OPINI,mediasulutgo.com — Penetapan kenaikan Pajak pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% dianggap sebagai “kado pahit” bagi masyarakat indonesia di tahun 2025. Keputusan pemerintah menaikan (PPN) menjadi 12% merupakan salah satu rencana penyesuaian pajak pemerintah yang diatur dalam UU No.7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP). Berdasarkan pasal 7 ayat 1 UU HPP, merupakan strategi optimalisasi yang dilakukan pemerintah agar penerimaan pajak di tahun 2025 sebesar Rp2.189,3 triliun yang tertuang dalam RAPBN bisa tercapai.
Kenaikan PPN menjadi 12% telah menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat, termasuk dari kalangan gen Z. Aksi penolakan pun dilakukan oleh sejumlah mahasiswa, Gen Z hingga K-Popers menggelar unjuk rasa di Taman Aspirasi, Monas, Jakarta, (19/12/2024). Gen Z secara terang-terangan memberi respon penolakan dengan turun berdemonstrasi dan menandatangani petisi terhadap kebijakan kenaikan PPN 12%. Mereka menilai kenaikan PPN 12% akan merugikan mereka, sebab hal ini tidak hanya berimbas pada bahan pangan, tapi juga kesenagan mereka.
Menurut Penelitian Center of Ekonomic and Law Studies (Celios) kemungkinan respons yang diambil oleh Gen Z terkait dengan kenaikan PPN 12%. Pertama, Gen Z mungkin akan tetap memilih berbelanja barang yang telah dikenai PPN, namun mengandalkan pinjaman atau utang yang berisiko terjebak dalam perilaku pemborosan karena kecewa masa depan atau doom spending. Kedua, sebagian Gen Z kemungkinan akan beralih ke barang dan jasa dengan harga lebih murah, dan memilih gaya hidup lebih hemat atau frugal living. Ketiga, Gen Z mungkin akan memilih berbelanja di ritel informal, thrifting, atau melalui jasa titip (jastip) untuk menghindari pajak.
Meskipun pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Mentri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024 yang diberlakukan pada 1 Januari 2025. Mentri Keuangan Sri Mulyani mengatur PPN Pada pasal 2 dalam PMK mengatur bahwa yang temasuk dalam objek pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) akan dikenakan PPN dengan tarif 12%. Dan untuk barang dan jasa yang tidak termasuk dalam kategori barang mewah, akan dikenakan tarif PPN 11%. Perhitungan ini menggunakan dasar pengenaan pajak berupa “nilai lain”, yaitu 11/12 dari harga jual, artinya meskipun pembelian pada barang dikenakan tarif PPN 12%, tapi penggunaan nilai lain menyebabkan tarif efektif menjadi 11%.
Jika dinilai ketentuan baru PPN 12% masih kurang kuat secara hukum, karena baru diatur dalam keputusan PMK, belum tertuang dalam dalam keputusan presiden (keppres) atau dalam revisi Undang-undang No 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Perhitungan PPN mungkin berubah kapan saja, karena PMK rentan diubah, bisa saja nanti tiba-tiba akan dibuat 15/12.
Dampak Kenaikan PPN Terhadap Gen Z
Kenaikan PPN menjadi 12% pastinya akan berdampak luas bagi masyarakat, begitu juga pada Gen Z. Karena, kenaikan PPN akan semakin membebani Gen Z yang saat ini sedang berada dalam tahap awal kemandirian finansial. Gen Z yang merupakan generasi yang tumbuh diera digital, akan menghadapi tantangan baru yaitu dengan meningktanya harga layanan streaming, belanja online, hingga kebutuhan sehari-hari. Kebijakan kenaikan PPN 12% kurang mempertimbangkan aspek psikologis dan kondisi ekonomi kelompok muda yang cenderung rentan terhadap perubahan harga. Oleh karena itu, hal ini akan berdampak kepada Gen Z baik dari segi finansial maupun mental.
Dampak yang akan dirasakan oleh Gen Z akibat kenaikan PPN yaitu, Semakin sulit mengelola Keuangan Pribadi. Kenaikan tarif PPN menjadi 12% akan menaikkan pengeluaran Gen Z per tahun dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini tentunya akan semakin mempersulit Gen Z menyisihkan uangnya untuk ditabung. Apalagi lagi mereka yang bekerja untuk membantu ekonomi keluarga sekaligus menjadi tulang punggung bagi keluarganya. dan juga bagi anak kos akan merasakan dampak dari kenaikan PPN.
Kenaikan PPN tentu akan memberi dampak pada harga barang dan jasa ikut naik, sehingga akan mempengaruhi daya beli Gen Z menurun, terlabih pendapatan Gen Z cenderung terbatas dan masih mengandalkan dukungan finansial dari keluarga. Gen Z yang memiliki kebutuhan dan keinginan cenderung bervariasi, meningkatnya harga barang dan jasa dapat mempengaruhi banyak aspek kehidupan mereka, mulai dari kebutuhan sehari-hari hingga hiburan dan gaya hidup. Situasi ini memaksa Gen Z untuk mengurangi aktivitas berbelanja dan rekreasi yang selama ini menjadi cara mereka melepas stres..
Penurunan daya beli masyarakat ataupun Gen Z bisa memicu adanya penurunan produksi barang dan jasa suatu perusahaan. Penurunan daya beli yang menyebabkan penurunan produksi bisa berujung pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal untuk mengurangi pengeluaran perusahaan. Akibatnya, Gen Z kesulitan untuk memperoleh pekerjaan saat ini, karena peluang lowongan pekerjaan yang terbatas.
Kenaikan PPN bisa menjadi tekanan bagi Gen Z, mereka harus beradaptasi dengan perubahan ekonomi yang berdampak besar pada kesehatan mental Generasi Z. Salah satu cara mereka mengelola stres adalah dengan mencari hiburan, seperti staycation, liburan, atau menikmati hiburan digital misalnya menonton Netflix, mendengarkan lagu di Spotify. Namun, dengan meningkatnya PPN, biaya untuk menikmati semua itu ikut naik sehingga membuat Gen Z harus berpikir dua kali untuk mengeluarkan uang demi kesenagan tersebut. Hal ini memberikan dampak buruk bagi kesehatan mental Gen Z, sebab hiburan yang harusnya menjadi pelarian kini semakin terbatas, dan justru menambah stres yang dirasakan oleh Gen Z.