OPINI|mediasulutgo.com — Akhir-akhir ini, isu kasus korupsi kembali mencuat ke permukaan. Namun bedanya, kali ini kasus-kasus tersebut terungkap secara bersamaan sekaligus. Terhitung baru 10 hari menjabat, 28 koruptor dari tujuh kasus korupsi di Indonesia yang melibatkan para pejabat berhasil dibongkar di era kepeminpinaan presiden Prabowo Subianto. Salah satunya adalah penangkapan Thomas Trikasih Lembong, yang juga dikenal sebagai Tom Lembong, terkait dugaan korupsi impor gula. Ini diumumkan oleh Kejaksaan Agung sebagai bagian dari upaya mereka untuk menindak para pelaku korupsi di sektor ekonomi.
Dalam wawancaranya dengan tirto.id, seorang Direktur Penyidikan pada JAM Pidsus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, mengatakan bahwa pasti masih ada kemungkinan keterlibatan menteri lain terhadap kasus dugaan korupsi impor gula pada Kementerian Perdagangan (Kemendag) di tahun 2015-2016 silam.
Hingga hari ini, kasus korupsi impor gula telah menyeret satu nama lagi yakni Charles Sitorus selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) yang di tetapkan sebagai tersangka. Tidak kalah dari Tom Lembong, Charles Sitorus ditetapkan sebagai tersangka karena melakukan pemufakatan jahat gula kristal untuk delapan perusahaan swasta, yang telah dikondisikannya sendiri.
Pembasmian Korupsi Bermasalah
Terungkapnya kasus korupsi secara berbarengan ini seolah menjadi momentum emas bagi permerintah era Prabowo, yang membuat mereka besar kelapa. Tak sedikit masyarakat yang memberikan pujian akan kontribusi Prabowo padahal masa jabatannya masih terbilang seumur jagung. Akan tetapi masa gemilang ini tidak seindah dengan yang terlihat di depan panggung rezim. Mungkin bagi orang awam, mereka tidak akan menyadarinya. Namun bagi sebagian orang yang mampu menganalisis lebih lanjut, ternyata masih ada fakta lain yang belum terungkap atau memang sengaja disimpan rapat-rapat oleh pemerintah demi melindungi berbagai pihak yang menjadi kaki tangan pemerintah, atau nama kerennya adalah para oligarki.
Hal ini dibuktikan dengan tidak dilibatkannya Menteri Perdagangan periode 2015-2016 rezim Jokowi yakni Zulkifli Hasan padahal ia pun diketahui pernah terlibat kasus izin impor gula sekitar 18 juta ton, mengalahkan impor gula Tom Lembong yang hanya sekitar 5 juta ton. Meskipun demikian, Kejaksaan Agung justru tidak memberikan panggilan kepada Zulkifli Hasan atas kasus tersebut dengan alasan kasus impor gula di Kementrian Perdagangan tidak ada kaitannya dengan kebijakan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan. Sebaliknya, Zulkifli Hasan semakin gencar menunjukkan eksistensinya dengan kembali menjabat sebagai Menteri Perdagangan, melanjutkan posisi yang sama sebagaimana di rezim Jokowi kemarin (Democrazy.id, 2/11/2024)
Dari kasus ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengungkapan kasus korupsi secara besar-besaran belakangan ini tidak lain adalah sistem tebang pilih. Dimana penegakkan hukum berada dibawa kontrol dan cengkraman para oligarki, sehingganya mereka pun bisa dengan mudah lepas dari bayang-bayang sel tahanan penjara. Eksistensi para ologarki ini juga dapat dilihat dari masifnya gratifikasi, yang sebenarnya berpotensi menjadi indikasi kasus korupsi, akan tetapi diburamkan oleh status yang bersangkutan, yaitu embel-embel anak presiden. Tindakan putra bungsu Presiden ke-7 Joko Widodo yang memamerkan privat jet di sosial media seolah tidak dianggap serius, bahkan menurut KPK, apa yang dilakukan oleh Kaesang Pangarep bukanlah termasuk gratifikasi (Kompas.com, 3/11/2024). Ini terjadi karena Kaesang bukan penyelenggara negara dan tidak tinggal bersama orang tuanya. Sehingga pemberian ini tidak termasuk hadiah yang dapat mempengaruhi kebijakan negara. Kita tahu bersama bahwa Kaesang adalah putra Presiden Jokowi. Maka jelaslah privilage yang Kaesang dapatkan karena dia adalah putra presiden, bukan karena keinginan pribadinya semata. Padahal perihal gratifikasi, sudah diterangkan pada Pasal 12B dan 12C UU Tipikor, yang menyebut bahwa fasilitas jet pribadi itu termasuk dalam kategori gratifikasi, sebab gratifikasi tidak selalu berupa barang, namun juga dapat berbentuk fasilitas/jasa.
Pernyataan KPK tersebut sangat lekat akan sarat interversi, yang mengindikasikan ada akrobat hukum yang coba dimainkan oleh para people power didalamnya. Padahal penegakan hukum seharusnya memberikan rasa keadilan dan tidak tebang pilih. Tidak tebang pilih artinya penegakan hukum tidak melihat garis keturunan, keluarga, koneksi orang dalam, kekuasaan atau godaan uang sekalipun. Jika ini terus berlanjut, masyarakat bisa menganggap bahwa hukum hanya berlaku bagi mereka yang tidak memiliki kedekatan dengan kekuasaan. Negara yang seharusnya berbasis hukum, malah menjadi negara kekuasaan yang dimiliki oleh segelintir orang. Lantas apa yang salah dari sini? Apakah pribadi atau personal dari individunya sendiri? Atau karena kita memang telah disuasanakan dengan sistem yang senantiasa melahirkan budaya korupsi?
Buah Busuk Kapitalisme
Tingginya angka korupsi di Indonesia tidak lain adalah buah busuk dari diterapkannya ideologi kaptalisme─ideologi yang “ramah” dengan para koruptor sebab aturan hukum yang lahir dari sistem ini masih sangatlah longgar. Nilai-nilai seperti hedonisme dan kebebasan adalah contoh ideologi masyarakat modern yang berorientasi pada Barat. Salah satu dampak negatif dari keyakinan kebebasan dan hedonisme ini adalah korupsi. Dengan sistem kehidupan modern yang sekuler, manusia tidak lagi bergantung pada agama. Akibatnya, mereka merasa bebas melakukan apa pun, bahkan melakukan dosa, tanpa mempertimbangkan apa yang dianggap halal dan haram, melainkan mencari keuntungan materi saja. Oleh karena itu, munculah masyarakat yang hanya peduli dengan kehidupan mereka sendiri daripada kehidupan orang lain. Hubungan antarmanusia menjadi bersifat material semata. Inilah alasan mengapa korupsi berjemaah semakin marak. Pelaku korupsi lebih suka saling menutupi dan menjaga kepentingan agar tetap aman daripada saling melaporkan satu sama lain.
Islam memiliki sistem sanksi yang unik, tegas, dan menjerakan bagi mereka yang melanggar. Sanksi hudud, jinayah, takzir, atau mukhalafat akan diterapkan pada setiap pelanggaran. Sanksi tegas ini berfungsi sebagai jawabir (menebus dosa di dunia sehingga tidak diazab di akhirat) dan zawajir (mencegah orang lain melakukan kesalahan yang sama). Berbeda dengan sistem kapitalisme yang tebang pilih, Islam menganggap semua orang sama di mata hukum. Demikianlah manfaat ketika hukum Islam diterapkan. Dengan tingkat kejahatan yang menurun, maka manusia akan hidup dalam keamanan.(**)