Oleh : Maryam B, S.Ars (Aktivis muslimah)
OPINI, mediasulutgo.com — Kenaikan BBM yang diumumkan awal September 2022 yang lalu ternyata memberikan dampak pada masyarakat dari berbagai aspek, sehingga upaya pemerintah dalam mengatasi kenaikan BBM yakni memberikan beberapa bantuan salah satunya Bantuan Langsung Tunai Bahan Bakar Minyak (BLT BBM) yang telah tersebar diberbagai Kabupaten/Kota.
Penyaluran BLT BBM khususnya di Kabupaten Gorontalo, sudah mulai disalurkan kepada keluarga penerima manfaat. Penyaluran BLT ini dilakukan oleh PT. Pos, dalam hal ini Kepala PT. Pos Cabang Limboto, Saiful Dengo mengatakan bahwa total penerima manfaat yang menerima bantuan di Kabupaten Gorontalo berjumlah 44.689 orang dan setiap warga menerima Rp300 ribu untuk dua bulan.
“Besaran BLT BBM yang diberikan adalah Rp600 ribu dan diserahkan beberapa tahap. Tahap pertama Rp300 ribu pada bulan September. Tahap kedua direncanakan dilakukan pada bulan November dengan jumlah Rp300 ribu,” (AntraGorontalo).
Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Gorontalo, Roni Sampir mengatakan bahwa penyaluran bantuan ini merupakan bentuk perhatian pemerintah kepada masyarakat atas kenaikan harga pangan yang diakibatkan oleh kenaikan harga BBM.
“Saya berharap melalui bantuan subsidi BBM maupun bantuan sembako masyarakat akan terbantu”, ucap Roni.
Adapun mengenai penyaluran Pengalihan subsidi BBM dalam bentuk BLT BBM Kepala Negara menjelaskan bahwa BLT BBM akan disalurkan kepada 20,6 juta penerima manfaat di seluruh Indonesia. Bantuan tersebut, menurut Presiden, diberikan pemerintah guna meningkatkan daya beli masyarakat di tengah ancaman krisis global saat ini khususya dampak dari adanya kenaikan BBM.
“Agar daya beli masyarakat, konsumsi masyarakat menjadi lebih baik”, (Presiden.go.id).
BLT Sebagai obat bius
BLT BBM yang diberikan pemerintah perlu diapresiasi hanya saja menjadikan BLT sebagai solusi dari dampak kenaikan BBM tidaklah tepat. Bahkan keberadaan kebijakan mengenai BLT telah mendapatkan kritikan dari berbagai pengamat atau ekonom.
Kritik pertama datang dari seorang ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Abra Talattov yang menilai bahwa pemberian bansos BBM belum solutif. Pasalnya, nominal yang diberikan pemerintah sangat kecil.
“Bansos yang Rp150.000 itu kalau dirata-rata, sehari hanya dapat Rp5.000 untuk satu rumah tangga,” ujar Abra kepada Tempo, Minggu, 4 September 2022.
Kritik juga datang dari Dewan Pengurus Pusat Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (DPP IKAPPI) Ahmad Choirul Furqon yang khawatir akan terjadi inflasi mencapai 6-8 persen. Menurutnya dengan hal itu akan membuat para pedagang terdampak juga.
Oleh karena itu berdasarkan kritikan diatas kita bisa melihat dan berpikir sejatinya Bantuan Langsung Tunai bukanlah solusi.
pemberian BLT hanya bersifat sementara dan dalam jumlah terbatas, yaitu hanya kepada 20,6 juta dari 260 juta penduduk Indonesia. Itu artinya kurang dari 10 persen saja yang mendapatkan BLT BBM.
Padahal sejatinya subsidi BBM merupakan hak semua warga negara Indonesia. Karena Migas termasuk harta milik rakyat dan seharusnya dikembalikan sepenuhnya kepada rakyat.
Adapun negara hanya bertugas mengelolah.
BLT BBM bisa dikatakan seperti obat bius sementara bagi masyarakat. Setelah BLT selesai lantas apa solusi untuk masyarakat?” . Ingatlah ketika bantuan tersebut terhenti sedang harga BBM terus naik, maka rakyat semakin sulit memenuhi kebutuhan energi mereka.
Oleh karena itu kita perlu melihat permasalahan ini bukan terletak pada adanya BLT atau tidak. Melainkan keberadaan kesulitan yang dihadapi masyarakat dan negara ini karena adanya liberalisasi migas.
Liberalisasi migas adalah dampak khas penerapan sistem kapitalisme. Sistem tersebut melegalkan swasta menguasai dan mengendalikan sumber daya alam termasuk migas. Bahkan untuk semakin menguatkan posisi ini kapitalisme menempatkan negara hanya sebagai regulator, yaitu hanya berperan membuat undang-undang sehingga privatisasi sumber daya alam para kapital semakin mulus.
Perlu adanya perubahan yang mengakar
Tak ada jalan lain, ketika benar ingin merubah nasib rakyat maka harus merubah paradigma kapitalisme yang menjadi akar persoalannya. Dimulai dari pengaturan kepemilikan kekayaan. Islam memberi aturan dan batasan yang jelas.
Islam tidak menghalangi setiap individu memperkaya diri sendiri, namun harus tunduk kepada ketetapan syariat atas harta mana saja yang diperbolehkan untuk dikuasai individu.
Dengan penerapan sistem ekonomi Islam mewajibkan segala sesuatu yang itu mampu menguasai hajat hidup rakyat banyak, maka harus dikelola oleh negara dan hasilnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Ini didasarkan pada hadis Rasulullah SAW, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Ini jelas bahwa Islam mengharamkan di antaranya minyak dan gas bumi untuk diliberalisasi, pengelolaannya tidak boleh diserahkan kepada segelintir kapitalis.
Tidak ada celah bagi pemerintah untuk menetapkan undang-undang yang menghalalkan penguasaan individu atas kekayaan alam yang menguasai hajat hidup rakyat banyak. Negara memiliki kewajiban mengelolanya, dan mendistribusikan kepada rakyat dengan harga murah bahkan gratis.
Ketika kekayaan alam yang telah Allah SWT anugerahkan bagi negeri-negeri Muslim dikelola sesuai syariat-Nya, tidak ada alasan bagi negara untuk kekurangan anggaran pendapatan untuk memenuhi kebutuhan rakyat.
Negara tidak hanya mampu memberi subsidi, tapi bahkan mampu memenuhi seluruh kebutuhan pokok rakyat dan berbagai fasilitas pelayanan yang terjangkau, murah, dan bahkan gratis. Kesejahteraan bukan lagi mimpi panjang yang tidak mungkin tercapai.(*)