LIMBOTO, mediasulutgo.com — Ada ungkapan yang mengatakan, “Segemuk-gemuknya ikan pasti ada tulangnya, sekurus-kurusnya ikan pasti ada dagingnya. Sebaik-baik orang pasti ada buruknya, seburuk-buruknya orang pasti ada baiknya” . Untaian kalimat ini menggambarkan bahwa “Tiada gading yang tak retak, tiada manusia yang sempurna, kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT, Sang Maha Pencipta. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa manusia tidak boleh sombong dan menyombongkan diri karena sudah pasti memiliki titik kesalahan dan kekurangan yang selalu melingkupi hidupnya.
Kesadaran terhadap kekurangan dan kelemahan diri tersebut, sejatinya melahirkan suatu sikap untuk selalu berpikir positif, bukan malah sebaliknya selalu berpikir negatif. Berpikir positif dapat mengeliminir kemarahan, sikap arogansi, dendam, iri hati, dengki kepada seseorang. Dengan berpikir positif pula, seseorang dapat menaklukkan egoisme dan keakuan yang berlebihan yang memandang orang lain rendah, selalu salah dan menganggap diri selalu benar.
Seorang kolumnis, Viony Putri Nursalim dalam sebuah tulisannya (2020) mengatakan, pikiran negatif diartikan sebagai persepsi, harapan dan deskripsi negatif tentang diri sendiri dan orang lain dan dunia secara umum. Kondisi kognitif yang negatif ini juga diikuti dengan emosi negatif dan berdampak buruk pada perilaku dan kesehatan. Sementara menurut Masaru Emoto, pikiran negatif yang berlangsung lama akan mempengaruhi organ-organ tubuh tertentu yang pada akhirnya akan membuat seseorang tidak bisa bekerja dengan maksimal atau mengalami penurunan kualitas hidup. Bahkan pikiran negatif menyebabkan seseorang menjadi tertekan dan mudah stress serta kehilangan energi hidup yang positif. Dari stres dan rasa tertekan yang berkepanjangan inilah akan muncul penyakit-penyakit degeneratif seperti Hipertensi yang menyebabkan tekanan darah menjadi tidak normal yang berdampak terhadap munculnya keluhan-keluhan lainnya.
Dalam realitas yang terdekat, pikiran negatif salah satunya akan memicu munculnya ketidaksenangan yang menyebabkan rasa keluh-kesah dan amarah. Sementara dari aspek kesehatan, rasa amarah dan keluh-kesah akan berdampak terhadap menurunnya kekebalan atau imunitas tubuh. Saat marah, tubuh menjadi tegang dan bagian otak bekerja ekstra. Jika demikian, maka kondisi kondisi kesehatan menjadi sangat rentan.
Oleh karena itu, konsep perpikir positif sangat penting dalam kerangka meningkatkan kualitas hidup yang positif. Konsep berpikir positif memang tidaklah mudah. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran di San Frasisko Amerika Serikat (1986) menyebutkan bahwa lebih dari 80 persen pikiran manusia bersifat negatif. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kecenderungan manusia untuk berpikir negatif, baik berpikir negatif dalam konteks individu yang merasa tidak percaya diri, pikiran negatif karena persoalan hidup dan sebagainya maupun berpikir negatif kepada orang lain.
Persoalannya, bagaimana memunculkan atau merangsang dan membangkitkan energi pikiran positif sehingga pikiran negatif tidak cenderung menguasai diri seseorang. Secara sederhana, pikiran positif dapat dimaknai sebagai upaya untuk memandang sesuatu dari segi atau sudut pandang yang positif, menguntungkan dan dari sisi yang memunculkan rasa senang.
Ketika mendapatkan perlakuan yang tidak baik, dicemooh, diejek atau disebut “bodoh” oleh orang lain misalnya, terapi para motivator pada umumnya, bukan menaruh benci dan amarah kepada orang itu, melainkan mengambil sisi positif untuk memperbaiki diri dan belajar dengan tekun. Dengan begitu, ujaran kata “bodoh” dari orang lain itu akan kembali kepada orang itu, bukan pada diri kita, sebagaimana ungkapan “darinya adalah miliknya bukan milik orang lain”.
Pikiran negatif ibarat virus yang dapat merongrong seseorang. Pikiran negatif ibarat benalu yang akan mengganggu kehidupan itu sendiri. Pikiran negatif hanya bisa dieliminir oleh pikiran positif. Karena sesungguhnya, “kita adalah apa yang kita pikirkan”. Seorang mahasiswa yang hendak mengikuti ujian akhir misalnya, jika sejak awal ia berpikir negatif “tidak bisa menjawab soal-soal dalam ujian”, maka potensinya untuk tidak lulus akan lebih besar dibandingkan dengan temannya yang berpikir positif dan optimis. Sebab dengan pikiran negatif itu, dia akan menjadi cemas, was-was dan rasa takut akan menguasai dirinya sehingga ia tidak dapat menjawab soal-soal yang diajukan dengan baik.
Syekh Muahmamd Mutawwali al Sya’rawi mengatakan, pikiran adalah alat ukur yang digunakan manusia untuk memilih sesuatu yang dinilai lebih baik dan menjamin masa depan diri dan keluarganya. Dengan berpikir kata James Allan, seseorang bisa menentukan pilihannya. Pikiran negatif akan melahirkan aura negatif, sebaliknya pikiran positif akan melahirkan aura positif. Pikiran negatif yang merasuk ke dalam otak dan syaraf jangan sampai menguasai diri seseorang, sebaliknya segera diimbangi dengan pikiran-pikiran positif. Berpikir positif adalah memunculkan berbagai hal yang positif, memandang orang lain adalah baik, sepanjang kita berbuat baik, memandang orang lain memiliki perasaan sebagaimana kita juga memiliki perasaan. Kecurigaan-kecurigaan yang berlebihan sejatinya tidak menjadi perspektif yang melekat dalam benak setiap kita.
Menurut Asep Muchsin (2007), berpikir positif adalah pilihan terbaik bagi setiap orang dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun. Sukses dan bahagia adalah hal yang positif dan hanya bisa diraih dengan pikiran positif pula, pikiran positif akan melahirkan argumen tanpa sentimen. Berpikir positif paling tidak akan melahirkan indikator kehidupan yang prospektif, yakni berani dan mandiri, menguasai dan mampu mengendalikan emosinya, rasa amarahnya, kebencian dan dendam kesumat. Selain itu, berpikir positif akan mengarahkan seseorang selalu bersyukur dan bersabar serta termotivasi untuk memperbaiki diri.
Hidup ini akan lebih ringan, lebih bahagia jika selalu berpikir positif. Karena sesungguhnya pikiran negatif selalu saja menyeret seseorang pada sikap dan perilaku yang negatif yang justru menjadi sumber persoalan yang selalu datang bertubi-tubi. Dengan berpikir positif, seseorang akan lebih terbuka, terutama terbuka “pintu maafnya” kepada siapapun, sabar dan bersyukur serta mampu berbenah diri. Orang yang berpikir positif selalu memandang orang lain memiliki dua dimensi kebaikan dan keburukan, sebagaimana dirinya yang juga memiliki dimensi kebaikan dan keburukan. Dua dimensi yang kontradiktif tersebut dapat membangkitkan semangat untuk selalu membuka pintu maaf, bersabar dan bersyukur sembari memperbaiki diri ke arah yang lebih baik lagi. (***)