Oleh : Murtila Rahman
Penulis adalah Mahasiswi UNG
OPINI,mediasulutgo.com-Pernikahan beda agama kembali menuai perhatian publik, sebelumnya heboh soal nikah beda agama setelah ada putusan Pengadilan Negeri Surabaya pada 2022 lalu, dengan alasan adanya kekosongan hukum, demi Hak Asasi Manusia (HAM) dan menghindari kumpul kebo. Akibatnya, lahirlah putusan-putusan yang serupa dan putusan itu menambah jumlah permohonan perkawinan beda agama yang di kabulkan pengadilan di indonesia. Hingga maret 2022 lalu Indonesian Conference On Religion and Peace (ICRP) Mencatat sejak 2005 sudah ada 1.425 pasangan beda agama menikah di Indonesia.
Kemudian putusan pernikahan beda agama kembali di kabulkan oleh hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Permohonan itu di sampaikan oleh pasangan berinisial JEA mempelai laki-laki beragama kristen dan SW mempelai perempuan beragama islam. Sebelumnya saat didaftarkan ke Dinas Catatan Sipil Jakarta Pusat, mereka ditolak karena perbedaan agama. kemudian keduanya mengajukan permohonan ke PN Jakarta Pusat untuk diizinkan dan dikabulkan. Hakim mengabulkan permohonan itu dengan alasan selain berdasarkan UU Adminduk, penetapan yang diketok hakim Bintang AL berdasarkan putusannya dengan alasan sosiologis, yaitu keberagaman masyarakat. Keterangan dari suku dinas kependudukan dan catatan sipil (Dukcapil) Jakarta Selatan menyebutkan pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi kependudukan diatur bahwa pencatatan perkawinan berlaku pula bagi perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan. (cnnindonesia.com,25/6/2023)
Namun Keputusan ini memicu polemik karena bertentangan dengan fatwa MUI. Pada dasarnya pernikahan beda agama di indonesia sendiri pun di larang. Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya yang dikeluarkan pada Juli 2005 yang ditandatangani oleh ketua MUI KH Ma’ruf Amin, menyebutkan bahwa hukum pernikahan beda agama di Indonesia adalah haram dan tidak sah. “Dalam hukum islam, pernikahan beda agama dilarang” kata yandri dalam keterangannya di jakarta, kamis (29/6). Yandri menambahkan MUI telah berulang kali melarang pernikahan beda agama berdasarkan syariat islam. MK juga berulang kali menolak permohonann uji materi UU perkawinan yang ingin membolehkan perkawinan beda agama. “Seharusnya putusan MK dan fatwa MUI ini menjadi rujukan para hakim, termasuk hakim di lingkungan MA” ujar anggota komisi VIII DPR RI ini. Yadri melanjutkan putusan PN jakpus yang memperbolehkan pernikahan beda agama akan menimbulkan keresahan di masyarakat dan mengganggu harmoni sosial di antara umat beragama. (Mpr.go.id, kamis 29/6)
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW) juga mengkritisi pertimbangan Hakim PN Jakpus yang berdalih menggunakan alasan sosiologis dalam mengabulkan permohonan. Ia mengungkapkan Pasal 28B ayat (1) secara tegas menyatakan setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Sedangkan yang dimaksud perkawinan sah adalah yang diatur dalam UU Perkawinan, yaitu apabila dilakukan sesuai hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Memang, lanjut HNW, UUD NRI 1945 memungkinkan ketentuan HAM, termasuk Pasal 28B ayat (1) itu dapat dibatasi. Namun, pembatasannya harus merujuk kepada Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945, bukan dengan alasan yang sumir dan dibuat-buat. “Alasan pembatasan yang dimaksud oleh UUD terdiri dari beberapa hal, yakni alasan moralitas, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum. Jadi, sebenarnya UUD tidak menyebut alasan sosiologis sebagai pertimbangan, sebagaimana yang dilakukan oleh hakim di PN Jakarta Pusat itu. Namun sekalipun alasan sosiologis itu digunakan, harus tetap sejalan dengan ketentuan UUD antara lain nilai-nilai Agama, hal itu secara tegas disebut dalam Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945” tukasnya. Karenanya, dia mengingatkan para hakim, termasuk yang berada di lingkungan PN Jakarta Pusat agar merujuk kepada berbagai putusan MK tersebut, di antaranya putusan No. 06/PUU-XII/2014. Apalagi dalam hal ini putusan MK oleh UUDNRI 1945 pasal 24C ayat (1) dinyatakan sebagai bersifat final dan mengikat, termasuk dan terutama kepada atau untuk para penegak hukum. (detiknews.com, senin, 26/6/2023)
HUKUM MENIKAH BEDA AGAMA
Di Indonesia, secara yuridis formal, perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Kedua produk perundang-undangan ini mengatur masalah-masalah yang berkaitan dengan perkawinan termasuk perkawinan beda agama. Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat (1) disebutkan: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Dalam rumusan ini diketahui bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaan.
