GORONTALO,mediasulutgo.com — Gerakan keseteraaan gender dalam politik di Indonesia sudah lama didengungkan dan diwacanakan di tengah masyarakat. Bahkan sejak Pemerintahan Presiden Soekarno Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Nomor. 68 Tahun 1958 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Politik Perempuan. Dalam realitasnya, manifestasi pelaksanaan ketentuan tersebut, terutama di era Orde Baru tidak berjalan secara maksimal.
Meskipun demikian, gerakan kesetaraan gender dalam politik, terus saja diwacanakan dan semakin mengkristal semenjak era reformasi bergulir tahun 1998, atau setelah runtuhnya pemerintahan Orde Baru. Era Reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa ketika itu, boleh disebut merupakan momentum penting dan bersejarah bagi kebangkitan kaum perempuan di panggung politik. Hal itu ditandai dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilu DPR-DPD dan DPRD yang mempersyaratkan, agar setiap Partai Politik peserta Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan, minimal 30 persen dari komposisi calon anggota legislatif yang diusulkan.
Dalam perkembangannya, jika dibandingkan semasa era Orde Lama dan Orde Baru, tingkat partisipasi politik kaum perempuan di era reformasi ini semakin meningkat, baik dari aspek kuantitas dan kualitas. Hanya saja, secara proporsional dan keterwakilan, antara laki-laki dan perempuan masih terdapat kesenjangan yang cukup jauh.
Jika merujuk pada hasil Pemilu sejak tahun 1999 hingga tahun 2019, maka terdapat beberapa catatan kritis tentang kiprah perempuan Indonesia dalam panggung politik yang menggejala, baik secara nasional maupun di daerah-daerah, diantaranya, Pertama, jumlah kaum perempuan, baik sebagai Pengurus Partai Politik, sebagai anggota legislatif maupun sebagai Gubernur, Bupati, Walikota bahkan Kepala Desa sekalipun, belumlah sebanding dengan kaum laki-laki. Kedua, meski populasi kaum perempuan pemilih di Indonesia lebih dari 50 persen populasinya, namun prosentase itu, tidak tercermin dalam pengambilan keputusan para pemilih perempuan untuk memilh kaumnya sendiri. Hal ini menyebabkan partai politik, pemerintah dan lembaga legislatif maupun pemimpin eksekutif, masih didominasi oleh kaum laki-laki.
Dari dua catatan tersebut mengindikasikan bahwa Pemilu yang diselenggarakan secara demokratispun, ternyata belum mampu meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan di panggung politik, minimal mendekati 50 persen dari kaum pria.
Tentu banyak faktor yang menjadi penyebab, diantaranya, faktor pendidikan, ekonomi, sosial budaya, bahkan faktor psikologi yang turut berpengaruh terhadap eksistensi kaum perempuan di panggung politik. Jika diidentifikasi, terdapat beberapa faktor utama yang menjadi pemicu, diantaranya, Pertama, solidaritas dan soliditas kaum perempuan terhadap kaumnya sendiri yang masih sangat rendah. Kedua, mahalnya cost politik akibat merebaknya pragmatisme politik yang begitu massif. Ketiga, masih banyak elemen di masyarakat yang masih meragukan kemampuan, kapasitas, kapabilitas dan intelektualitas kaum perempuan untuk memegang jabatan-jabatan politik tertentu. Keempat, terdapat asumsi yang memandang, bahwa dunia politik sebagai arena yang penuh dengan “kekerasan”, sebagai arena stuggle of power. Akibatnya, banyak yang menganggap dunia politik adalah dunianya laki-laki dan bukan dunianya kaum perempuan (Usman, 1998). Kelima, faktor adat dan budaya atau sistem nilai, terutama di daerah-daerah tertentu yang masih mamandang “tabu” memilih pemimpin perempuan.
