OPINI,mediasulutgo.com — MBG (makan bergizi gratis) menjadi salah sau program unggulan Presiden Prabowo Subianto. Program unggulan ini bertujuan untuk menghasilkan pendidikan yang berkualitas melalui pemenuhan gizi generasi muda sesuai Angka Kecukupan Gizi (AKG). Dalam pelaksanaan program ini Kemendikdasmen bekerjasama dengan Badan Gizi Nasional (BGN). Nampak dari tujuan program ini sangat baik dengan melihat kondisi generasi hari ini yang sulit mendapatkan makanan bergizi untuk membantu tumbuh kembangnya. Akan tetapi alih-alih program ini dapat menuntaskan problem generasi hari ini, sebaliknya justru terdapat banyak problem.
Mulai dari pendanaan bermasalah, dilansir dari CNBC INDONESIA ‘presiden prabowo subianto gelisah karena masih banyak anak yang belum mendapatkan Makan Bergizi Gratis (MBG). Bahkan di ungkapkan oleh kepala Badan Gizi Nasional (BGN) butuh anggaran mencapai RP 100 T untuk memberi makan gratis ke 82,9 juta penerima manfaat.’ Sedangkan di sisi lain APBN yang dianggarkan untuk makan bergizi gratis mencapai Rp 71 T. Dari dana itu hanya cukup untuk memberikan makan bergizi gratis sebanyak 15-17,5 juta penerima manfaat. Tak hanya itu, ternyata karena tidak cukup pembiayaan anggaran makan bergizi gratis diambil dari zakat bahkan lebih parahnya diungkapkan ketua DPD untuk minta dana pada para koruptor.
Kemudian dari sisi kualitas makanan di program MBG juga bermasalah, hal ini disampaikan oleh Kepala Badan Gizi Nasional, Dadan Hindayana usai adanya 40 siswa SDN Dukuh 03 Sukoharjo keracunan usai menyantap makanan menu MBG. (tirto.id, 17/01/2025) padahal jika kita melihat ini sudah dalam pengawasan akan tetapi tetap saja kecolongan hingga membuat banyak yang keracunan setelah menerima santapan makanan bergizi gratis.
Tak Menyentuh Akar Masalah
Program MBG mulai diberlakukan pada 2 januari 2025 dengan menargetkan sebanyak 15,42 juta jiwa yang terdiri dari anak sekolah, santri, ibu hamil, ibu menyusui dan balita di 514 kabupaten/kota. Dalam program ini, makanan disediakan mengikuti standar kecukupan gizi yang ditetapkan termasuk protein, vitamin, mineraal dan energi.
Berawal dari tingginya angka stunting dan gizi buruk di Indonesia, pasangan presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo-Gibran mengklaim akan memperbaiki dan meningkatkan gizi anak melalui program melalui program unggulan makan siang gratis (sekarang menjadi makan bergizi gratis). Berdasarkan riset Center for Indonesian Policy Studies, terdapat 21 juta jiwa atau 7% dari populasi penduduk Indonesia kekurangan gizi dengan asupan kalori per kapita harian di bawah standar Kemenkes, 2.100 kilo kalori (kkali). Tercatat pula, 21,6% anak berusia di bawah lima tahun mengalami stunting pada 2023. Sedangkan 7,7% lainnya menderita wasting alias rendahnya rasio berat berbanding tinggi badan. Akankah kualitas generasi meningkat seiring terealisasinya program MBG?
Peningkatan Kualitas Generasi?
Merujuk pada program MBG ada beberapa hal yang perlu kita kritisi. Pertama, terdapat inkonsistensi dari program yang dicanangkan. Nampak dari pergantian nama program hingga polemik susu sapi diganti susu ikan. Saat kampanye pilpres lalu anggaran makan siang gratis dengan harga Rp 15.000 kini dipangkas Rp 7.500. dengan harga demikian mungkinkah nutrisi bisa terpenuhi dengan baik?
Kedua, susu sapi yang di ganti dengan susu ikan banyak di sorot masyarakat. Sebab hal ini mengurangi kandungan vitamin dan nutrisi. Di samping itu beberapa pakar gizi dan kesehatan juga menyarankan hal serupa agar program makan bergizi gratis jangan sampai mengeliminasi tujuan memperbaiki kualitas gizi generasi. Ketika berkurang gizinya maka akan muncul masalah penyakit seperti obesitas, diabetes, jantung dan kesehatan lainnya. Alih-alih menyehatkan justru malah mengonsumsi makanan yang membahayakan kesehatan.
