yang Sejak Lama Menuai Kontra
Pertentangan atas munculnya draft atau Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) bukan hanya terjadi belakangan ini. Namun sejak tahun 2019, banyak kelompok-kelompok demonstrasi menolak adanya RKUHP ini. Mereka masyarakat hingga mahasiswa kompak bersama-sama turun ke jalan menyuarakan penolakkan atas masalah yang ada pada beberapa pasal yang terkandung dalam RKHUP tersebut.
Selain itu, banyak yang menganggap dalam RKUHP ini justru memuat pasal-pasal yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), antidemokrasi, meringankan tindak pidana korupsi, diskriminatif terhadap korban pelecehan, menghambat hingga membungkam kebebasan pers di hadapan publik.
Berikut sederet pasal yang dianggap kontroversial:
1. Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden
Tertuang dalam pasal 218, hukuman bagi siapa saja yang menghina atau menyerang kehormatan Presiden atau Wakil Presiden dipenjara paling lama tiga tahun. Dan pasal 219, yang meyebarluaskan akan dipenjara hingga empat tahun.
2. Penghinaan terhadap Lembaga Negara
Hampir serupa dengan pasal 218, pasal 240 dan 241 tertuang bahwa akan memenjarakan seseorang selama tiga tahun dan empat tahun jika menghina bahkan menyebarluaskan penghinaan terhadap Pemerintah baik itu DPR, Polisi, dan juga BNN di media sosial.
3. Dilarang Melakukan Demonstrasi yang Mengakibatkan Kerusuhan
Pasal 273, akan memberikan hukuman penjara selama satu tahun bagi orang yang melakukan unjuk rasa atau tindakan demonstrasi yang mengakibatkan kerusuhan.
4. Melenggangkan Korupsi
Pada pasal 603 menerangkan bahwa tindak hukum paling sedikit yakni dua tahun penjara bagi orang yang memperkaya diri dalam hal ini adalah korupsi yang merugikan Negara.
5. Pelecehan Seksual Tidak Akan Ditindak Jika Tidak Ada Aduan
Tertuang dalam pasal 411 dan 412 bahwa seseorang yang bersetubuh dengan bukan suami atau istrinya akan dipenjara selama satu tahun dan sesorang yang tinggal bukan bersama suami atau istrinya akan dipenjara selama kurun waktu enam bulan. Namun semua itu ditindaki selama ada pengaduan sebagaimana pada ayat ke dua yang termuat dalam kedua pasal tersebut.
Keinginan Penguasa atau Ancaman Bagi Rakyat?
Sejauh masyarakat menilik pasal-pasal yang dianggap bermasalah bahkan mengundang kontroversial, jelas disamping itu menjadi sebuah kekawatiran. Apakah pengesahan Undang-Undangan ini merupakan bentuk perlindungan atau sebatas keinginan para penguasa yang bahkan dapat menjadi ancaman bagi masyarakat.
Menanggapi sederet pasal bermasalah ini, makin menuai keresehan. Seolah masyarakat makin dipersulit, dipojokkan, dan justru para penguasa dan para pejabatlah yang diuntungkan atau bahkan diutamakan perlindungannya. Padahal, masyarakatlah yang harusnya lebih diutamakan, bukan justru diperlakukan demkian bahkan disosori dengan banyak ancaman tindak pidana.
Sederet pasal yang menjadi polemik di tengah masyarakat saat ini, juga menjadi tampakkan kurangnya atau menurunnya kredibiltas dari pemerintah. Mirisnya, ketika berpijak di Negeri yang katanya menjunjung tinggi demokrasi. Dengan slogan yang selalu digaung-gaungkan, “Dari, Oleh, dan Untuk Rakyat”. Slogan yang katanya memgutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan lainnya. Namun sayang, aturan yang bermunculan dan disahkan justru banyak memuat aturan antidemokrasi.
Jelas sebagaimana tertuang dalam pasal penghinaan Presiden, Wakil Presiden, hingga para Lembaga Negara. Dimana pasal tersebut bisa disalahartikan oleh para aparat penegak hukum untuk membungkam kritik masyarakat terhadap pemerintah. Bahkan hingga saat ini, sebelum RKUHP disahkan, tidak sedikit yang dikenai tindak pidana atas kasus penghinaan terhadap penguasa, sekalipun kritikan tersebut berkaitan dengan kebijakan dan kinerja pemerintah yang dianggap tidak sesuai. Makin membuktikan seolah pemerintah antikritik dan tidak menerima komentar masyarkat terhadap kinerja mereka.