Ketentuan pasal ini menunjukkan bahwa perkawinan dinyatakan sah manakala ditetapkan berdasarkan hukum agama yang dipeluknya. Bagi yang beragama Islam maka acuan sah dan tidaknya suatu perkawinan adalah berdasarkan ajaran agama Islam. Hal senada diterangkan beberapa pasal dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Pasal 4 menjelaskan bahwa, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”.
Pada Pasal 44 menyebutkan: “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”. Pasal 61 disebutkan: “Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaf al-dien.” Tentu undang-undang dan peraturan perkawinan itu menyerap dari hukum Islam.
Dalam pandangan islam pun, sudah sangat jelas bahwa haram hukumnya menikah beda agama. Sebagaiman Allah SWT berfirman dalam Surat al-Baqarah ayat 221 Allah SWT melarang pernikahan beda agama dan sama sekali tak membuka peluang disahkan:
وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْا ۗ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكٍ وَّلَوْ اَعْجَبَكُمْ ۗ اُولٰۤىِٕكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّارِ ۖ وَاللّٰهُ يَدْعُوْٓا اِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِاِذْنِهٖۚ وَيُبَيِّنُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْن ࣖ – ٢٢١
Artinya, “dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik dari pada laki-laki musyrik meskipun menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya, Allah menerangkan ayat-ayatnya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran” (QS Al-Baqarah: 221).
AKIBAT SISTEM YANG SALAH
Inilah dampak dari sistem sekularisme di negeri ini, tidak dapat di pungkiri bahwa sistem sekular saat ini benar-benar telah menabrak syariat islam sampai keakar-akarnya. sekularisme adalah paham yang memisahkan peraturan agama dari kehidupan, alhasil pembuatan hukum negara tidak di sandarkan pada tuntunan islam. Bahkan cenderung melanggar aturan agama sebagaimana fakta beda agama saat ini. Padahal islam memiliki syariat islam yang lengkap dan paripurna termasuk peraturan bahwa muslim haram menikah dengan laki-laki non muslim. Luar biasanya penerapan islam dalam seluruh aspek kehidupan akan membawa keberkahan bagi kehidupan umat manusia.
Ditambah sistem sekularisme membentuk individu masyarakat tidak mampu berpikir dengan benar (shahih) sistem ini telah melegalkan liberalisasi atau dalam bertingkah laku sehingga standar kebahagiaan disandarkan pada materi dan hawa nafsu belaka. Sekularisme yang berusaha mereduksi peran agama dalam kehidupan juga sejalan dengan agenda yang dicadangkan secara nasional bahkan internasional yaitu moderasi beragama. Dengan moderasi beraga, umat islam diminta untuk toleran terhadap hal-hal yang bersifat prinsip termasuk akidah.
Dampak selanjutnya masyarakat mengabaikan syariat islam yang datang dari Al-Khaliq sang pencipta manusia dan alam semesta masyarakat dalam sistem sekularisme sibuk mengejar kenikmatan duniawi hingga lupa tempat kembalinya diakhirat. Pemikiran sekuler semakin tertancap dibenak masyarakat melalui institusi pendidikan bernuansa sekuler dan kapitalis. Negarapun menjalankan fungsinya sebagai regulator untuk menanamkan kurikulum tersebut di dunia pendidikan. Tak hayal di katakan negara dengan sistem sekularnya tidak berfungsi menjaga tegaknya hukum Allah dan melindungi rakyat dengan tetap dalam ketaatan kepada Allah SWT. Pemerintah sangat memahami aturan pernikahan beda agama. Namun sekularisme saat ini menjadi tombak untuk memisahkan aturan islam dari kehidupan dan sasarannya adalah kaum muslimin.
PENERAPAN SISTEM SESUNGUHNYA
Masalah ini sejatinya akan tuntas dengan penerapan aturan sistem yang shahih yaitu aturan islam dalam seluruh aspek kehidupan. Sistem islam memiliki aturan tertentu dalam berbagai persoalan manusia yang semuanya bersumber pada aturan Allah dan Rasul-Nya. Dalam islam negara berkewajiban mendidik dan melindungi umat dari pemahaman yang keliru seperti pernikahan beda agama. Pasalnya, merujuk pada dalil-dali syara’ yang menjadi sandaran islam.
Dalam islam negara bertanggung jawab menjaga aqidah umat dan memastikan umat berada dalam ketaatan kepada syariat Allah karena pernikahan beda agama antara laki-laki non-muslim dan perempuan muslimah itu haram. Sehingga negara wajib mencegah pernikahan batil tersebut apapun alasannya. Negara bahkan berhak menghukum pelakunya juga pihak-pihak yang mengadvokasinya hal ini sangat di dukung oleh penerapan sistem pendidikan islam oleh negara yang mampu di akses oleh seluruh warga negara, pendidikan islam bertujuan untuk membentuk kepribadian islam pada setiap individu masyarakat. Itulah mekanisme islam mengurai problem nikah beda agama dinegera ini semakin menjadi-jadi namun semua mekanisme itu hanya akan terwujud dalam naungan daulah islam.
Wallahualam bishowab