OPINI,mediasulutgo.com — “Kami siap evakuasi mereka yang luka-luka, mereka yang kena trauma, anak-anak yatim piatu, siapa pun boleh. Pemerintah Palestina dan pihak-pihak terkait di situ mereka ingin dievakuasi ke Indonesia. Kami siap akan kirim pesawat-pesawat untuk angkut mereka. Kita perkirakan mungkin jumlahnya 1.000 untuk gelombang pertama,”
Demikianlah perkataan orang nomor satu di Indonesia—Presiden Prabowo dalam keterangan pers di Pangkalan TNI AU, Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, yang dapat dilihat di YouTube Sekretariat Presiden, Rabu (9/4) dini hari. Rencana besar ini diambil sebagai bentuk tanggung jawab Indonesia yang menyandang predikat sebagai salah satu negara dengan muslim terbesar untuk menyelesaikan konflik di Gaza dan untuk melanjutkan kembali agenda kemanusiaan ke Gaza yang pernah dilakukan sejak era kepemimpinana Joko Widodo. Tampak sekilas rencana ini sangatlah mulia, terdengar heroik, dan amat berguna untuk menolong korban perang yang ada di Gaza, apalagi di tengah gempuran serangan Israel yang semakin mengganas belakangan ini akibat berakhirnya perjanjian gencatan senjata. Pemerintah memang selalu menjadi nomor satu dalam bidang niat, tidak ada satupun yang dapat mengalahkan ide dan rencana yang lahir dari niat baik ini. Namun walaupun demikian, tetap ada saja pihak-pihak yang meragukan bahkan mengkritik niat baik pemerintah tersebut.
Dalam pidato kemarin, presiden Prabowo menegaskan bahwa evakuasi yang dilakukan terhadap warga Gaza hanya bersifat sementara karena pemerintah Indonesia berkewajiban mengembalikan para pengungsi itu kembali ke Tanah Air mereka setelah proses pengobatan korban sudah dianggap cukup dan situasi di Gaza memungkinkan. Akan tetapi kata-kata penenang seperti ini nyatanya masih tidak mampan bagi sebagian orang—mengingat track record yang ada telah membuktikkan bahwa kata “akan di kembalikan” hanya ilusi belaka. Pengamat Timur Tengah, Smith Alhadar, menyatakan tidak yakin dengan steatment pemerintah yang mengatakan hanya sementara. “Sejak Israel berdiri tahun 1948 itu, ratusan ribu orang sekarang sudah meninggal dan jutaan orang Palestina yang terusir dari kampung halaman mereka, tidak ada satu orang pun yang bisa kembali,” katanya. Hingga kinipun tidak ada tanda-tanda hilal mengenai pernyataan tegas dari Israel bahwa warga Palestina itu akan dipulangkan ke Gaza jika situasi sudah memungkinkan. Bahkan Media lokal Israel sendiri pun, Times of Israel, sempat membahas bahwa sejumlah pihak meragukan pemerintahnya akan mengizinkan para warga Palestina itu kembali. Karena itulah, tidak ada negara sekitar yang mau menerima relokasi ini. Sesungguhnya, percaya pada Israel ibarat membaca buku dua kali, kita selalu tahu endingnya akan seperti apa, karena tabiat para zionis memang senantiasa mengingkari perjanjian yang telah dibuat.
Selain itu, relokasi yang ditawarkan kepada warga Gaza juga dapat dianggap sebagai bentuk kontribusi dan dukungan pemerintah Indonesia secara tidak langsung terhadap penjajahan Israel atas Palestina. Sebagaimana yang diketahui, penjajahan Isreal terhadap Israel telah terjadi jauh sebelum serangan 7 Oktober 2023 kemarin, tepatnya sejak 29 Agustus 1897—ketika Kongres Yahudi yang dipimpin oleh Theodor Herzl menyepakati langkah-langkah untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina yang saat itu berada dibawah naungan Turki Utsmani. Berdirinya negara Israel tidak lepas dari uluran tangan dari negara-negara lain, salah satunya Amerika Serikat—sekutu terbesar Israel. Dukungan Amerika Serikat bukan hanya terlihat ketika negara tersebut berusaha didirikan dalam forum PBB, tapi juga melalui serangan militer yang dilancarkan Israel hingga hari ini. Di lansir dari Tempo.com, Amerika Serikat (AS) telah menghabiskan lebih dari USD22 miliar (sekitar Rp356,8 triliun) untuk mendukung operasi militer Israel di Gaza sejak 7 Oktober 2023, termasuk juga Lebanon dan Suriah, beserta mengirimkan pernak-pernik perlengkapan militer yang canggih.