Selanjutnya dalam pasal 273, yang makin menyulitkan masyarakat apalagi mahasiswa yang ingin melakukan aksi demontrasi. Padahal aksi unjuk rasa atau demontrasi ini menjadi salah satu bentuk untuk menyatakan pendapat di hadapan publik yang dijamin oleh Undang-Undang. Selain itu, sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Domisioner Ketua BEM UGM 2019 dulu pada diskusi Mata Najwa, bahwa peningkatan kuantitas dan kualitas dari aksi mahasiswa sejalan dengan menurunnya pengelolaan pemerintah.
Belum lagi dengan pasal yang melenggangkan korupsi, dimana para pencuri uang rakyat justru dihukumi hanya dua tahun penjara. Geram rasanya hukuman bagi yang menggorogoti uang rakyat dengan penghinaan terhadap lembaga Negara sangat berbeda. Menjadi bukti kemaslahatan rakyat bukan bagian yang perlu diprioritaskan, namun justru orang yang menyengsarakan rakyatlah yang dilindungi.
Kemudian pasal pelecehan yang akan ditindaki jika ada aduan, menambah kekawatiran bagi korban mengalami tindak pelecahan namun sulit untuk mengungkapkan. Akan makin banyak korban yang justru memilih diam karna takut dan tidak sanggup menanggung malu jika mengatakan mengalami tindak pelecehan.
Tidak Bungkam Meski Disinyalir Menjadi Ancaman
RKUHP yang memuat pasal yang kontroversial terhadap kebebasan aspirasi rakyat, menunjukkan bahwa meskipun manusia mencoba membuat aturan, jika itu berasal dari manusia itu sendiri, maka tidak akan pernah menghasilkan aturan yang sempurna. Karena ketika peraturan dibuat hanya berdasarkan akal manusia, maka akan selalu ada perbedaan pendapat dan akhirnya memicu konflik. Oleh karena itu, ketika membuat aturan, manusia harusnya menggunakan sumber yang tidak eksklusif berasal dari akal manusia, sehingga tidak menimbulkan ketidaksepakatan, perdebatan atau bahkan kontradiktif.
Penolakan keberadaan RKUHP justru mengasingkan semangat berbangsa. Tujuan negara yang seharusnya untuk melindungi rakyat, bukan untuk mengancam mereka. Namun kini, semangat bangsa justru terancam bukannya dilindungi. Semua hukum hari ini muncul dari sekularisasi. Hukum saat ini tidak menciptakan keadilan. Dilakukan dengan benar hanya untuk menghukum kesalahan dan bukan untuk menyelesaikan masalah yang sebenarnya.
Beberapa pasal dari RKUHP juga menunjukkan bahwa pemerintah sangat takut dikritik. Padahal, sebagai aparatur negara tidak boleh anti kritik, karena kritik sebenarnya adalah obat. Dalam Islam, muhasabah atau kritik terhadap otoritas harus diresapi dan dilanjutkan dari waktu ke waktu. Mengkritik penguasa merupakan kebiasaan umat Islam untuk melakukan nahi munkar dan muhasabah lil hukam. Amar makruf Nahi munkar selalu dilaksanakan, saling menasihati tentang kebaikan dan mencegah keburukan yang lebih besar.
Tujuan kritik adalah untuk mengoreksi kebijakan penguasa sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Adapun menghina tubuh atau kepribadian penguasa, tantu Islam melarang keras karena bentuk fisik manusia adalah ciptaan Allah Ta’ala yang paling baik. Sangat menyenangkan ketika para pemimpin hari ini terbuka dan siap untuk memperbaiki kesalahan ketika orang lain mengkritiknya. Bukan sebaliknya, memeperalat kekuasaan untuk membungkam siapa pun yang menentangnya.
Maka dari itu, kita harus terus mengkritisi kebijakan yang kita anggap merugikan bahkan menzalimi masyarakat. Karena sesuai dengan pandangan Islam, ini berarti menjadi proses penngamalan amar makruf nahi munkar yakni yang mejadi salah satu amalan yang paling penting.(*)