Konsekuensi PT BHMN.
Kini 2000, beberapa PTN di Indonesia telah berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Empat PT pertama yang ditetapkan secara bersamaan sebagai BHMN adalah UI, UGM, IPB dan ITB. PTN BHMN ini memiliki otonomi penuh dalam mengelola anggaran rumah tangga dan keuangan. Pada 2009, bentuk BHMN beralih menjadi Badan Hukum Pendidikan Pemerintah berdasarkan UU 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. UU ini kemudian dibatalkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 tanggal 31 Maret 2010 seiring banyaknya protes dari berbagai pihak. Walhasil, pemerintah mengeluarkan PP 66/2010 yang mengembalikan status PT BHMN menjadi PT yang diselenggarakan pemerintah.
Status ini tidak bertahan lama. Begitu UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi terbit dan berlaku, seluruh PT eks BHMN, termasuk yang telah berubah menjadi PT yang pemerintah selenggarakan, kembali menjadi PT negeri badan hukum. Sejak awal munculnya wacana PT berbadan hukum, sejumlah pihak sudah mengkritik konsepnya. Ini karena terdapat sejumlah konsekuensi PT BHMN ini, antara lain pengurang subsidi dari pemerintah.
Masalah derivat dari pengurangan subsidi ini membuat mendorong PTN berbadan hukum untuk mencari dana tambahan dari pihak swasta guna menjalankan aktivitas kampus dan melakukan pembangunan infrastruktur. Dengan adanya kerja sama dengan pihak swasta, PTN BH pun harus rela dimasuki korporasi. Wajar jika sejumlah PTN akhirnya menjalin bisnis dengan mendirikan mal, SPBU, restoran, membuka jasa penyewaan gedung, dan sejenisnya.
Untuk meningkatkan pendapatan, pihak kampus kini menaikkan biaya pendidikan bagi mahasiswa. Tentu saja, biaya tersebut sudah melambung tinggi. Dampaknya bisa ditebak, tidak sedikit generasi harus memupus cita-citanya melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Padahal, pendidikan memiliki peran penting dalam memajukan negerinya sendiri.