Oleh Rostia Mile
Penulis adalah Mahasiswa UNG
OPINI,mediasulutgo.com-Pembahasan masalah radikalisme tentu sudah tidak asing lagi di telinga kalangan remaja saat ini. Maklum, selalu ada momen untuk membangkitkan isu ini. Beberapa hari lalu, ramai berita mengenai perlunya melindungi dunia pendidikan dari tindakan yang menjurus ke arah radikalisme. Terutama di dunia perkampusan yang tujuannya untuk menanamkan rasa menjaga keutuhan bangsa dan negara. Sebagaimana Universitas Negeri Gorontalo menggelar UNG Bersholawat dan Doa Bersama. Hal ini diungkapkan oleh Rektor Universitas Negeri Gorontalo Dr. Ir. Eduart Wolok, ST, MT pada sambutannya pada kegiatan tersebut pada Selasa, (24/5) bertempat di halaman Rektorat Universitas Negeri Gorontalo.
“Lewat kegiatan ini kita ingin menanamkan kepada adik-adik mahasiswa agar senantiasa menjaga keutuhan bangsa dan negara dan menjauhi paham radikalisme yang mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ungkapnya.
Ia menilai kegiatan tersebut sangat penting karena kampus merupakan salah satu tempat yang menjadi pintu masuk untuk paham radikalisme.
Sebagaimana oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mendorong adanya upaya institusi kampus untuk meningkatkan daya tahan mahasiswa dari pengaruh paham intoleransi dan radikalisme.
Daya tahan mahasiswa tersebut perlu ditingkatkan karena sebagai generasi yang akrab dengan dunia maya, mereka dianggap rentan terpengaruh paham intoleransi dan radikalisme yang begitu mudah disebarkan kelompok “intoleran dan radikal” dalam media sosial
Padahal sesuai data yang dilansir surat kabar The New York Times, Kamis (25/6), membuktikan kekeliruan prasangka bahwa umat muslim adalah pelaku mayoritas terorisme di Amerika Serikat. Dari data tersebut, rupanya jumlah korban aktivitas teror yang dilakukan oleh pelaku non-muslim atau malah warga kulit putih biasa, jumlahnya lebih banyak daripada yang terkait dengan radikalisme Islam.
Sejak serangan Gedung WTC 11 September di New York pada 2001, jumlah warga AS tewas akibat terorisme yang tidak terkait Islam mencapai 48 orang. Sementara pelaku teror dengan afiliasi jihadis menewaskan 26 warga sipil.
Contoh kasus lainnya antara perbandingan penusukan 3 jamaah Gereja di Prancis dan penembakan 51 orang jamaah di Masjid Selandia Baru pada 2019 lalu. Dunia kutukan teror itu. Namun, pelaku penusukan 3 jamaah Gereja dicap sebagai Teroris Islam. Berbeda dengan pelaku penembakan 51 jamaah Masjid di Selandia Baru. Pelaku dicap hanya sebagai teroris tanpa label agama di belakang, hanya teroris.
Salah Sasaran
Berbagai program deradikalisasi kerja sama BNPT dan kampus bertarget agar mahasiswa sebagai generasi muda makin mencintai bangsa dan negaranya, memperkuat persatuan Indonesia, serta bersikap inklusif dan toleran.
Anehnya, praktik program deradikalisasi dan isu radikalisme ini seolah fokus menyasar ajaran Islam dan kaum muslim. Buktinya, salah satu ajaran Islam, yakni jihad, tidak boleh dimaknai sebagai ‘perang’, melainkan dimaknai ‘sungguh-sungguh’ dengan alasan dianggap sebagai penyebab radikalisme.
Tentu sering merasa risih dan bertanya-tanya, mengapa setiap membahas radikalisme, Islam selalu menjadi sorotan? Saat membahas hal ini di dunia pendidikan pun, sejumlah lembaga dakwah di sekolah maupun kampus kerap jadi sorotan. Tidak sedikit, remaja muslim yang mengalami krisis identitas karena isu radikalisme selalu identik dengan syariat Islam dan perjuangan menegakkannya. Di tengah gencarnya dakwah Islam dan gelombang hijrah pada diri kaum muslim saat ini, isu radikalisme jadi bikin waswas. Pemuda yang lagi semangat untuk mengkaji Islam, tiba-tiba enggan memahami Islam karena khawatir disebut teroris. Lagi semangat-semangatnya pengin hijrah, mendengar label radikalis hanya karena berhijab syar’i itu bisa bikin insecure.