Maka jelas sudah siapa otak dibalik segala tindak tanduk Israel. Hal yang sama pun terjadi pada rencana rekolisasi yang ditawarkan Indonesia. Ternyata ini bukan merupakan ide murni yang muncul langsung dari Indonesia, melainkan ada campur tangan Amerika di dalamnya. Rencana merekolisasi warga Gaza demi mengosongkan jalur Gaza merupakan narasi yang digaungkan Presiden Donald Trump yang dikenal dengan sebutan The Trump Peace Plan. Trump Peace Plan merupakan rencana perdamaian abadi antara Israel dan Palestina yang dicetuskan tahun 2020 lalu dengan Amerika Serikat sebagai mediatornya. Untuk mensukseskan rencana ini, Donald Trump berdalih wilayah Gaza sudah tidak layak lagi untuk dijadikan sebagai tempat tinggal. Dengan alasan itulah, ia mencoba melobi negara-negara sekutunya Arab, seperti Mesir, Yordania, Turki, bahkan negara-negara Afrika agar mau menjadi tempat relokasi warga Gaza. Indonesia pun tidak luput dari perhatian Amerika karena merupakan salah satu negeri muslim terbesar, sehingga digadang-gadang akan masuk dalam daftar negara yang menjadi bagian dari rencana besar ini. Terlebih banyak analisis yang beredar di jagat maya, kebijakan tarif impor Amerika ke berbagai negara di dunia yang ramai baru-baru ini adalah salah satu strategi untuk memenangkan lobi terkait kepentingan politik dan ekonomi negaranya. Maka dalam rangka merespon kebijakan ini sejumlah negara melakukan pendekatan terhadap Amerika Serikat dan Donald Trump agar mereka mau mengurangi tarif Impor di negaranya, termasuk ikut berpartisipasi dalam rancangan Amerika terhadap relokasi Gaza.
Namun terlepas dari benar atau tidaknya gonjang ganjing tersebut, adalah fakta bahwa presiden Prabowo telah menawarkan relokasi bagi warga Gaza. Fakta ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia masih kerap membebek pada negara-negara adidaya. Mengiyakan relokasi ini justru kontradiktif dengan isi undang-undang negara ini yang berkomitmen untuk menghapus penjajahan di atas dunia. Jikalau relokasi ini tidak mampu memulangkan warga ke tempat asalnya, ini malahan akan menghapus etnis atau penduduk asli disana serta membiarkan Israel menduduki tanah yang bukan milik mereka dan inilah yang disebut sebagai penjajahan. Sayangnya jalan relokasi ini kerap kali di anggap oleh sebagian orang sebagai solusi padahal tidak ada solusi hakiki selain melakukan jihad di jalan Allah. Akan tetapi, konsep negara hari ini yang memegang nasionalisme dan dibatasi oleh sekat-sekat toritorial menjadi penghalang menyambut seruan jihad tersebut. Ini adalah bukti nyata pengkhianatan yang dilakukan pemimpin negeri muslim terhadap saudara seakidah mereka yang ada di Palestina. Mereka hanya bisa diam melihat ribuan nyawa kaum muslim melayang dengan cara tidak manusiawi—membasahi tanah yang diagungkan tersebut dengan lumuran darah. Mereka bahkan tidak mampu mengirimkan satupun prajurit atau tentaranya, sebaliknya, hanya habis di basa-basi diplomatik sana sini, mengembar-gemborkan pembelaan terhadap Palestina, mengambil peran dengan memberikan sedikit bantuan logistik, namun tetap saja itu tidak mampu menyelesaikan akar konflik yang sebenarnya.
Tunduknya negara muslim terhadap setiran negara-negara adidaya merupakan bukti gagalnya sistem menciptakan negara yang mandiri. Dalam kepemimpinan Islam, negeri-negeri muslim lah yang seharusnya menjadi negara adidaya dan memimpin dunia. Sehingga ketika melihat kezaliman luar biasa seperti yang ada di Palestina, sang pemimpin atau khalifah tidak harus menunggu aba-aba atau persetujuan dari negara dan pihak manapun untuk mengirimkan pasukan militernya. Khalifah akan langsung menyerukan jihad fi sabilillah karena hanya itulah cara satu-satunya untuk menolong Gaza. Oleh karena itu, rencana evakuasi warga Gaza ataupun solusi-solusi lainnya yang berasal dari pihak musuh hanyalah solusi semu, sebaliknya warga Gaza membutuhkan aksi konkret dan tindakan nyata dari pengunaan kekuasaan militer untuk menghentikan penjajahan di tanah mereka yakni berupa jihad itu sendiri.
Sayangnya, hingga hari ini sosok khalifah yang mempimpin dan menyerukan jihad tersebut belum hadir ditengah-tengah kaum muslim dan ini menjadi tugas kita bersama. Khalifah hanya dapat hadir pada negara yang memegang prinsip kepemimpinan Islam dan menjalankan seluruh syariat Islam pada semua aspek dunia maupun akhirat. Untuk mendirikkan negara yang demikian, perlu kontribusi umat untuk berjuang menegakkan Islam di muka bumi ini sebagaimana yang pernah terjadi di era golden age ratusan tahun yang lalu. Disinilah dakwah berperan penting untuk menyebarkan opini Islam, bahwa agama Islam tidak hanya berisi perkara ritual yang menghubungkan individu dengan Rabb-nya, namun juga adalah seperangkat rujukan kehidupan yang mengatur hubungan antara manusia; way of life, dan lifestyle untuk mencapai kesuksesan dunia ada akhirat.(**)