Ketiga, program makan bergizi gratis akan sulit mewujudkan generasi berkualitas. Sebab masalah stunting dan gizi buruk hanyalah persoalan cabang akibat tidak terpenuhinya kebutuhan dasar. Kebutuhan dasar tidak terpenuhi karena pendapatan rakyat rendah dibandingkan pengeluaran. Kondisi rakyat saat ini besar pasak daripada tiang karena pendapatan kecil, bahkan tidak ada. Sementara itu pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan dasar terus meningkat. Jika hal ini terjadi berkelanjutan tentu bisa meningkatkan angka kemiskinan. Hal inilah mempengaruhi tingkat stunting dan gizi buruk. Dari sini, kita melihat sebenarnya problem nya bukan pada masalah gizi melainkan kemiskinan yang menghalangi generasi sehat dan kuat.
Pemimpin Demokrasi Minim Pelayanan
Pemerintah sudah seharusnya menjalankan fungsinya sabagai ra’in (pengurus rakyat) dengan menetapkan kebijakan untuk menghilangkan kemiskinan. Tak bisa dinafikan bahwa dalam sistem kapitalisme demokrasi meniscayakan kemiskinan. Dalam sistem ini menyebabkan tingkat kemiskinan menjulang tinggi, pendapatan masyarakat rendah, lapangan kerja sempit dan tingginya harga pangan bergizi bagi keluarga. Alhasil kondisi inilah mendorong peningkatan stunting dan gizi buruk. Dalam negara demokrasi kapitalisme, negara memang hanya bertindak sebagai regulator dan fasilitator bukan pelayan rakyat. Katanya pemerintahan dari rakyat, oleh dan untuk rakyat tetapi pada praktiknya berbeda dengan teorinya. Sebagai contoh persoalan makan bergizi gratis menggambarkan inkonsistensi ucapan penguasa. Hari ini susu sapi gratis, besoknya diganti susu ikan.
Pemimpin terpilih dalam sistem demokrasi sejatinya tidak akan bisa melayani rakyat dengan sepenuh hati. Sebab program makan siang gratis terindikasi menjadi program industrialisasi korporasi di sektor pangan. Padahal negara harus menyediakan layanan terbaik di semua bidang namun demokrasi transaksional membuat pupus peran tersebut. Nampak pada kebijakan lainnya yang juga dikomersialisasi semisal kesehatan, pendidikan dan pangan.
Cara Islam Menjamin Kualitas Generasi
Dalam Islam, pemimpin ibarat pengembala. Mereka merasa senang ketika menyaksikan terpenuhi seluruh kebutuhan rakyatnya. Layaknya pengembala, kadang berada di depan rakyat untuk memimpin dan mengomandoi mereka adakalanya berada di belakang rakyat untuk mengarahkan dan memberi pelindungan serta jaminan keamanan. Adakalanya berada di samping kanan kiri untuk mendampingi mereka agar tetap terjamin kebutuhan dan layanan diberikan.
Tidaklah mudah membangun sebuah negara yang bisa mencetak generasi berkualitas. Akan tetapi hal ini mudah dicapai dengan sebuah sistem terbaik dari Allah yakni Khilafah yang akan memperhatikan setiap kebijakan agar peradaban Islam mulia dapat terwujud. Beberapa kebijakan diantaranya:
Pertama, menjamin kebutuhan setiap individu rakyat yaitu sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Dalam kemudahan sandang, pangan, papan negara harus memberikan kemudahan bagi rakyat dalam mengaksesnya seperti tanah, rumah dan pangan yang murah. Negara akan memberikan sanksi tegas bagi siapa saja yang bertransaksi curang. Pada aspek kesehatan, pendidikan dan keamanan negara memberikan jaminan secara gratis. Negara wajib menyediakan fasilitas berkualitas untuk pelayanan kesehatan, pendidikan dan keamanan agar berjalan dengan baik. Pendidikan berbasis aqidah Islam untuk membentuk kepribadian Islam. Di samping itu, kesehatan juga berbasis layanan prima seperti pemberian makanan bergizi kepada balita dan anak-anak. Dalam Islam setiap individu berhak mendapatkan makanan bergizi bukan hanya orang miskin. Hal ini pernah terjadi pada masa Kekhalifahan Utsmaniyah, makan begizi gratis diterapkan dalam bentuk dapur umum yang didistribusikan pada pengurus masjid, guru, murid, sufi dan penduduk lokal membutuhkan.
Kedua, mengalokasikan anggaran negara untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat sesuai dengan jenis hartanya. Terdapat kepemilikan umum, individu dan negara. Kepemilikan negara yaitu fai, kharaj, jizyah dan dharibah (pajak), kepemilikan umum meliputi tambang, minyak, gas bumi, listrik, hutan dll. Kemudian juga ada zakat berdasarkan jenis zakat, zakat perdagangan misalnya. Inilah mekanisme Islam. Jika demikian mensejahterakan bukan? Sudah saatnya kita kembali pada sistem Islam yang jelas-jelas mampu menjamin kualitas generasi.(**)
Wallahu’alam Bishowwab.