Belum lagi kalau ada yang mengatakan bahwa mereka yang menginginkan penerapan syariat Islam itu adalah muslim yang fanatik, intoleran, anti keberagaman, dan label negatif lainnya. Padahal, Islam itu memberikan pemahaman bahwa manusia itu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Padahal realitas keberagaman itu memang ada.
Kembali ke masalah radikalisme, jika kita merujuk pada definisi radikal yang bermakna kembali ke asas, asas Islam jelas akidah Islam. Betul, tidak? Jadi, siapa pun
[contact-form][contact-field label=”Nama” type=”name” required=”true” /][contact-field label=”Surel” type=”email” required=”true” /][contact-field label=”Situs web” type=”url” /][contact-field label=”Pesan” type=”textarea” /][/contact-form]
yang concern untuk memahami agamanya, mengkaji setiap ajaran Islam, tidak layak untuk disebut radikalis. Hakikatnya Islam tidak mengajarkan kekerasan.
Lantas, bagaimana dengan jihad, bukankah itu kekerasan? Bahkan, dalam berbagai visualisasi yang bertebaran, para teroris itu gandrung dengan jihad. Membahas syariat Islam itu harus kembali ke penjelasan syar’i. Jangan sekali-kali merujuk pada sumber yang tidak kredibel. Apalagi yang memang memiliki niat untuk membelokkan beberapa definisi syariat Islam sesuai konteks saat ini.
Islam Bukan Teroris
Memang kesannya seperti defensif. Namun, Islam sendiri tidak membenarkan segala bentuk kekerasan. Meski demikian, kita tetap mewaspadai adanya upaya untuk mengkriminalisasi sejumlah ajaran Islam hingga menimbulkan ketakutan untuk kembali pada syariat Islam kafah.
Isu terorisme dan radikalisme sendiri bukanlah hal baru. Pasca peristiwa 911 yang meruntuhkan menara kembar World Trade Center (WTC) di Amerika 2001 lalu, George Bush yang saat itu menjabat sebagai Presiden AS sesumbar bahwa peristiwa itu merupakan genderang perang antar peradaban. Bush sampai membagi dunia dalam dua kubu, kubu teroris dan kubu AS. Bush tanpa tedeng aling-aling menyebut Islam sebagai teroris.
Pasca kejadian itu, negara-negara di dunia sibuk mengurus isu terorisme yang pada era Trump beralih jadi War on Radicalism (WoR). Lanjutan dari isu terorisme itu adalah radikalisme. Mulailah di masyarakat terus-menerus hadir isu radikalisme, ciri-cirinya, tindakan yang terkategori radikal, hingga kaitannya dengan intoleransi.
Untuk memahami ini tentu dibutuhkan proses belajar yang terus-menerus. Namun, sebagai generasi Islam, jangan fobia untuk memahami ajaran Islam secara utuh. Rasa takut terhadap ajaran agama sendiri justru hanya akan membuat kaum kafir bersorak.
Mengapa? Karena generasi yang seharusnya menjadi pejuang dan pelanjut peradaban Islam justru menjauhi ajaran Islam. Padahal, di tangan generasi muda Islam akan berkembang hingga bangkit menjadi peradaban yang gemilang.
Generasi Islam yang sesungguhnya
Islam sesungguhnya jauh dari kata radikalisme, dalam makna kekerasan. Sepanjang sejarah peradabannya, Islam melindungi warga nonmuslim yang hidup di wilayah Kekhalifahan. Bahkan, tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa Islam adalah satu-satunya agama sekaligus ideologi yang memiliki konsep yang jelas bagaimana menghormati hak non-muslim.
Islam juga mengajarkan tentang konsep toleransi sesama umat beragama. Bukti konkretnya, kaum Nasrani dan Yahudi sampai sekarang tetap ada, kan, meski dulu pernah berada di bawah kekuasaan Islam?
Maka, isu radikalisme yang terus dikaitkan dengan ajaran Islam, termasuk perjuangan menegakkannya, hanyalah opini yang hadir untuk menjauhkan umat Islam, termasuk generasi Islam, dari Islam kafah.
Satu-satunya sikap yang harus generasi Islam tunjukkan adalah rasa bangga terhadap Islam, serta semangat yang tinggi untuk mengkaji dan memperjuangkannya.
Wallahu’alam_