PEMILU DAN PEMILIH
Oleh :
Prof. Fory Armin Naway
Ketua ICMI dan Ketua PUSPAGA Kabupaten Gorontalo.
OPINI_Mediasulutgo.com- Bangsa Indonesia baru saja melaksanakan Pemilihan Umum (Pemilu) tanggal 14 Februari 2024 untuk memilih wakil rakyat yang duduk di DPR-RI,DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota serta Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Hasil pemilihan umum tersebut, saat ini masih harus menunggu proses penetapan resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 28 Maret 2024 mendatang.
Meski hasilnya sudah kelihatan, namun secara legal-formal, keputusan siapa yang berhak duduk di lembaga legislatif di semua tingkatan dan siapa Presiden dan Wakil Presiden untuk 5 tahun ke depan, berada sepenuhnya di tangan KPU. Artinya, masyarakat sejatinya tetap bersabar, taat hukum dan aturan dan tidak sepenuhnya berspekulasi, apalagi menyebar berita bohong atau hoaks yang tidak jelas juntrungannya.
Terlepas dari semua itu, satu hal penting yang perlu mendapat perhatian dan patut dilakukan penelitian lebih lanjut, adalah fenomena pemilih, dalam hal ini sikap masyarakat terhadap pesta demokrasi 5 tahunan ini yang cenderung dinilai lebih mengarah pada sikap pragmatisme ketimbang rasionalitas dalam memilih. Penelitian ini penting untuk memastikan keakuratan pendapat atau perspektif banyak pakar dan pemerhati politik di Indonesia yang menyatakan keprihatinannya terhadap fenomena pragmatisme pemilih di Indonesia pada setiap perhelatan demokrasi, dimana para pemilih cenderung irasional, yakni memilih bukan berdasarkan “kualitas dan integritas” melainkan berdasarkan “isi tas”.
Sebenarnya sangat tidak bijak, jika ada “generalisasi” terhadap fenomena ini, melainkan layak dipetakan atau diprosentasekan seberapa besar kelompok masyarakat yang cenderung pragmatis dalam pesta demokrasi dan seberapa besar yang masih bersikap rasional. Penelitian atau riset ini ke depan sangat penting sebagai rujukan dalam menggalakkan pendidikan politik kepada masyarakat.
Jika merujuk pada ungkapan para pakar, bahwa sikap pemilih dalam pesta demokrasi sangat bergantung pada kondisi ekonomi dan tingkat pendidikan masyarakat, termasuk tingkat kesadaran literasi masyarakat. Berdasarkan hal itu, maka sesungguhnya, fenomena pragmatisme politik masyarakat masih cukup merebak dengan sangat massif.
Hal itu mengacu pada rata-rata tingkat pendidikan masyarakat di daerah-daerah di Indonesia yang rata-rata lama sekolah 7 -8 tahun yang berarti sebagian besar masyarakat Indonesia tidak lulus Sekolah Lanjutan Pertama. Oleh karena itu, seorang pakar Hukum Tata Negara Prof. Yusril Ihza Mahendra dalam sebuah acara di salah satu stasiun Televisi mengusulkan agar sistem pemilihan umum yang menggunakan prinsip “one people one voters’ atau satu orang satu suara dapat ditinjau kembali mengingat tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah. Menurut Prof. Yusril Ihza Mahendra, bahwa demokrasi pemilihan langsung hanya layak diberlakukan di sebuah negara yang memiliki tatanan masyarakat yang cerdas dan berpendidikan tinggi.
Apalagi dengan tingkat literasi atau minat baca masyarakat Indonesia yang masih sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia. Dilansir dari data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001% yang memiliki minat baca. Hal itu berarti, dari 1000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang suka dan aktif membaca. Hal itu sangat berdampak terhadap sikap politik masyarakat yang sudah pasti akan lebih cenderung menggunakan standar “emosional” dalam memilih dari pada menggunakan aspek rasionalitas. Lebih jauh lagi hal ini akan berdampak terhadap tingkat kualitas dari ouput pesta demokrasi yang dilaksanakan yang nota bene membutuhkan biaya yang cukup besar.
Pemikiran konstruktif Prof. Yusril Ihza Mahendra tersebut di atas, sejatinya menjadi bahan pertimbangan dalam kerangka mewujudkan Pemilu yang berkualitas dan berintegritas di masa mendatang. Sistem “one person one voters” perlu ditinjau kembali, misalnya dengan menggunakan sistem komunal atau sistem distrik, dimana setiap kelompok masyarakat dalam satu distrik hanya diwakilkan kepada satu atau dua orang.
Sistem one person one voters ini menyebabkan biaya politik menjadi sangat mahal yang tidak hanya dikeluhkan oleh para politisi yang memiliki modal besar,tapi juga oleh mereka yang memiliki potensi keilmuan, berkomitmen kerakyatan dan kualitas sebagai “negarawan” namun tidak berkemampuan secara ekonomi. Tidak heran jika banyak para figur politisi yang sebenarnya “memiliki komitmen dan kualitas kenegarawanan” namun harus memilih untuk tidak maju bahkan “terpinggirkan” dalam blantika perpolitikan karena faktor pragmatisme politik masyarakat yang merebak.
Oleh karena itu dalam kerangka mewujudkan Pemilu yanb berkualitas di masa depan, terdapat beberapa agenda penting yang perlu dirumuskan untuk diaktualisasikan di masyarakat, yakni pendidikan politik kepada masyarakat yang mesti dilakukan secara komprehensif di masa mendatang.
Meski tugas dan agenda pendidikan politik kepada masyarakat ini cukup berat, namun harus tetap dilakukan sebagai bagian dari amanat konstitusi yang harus mencerdaskan kehidupan bangsa. Ke depan, seluruh elemen tidak hanya terjebak pada tugas-tugas “teknis” pemilu,tapi yang justru terpenting adalah “tugas etis” untuk mencerahkan dan mencerdaskan masyarakat agar Pemilu menjadi pesta demokrasi yang berkualitas.
Selain itu, proses edukasi politik, program pendidikan kesetaraan, pendidikan untuk semua melalui peningkatan akses pendidikan, wajib belajar sembilan tahun serta gerakan literasi di masyarakat perlu digalakkan secara lebih tersistematis dan terstruktur yang dilakukan tidak hanya di forum-forum resmi tapi juga dilakukan secara masif di tengah masyarakat hingga ke pelosok desa sekalipun. (*) Semoga