Privatisasi beraroma Kapitalisasi
Sejak dulu privatisasi bukan menjadi hal yang tabu lagi dibicarakan dalam negri ini. Privatisasi merupakan pengalihan kepemilikan aset yang sebelumnya dikuasai Negara menjadi milik swasta. Tujuannya agar meningkatkan pendapatan Negara. Biasanya aset-aset Negara akan di privatisasi kepada perusahaan-perusahaan yang kaya (baca: korporasi) atau swasta dan juga asing. Kaum neoliberal meyakini bahwa privatisasi mampu memberikan sejumlah dampak positif baik itu berupa kinerja, produktivitas perusahaan yang diprivatisasi efisiensi dan mendorong perkembangan pasar modal termasuk meningkatkan pendapatan baru bagi pemerintah.
Jika dilihat secara nampak, memang benar dengan adanya privatisasi Negara akan mendapatkan pendapatan atas hasil penjualan aset-aset Negara. Namun, jika kita menganalisa lagi secara mendalam, bersamaan dengan penerimaan pendapatan tersebut Negara akan kehilangan kepemilikan aset yang nilainya tinggi. Atas nama UU BUMN perusahaan kapitalis berhasil menggedekan tubuhnya. Dengan mendorong munculnya Undang-undang Privatisasi BUMN. Kemudian jaminan dari UU ini, perusahaan kapitalis lebih leluasa “mencaplok” satu per satu sumber daya alam baik itu pulau-pulau eksotis, pertambangan, kehutanan, bahan mineral, gas, minyak bumi, batubara, air dan sebagainya. Apalagi jika dijual kepada asing, bukan hanya sekedar labanya yang tidak masuk Negara tapi juga dapat menguras devisa yang mengalihkan tujuan awal dibuatnya BUMN.
Sudahlah Negara tidak mendapatkan laba plus kehilangan aset Negara, kini masyarakat yang ingin merasakan kenikmatan dari sumber daya alam, berfikir panjang untuk bisa menikmati keindahan alamnya termasuk pulau saronde. Jika aset-aset Negara semua terjual, tentunya Negara akan mencari sumber pendapatan baru untuk mendongkrak ekonomi. Satu-satunya sumber yang paling mudah didapat yakni berasal dari pajak. Sementara, efek domain kenaikan pajak akan berimbas pada kenaikan harga dan tarif yang dibebankan kepada rakyat. Rakyat miskin pun dipaksa untuk bayar pajak. Akhirnya, tidak ada pilihan lain selain berutang untuk menutupi kekurangan. Sedangkan kita ketahui bahwa slogan no free lunch (tidak ada makan siang gratis) realitasnya terus terjadi. Tatkala Negara berutang kepada asing atau lembaga internasional maka mereka akan memberikan sepaket dengan syarat kebijakan kepada pengutang. Jadilah Negara disetir oleh kepentingan-kepentingan para korporasi akibat jebakan hutang.