Dalam konteks lokal Gorontalo, faktor-faktor tersebut di atas, menyebabkan politik kaum perempuan di daerah ini belum mampu mengimbangi dominasi kaum pria. Jika menengok sejarah perjalanan Gorontalo sejak tahun 1945, ketika Gorontalo masih menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi yang berpusat di Makassar hingga sebelum tahun 1998, boleh disebut, merupakan masa-masa dimana potret kelam kaum perempuan di panggung politik begitu tersaji secara vulgar. Wajah-wajah perempuan di lembaga legislatif dalam rentang puluhan tahun tersebut, masih bisa dihitung dengan jari.
Demikian pula, di lembaga eksekutif, hingga saat ini, Kabupaten Gorontalo yang berdiri sejak tahun 1959 dan Kota Gorontalo yang terbentuk sejak tahun 1961, atau sebagai daerah tertua di Gorontalo, belum ada seorang pun dari kaum perempuan yang pernah menjabat Bupati dan Walikota. Meski sejak era reformasi, beberapa figur keterwakilan kaum perempuan Gorontalo mulai tampil di lembaga-lembaga legislatif, namun jumlah mereka masih jauh dari harapan, yakni masih dibawah kisaran 10-20 persen.
Pemilu 2019 dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2020 lalu, nampaknya menjadi angin segar bagi bangkitnya kaum perempuan Gorontalo di Panggung politik. Pada Pemilu 2019, misalnya, kaum perempuan yang terpilih sebagai Anggota DPRD Provinsi Gorontalo sebanyak 11 orang dari total anggota dewan sebanyak 45 orang. Demikian juga di Senayan, terdapat 3 figur keterwakilan perempuan dari total 7 orang yang mewakili Provinsi Gorontalo. Demikian pula, pada Pilkada 2020, pertama dalam sejarah, Kabupaten Bone Bolango menghadirkan sosok perempuan pertama, Ir. Merlan Uloli sebagai Wakil Bupati. Di Kab. Pohuwato, untuk yang pertama kalinya dalam sejarah, Suharsi Igirisa berhasil tampil sebagai Wakil Bupati dalam lima tahun ke depan.
Kehadiran 2 sosok perempuan sebagai pemimpin eksekutif tersebut, sekaligus menjadi bukti, bahwa perempuan Gorontalo “bisa olo” di panggung politik. Hal itu sekaligus mementahkan ungkapan sebagaian kalangan yang mengatakan, bahwa kaum perempuan tidak boleh jadi pemimpin (Daerah) di Gorontalo.
Sejarah mencatat bahwa pendiri, pencetus dan pemimpin tertinggi pertama Kerajaan Tuwawa (Suwawa) pada ratusan tahun lalu, adalah seorang perempuan bernama Ratu Ayudugia. Bahkan dari puluhan Linula-Linula di Gorontalo yang dipimpin oleh Olongia, terdapat banyak figur perempuan hebat Gorontalo zaman dulu yang tampil sebagai pemimpin (Olongia). Pemimpin kerajaan Limutu (Limboto) pertama pada abad 13, juga adalah sosok perempuan bernama Mbu’i Bungale kemudian digantikan oleh putrinya yang juga seorang perempuan bernamaTolangohula. Jauh sebelum itu, Linula (Kerajaan) Limeheda’a, sebelum berafiliasi ke dalam Linula Limutu dipimpin oleh seorang Olongia perempuan bernama Maimuna.
Dengan begitu dapat disimpulkan, bahwa sejak berabad-abad lalu, kaum perempuan Gorontalo telah berada dalam panggung politik dan pemerintahan di daerah ini. eksistensi kaum perempuan Gorontalo memang sempat meredup, saat cengkraman penjajahan Belanda selama kurang lebih 2 abad lamanya dan terus berlanjut pada era Orde Lama dan Orde Baru.
Namun saat ini dan ke depan, panggung politik Gorontalo sangat terbuka lebar untuk kaum perempuan. Yang terpenting adalah, bagaimana perempuan Gorontalo ke depan, memiliki keberanian untuk tampil, percaya diri, memiliki tekad dan kemauan untuk mengasah kemampuan dan kapasitas keilmuan dan kapasitas kepemimpinan yang mumpuni, dalam rangka mewujudkan Gorontalo yang berkemajuan. (*)