OPINI,mediasulutgo.com – Dalam bangku perkuliahan, riset atau penelitian sepertinya menjadi sesuatu yang amat melekat dengan mahasiswa dan sukar dilewatkan bagi mereka yang memiliki daya pikir kritis. Riset atau penelitian adalah sarana dan kesempatan yang menjadikan mahasiswa dapat berpikir kreatif dan sistematis dengan tujuan untuk meningkatkan jumlah pengetahuan dan mengembangkan produk atau layanan baru yang berdampak terhadapmasyarakat. Apalagi dengan bumbu-bumbu tuntutan Tridharma Perguruan Tinggi yang ditetapkan sebagai kewajiban bagi perguruan tinggi untuk dapat merealisasikannya. Sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mewajibkan perguruan tinggi untuk menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Hal inilah yang menjadi dasar hukum dan dorongan kuat bagi universitas untuk semakin memasifkan riset atau penelitian secara besar-besaran, tidak terkecuali universitas yang ada di Gorontalo.
Salah satu universitas yang ada di Gorontaloberhasil mengantarkan 116 judul penelitian dan pengabdian masyarakat lolos dalam pendanaan program penelitian dan pengabdian masyarakat Kemdiktisaintek Tahun 2025. Sayangnya fakta yang seringkali dianggap sebagai tanda masa depan cemerlang, ternyata menyimpan ironi pahit yang tidak banyak diungkap ke publik. Sesaat banyaknya dana yang dikucurkan untuk riset ini terdengar visioner, namun bukankah mahasiswa sebagai corong aspirasi dan pengawal kebijakan publik. Jika mereka menjadi lembaga teknis yang sibuk mengurus proposal, laporan, dan publikasi riset, lantas siapa lagi yang akan mengeraskan suaranya ke depan penguasa? Tanpa kita sadari, masifnya riset dapat menghipnotis mahasiswa menjadi mahasiswa yang kehilangan daya kritis. Matinya daya kritis dan independensi berpikir di kalangan mahasiswa menyebabkan mereka justru sibuk dengan administrasi dan target kerja yang jauh dari isu politik hingga perlahan mengendurkan kepekaan sosial dan keberanian mengoreksi kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Inilah saatnya kita mempertanyakan: jika riset nasional malah membungkam nalar anak bangsa, lantas untuk siapa sebenarnya riset pemerintah ini bekerja?
Pada realitanya, harapan dan tujuan dari riset yang dijalankan hari ini sudah lari dari yang seharusnya. Riset yang didanai dengan uang rakyat seharusnya menjadi mercusuar kemandirian intelektual dan solusi bagi masalah bangsa. Namun, ironi pahit kini membayangi: di tengah alokasi anggaran yang kian besar, arah riset nasional seolah dikendalikan oleh kompas pasar global.Alih-alih hirilisasi untuk kemajuan lokal, hasil riset mahasiswa justru malah dikomersialisasikan dan dijadikan barang dagangan. Hal ini dibuktikan melalui hasil riset yang jauh dari kebutuhan masyarakat umum dan dikembangkan hanya untuk kepentingan para pemodal, seperti halnya Manpack Radar—sebuah perangkat hasil riset inovasi Universitas Riau (Unri) bersama PT LEN Industri (Persero) untuk membantu aparat keamanan TNI maupun Polri dalam mengawasi wilayah Indonesia. Jika dipikir kembali hasil riset seperti demikian tidak ‘menyentuh’ masyarakat awam secara langsung, namun hanya memberikan laba pada sektor dan orang-orang tertentu. Itu terjadi sebab tujuan riset hari ini telah jatuh dalam cengkraman kapitalismesehingga tujuan riset tidak lagi murni sebagaimana seharusnya. Sadar atau tidak, selalu ada kepentingan kapitalis yang menyelip di setiap sendi kehidupan untuk meraih keuntungan materi yang tidak ada habisnya, termasuk jika itu harus mengkapitalisasi riset sekalipun. Masyarakat terbiasa hidup dengan segala sesuatu yang hanya bisa dilihat oleh mata laksana materi, sehingga istilah-istilah seperti visi, nilai, keimanan yang tidak terlihat wujudnya menjadi barang yang kurang diminati dan ditanggalkan seiring zaman yang juga memilih untuk menyingkirkan peran agama dalam mengatur kehidupan dunia.
Alhasil riset tidak lagi menjadi solusi yang memecahkanmasalah umat, melainkan kerap dijadikan alat untuk mendapatkan profit yang lebih besar. Sementara ada peradaban lain yang pernah berjaya selama ribuan tahun lamanya telah terbukti berhasil menjadikan pendidikan berada dalam puncak keemasan tertinggi di seluruh dunia, termasuk menghasilkan riset-riset hebat yang hingga kini masih memberikan kebermanfaatan bagi umat manusia. Ialah Islam, dengan berlandaskan pada akidah Islam, visi dan misi dari riset menjadi lebih jelas dan terarah. Riset yang mandiri, berdaulat, dan menyejahterakan merupakan visinya, sementara misinya berupa rencana riset kemajuan yang didedikasikan untuk kebaikan Islam dan kaum muslim, dengan tujuan untuk mempercepat dan mempermudah negara untuk menjalankan peran dan fungsi politiknya yang berkaitan dengan urusan umat.
Untuk mewujudkan visi dan misi tersebut, diperlukan ekosistem riset yang sehat, dalam hal ini mencakup regulasi pemerintah yang jauh dari campur tangan pemilik modal, berorientasi pada ridha Allah bukan kepuasan materi, mahasiswa fokus menimbah ilmu dan menghasilkan berbagai temuan saintek yang baru, sementara negaralah yang menyediakan dan menjamin sarana dan prasarana riset tersebut terpenuhi. Namun segala hal dan atribut yang diperlukan untuk mewujudkan riset ke arah yang lebih baik akan jadi teori belaka jika tidak diiringi dengan penerapan sistem Islam secara menyeluruh khususnya sistem pendidikan.Islam yang didukung sistem ekonomi Islam dan sistem politik Islam meniscayakan negara mampu menjamin ketersediaan periset yang professional dan reward yang luar biasa bagimereka, serta melakukan berbagai riset produktif yang niatkan untuk menggapai ridha Allah.(*)