MENYINGKAP PROPAGANDA LGBT
Oleh : Fatmatika Nurkamiden, S.Si
(Penulis Merupakan Lulusan Sarjana Sains)
OPINI, mediasulutgo.com — Menurut hasil survey CIA yang dilansir dari six pack magazine.net Indonesia merupakan negara peringkat ke-5 penyebaran LGBT terbesar d dunia setelah China, India, Eropa, Amerika. Sedangkan lembaga survei didalam ataupun diluar negeri memperkirakan bahwa 3% dari penduduk Indonesia merupakan LGBT. Hal ini berarti jika penduduk Indonesia saat itu berjumlah 250 juta jiwa 7,5 jutanya adalah LGBT (onhit,2016). Di Gorontalo sendiri berdasarkan data yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Aids (KPA) Kota Gorontalo, sebanyak 29,41% penderita aids adalah dari kalangan LBGT. Pelaku LGBT tersebut berasal dari berbagai kalangan, mulai dari pelajar, mahasiswa, ASN, karyawan, hingga pengangguran (rgol.id). Bahkan sangat disayangkan pelaku LBGT juga ada yg berasal dari kalangan abdi negara yakni TNI-POLRI yang dimana kelompok tersebut dipimpin oleh oknum TNI berpangkat Sersan (Tempo.co).
Dulu fenomena LGBT masih dianggap sebuah hal yang tabu, tapi seiring berjalannya waktu fenomena ini seolah mulai mendapat pengakuan di tengah masyarakat. Namun bukan sesuatu yang mengherankan jika hal tersebut terjadi, karena LGBT sudah menjadi bagian kampanye global. Hal itu dibuktikan dengan adanya sebuah Badan PBB untuk pembangunan, United Nations Development Programme (UNDP) yang telah meluncurkan proyek tepat pada perayaan Hari Hak Asasi Manusia 10 Desember 2012 yang bernama “Menjadi LGBT di Asia”. Dikutip dari situs resminya, dana yang dikucurkan untuk proyek ini sebesar 8 juta dolar AS atau setara dengan RP 108 Miliar saat itu. Negara yang menjadi sasaran proyek ini adalah Cina, Filipina, Kamboja, Mongolia, Nepal, Vietnam, termasuk Indonesia.
Menyingkap tujuan dibalik proyek LGBT
Dilansir dari Republika.co.id terdapat tiga poin tujuan proyek tersebut diantaranya yakni, Pertama, meningkatkan kapasitas kaum Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Interseks (LGBTI) dalam melakukan pengerahan (mobilisasi), advokasi kebijakan di negara sasaran. Tujuan dari advokasi kebijakan sendiri adalah untuk mengubah kebijakan publik dari yang tidak diinginkan menjadi kebijakan yang diinginkan, dan benar saja tujuan poin pertama ini sudah mulai nampak keberhasilannya, karena semakin hari semakin banyak negara yang dulunya tidak mengakui eksistensi kaum LGBT, hari ini sudah melegalkan hubungan sesama jenis bahkan hingga jenjang pernikahan. Pun tidak hanya negara Eropa, penyimpangan ini juga diizinkan di beberapa negara Asia dan Amerika Latin. Sampai dengan hari ini sudah ada 31 negara yang melegalkan LGBT (Suara.com)
Kedua, meningkatkan kapasitas pemerintah, parlemen, dan penegakan hak asasi manusia (HAM) di negara sasaran, agar tercipta aturan hukum yang melindungi kaum LGBTI. HAM memandang bahwa manusia punya kebebasan untuk berakidah, berekspresi/bertingkah laku, dll. Indonesia sendiri sebagai salah satu negara hukum turut menjamin kebebasan berekspresi dalam UUD 1945 Amendemen II, yaitu Pasal 28 E ayat (2) yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Gagasan inilah yang kemudian dijadikan tameng para kaum lgbt untuk melegitimasi perilaku mereka yang menyimpang.
Ketiga, mengurangi stigma dan diskriminasi yang dialami kaum LGBTI. Dilansir dari The conversation, study yang dilakukan oleh Endah Triastuti seorang dosen sekaligus peneliti menemukan bahwa komunitas gay di Indonesia menggunakan media sosial untuk mengubah stigma. Menurut kajian beliau, kaum LGBT mengembangkan beberapa strategi dalam bermedia sosial untuk melawan stigma buruk yang ditujukkan kepada mereka. Diantaranya yakni, pertama, literasi tentang gay. Namun pada faktanya tidak hanya tentang gay, tapi literasi tentang perilaku-perilaku menyimpang lainnya. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya salah satu website yang terindikasi dikelola oleh kaum pelangi, yakni Suara Kita yang memuat berita, cerita, opini tentang LGBT seolah identitas kaum tersebut tidak mengganggu tatanan masyarakat. Yang kedua adalah dengan melakukan berbagai gerakan sosial. Di Gorontalo sendiri komunitas LGBT yakni Binthe Pelangi Gorontalo dan Ikatan Waria Gorontalo pada tahun 2015 silam pernah melakukan bakti sosial bersama para lansia di Panti Jompo Ilomata Kota Gorontalo. Yang ketiga melalui pengungkapan orientasi, mirisnya dewasa ini semakin banyak kaum LGBT yang diundang diberbagai media sosial dan TV Swasta untuk membagikan ceritanya. Hal ini patut dikhwatirkan, karena berpeluang semakin banyaknya yang berani menunjukkan penyimpangan orientasinya sehingga lambat laun akan menjadi hal yang lumrah di tengah-tengah masyarakat.