Scroll keatas untuk lihat konten
OPINIHEADLINES

Ketika Pemerintah Dunia Gagal…

×

Ketika Pemerintah Dunia Gagal…

Sebarkan artikel ini

Oleh: Rayyan Kinasih

OPINI,mediasulutgo.com — Setelah sekian lama dunia hanya diliputi oleh berita yang tidak menyenangkan hati tentang Palestina, akhirnya datang juga angin segar dari lautan biru yang membawa kabar gembira sekaligus mengharukan kepada seluruh dunia. Sebuah kapal sederhana yang berisi 12 orang aktivis kemanusiaan telah memulai perjalanannya membela hamparan lautan biru dari pelabuhan Catania, Italia menuju pesisir pantai Gaza sejak Palestina sejak tanggal 1 Juni 2025 kemarin. Kapal Madleen merupakan bagian dari koalisis Freedom Flotila (FFC)—gerakan solidaritas internasional yang menyatukan berbagai komunitas dan aktivis diseluruh dunia. Termasuk juga menyatukan 12 orang aktivis dengan background dan negara yang berbeda namun mempunyai satu misi kemanusiaan yang sama yakni mengakhiri blokade maritim Israel terhadap Jalur Gaza yang telah berlangsung lebih dari 17 tahun lamanya. Aktivis-aktivis tersebut berasal dari berbagai negara seperti Jerman, Belanda, Brasil, Turki, Spanyol, Swedia, Belanda, dan Prancis, yang diantaranya diisi bukan oleh sembarang orang. Ada aktor Game of Thrones Liam Cunningham, anggota Parlemen Eropa Rima Hassan, sutradara film dokumenter Yanis Mhamdi, hingga anggota termuda yang berasal dari Generasi Z dan baru berusia 22 tahun, Greta Thunberg, ikut menaiki kapal Madleen yang mengangkut berbagai bantuan kemanusiaan ini.

Namun sayangnya, sebagaimana yang telah diprediksikan, perjalanan kapal Madleen harus terhenti di tengah jalan, tentu saja karena Israel dan antek-anteknya tidak akan membiarkan barang seorangpun menembus wilayah yang mereka jajah. Pada Senin (9/6/2025), setelah berlayar sekitar 9 hari, kapal Madleen dicegat oleh tentara Israel saat berada sekitar 185 km lagi dari pantai Gaza. Penangkapan ini di awali dengan terbangnya drone-drone yang menyemprotkan zat berwarna putih ke arah kapal sekitar pukul 03.00 dini hari, sebelum akhirnya pasukan tentara Israel datang menaiki dan mengambil alih kapal tersebut. Greta dan kawan-kawan ditangkap dan kapal mereka dibawa ke pelabuhan Ashood yang berda di bawah kendali Israel. Dari peristiwa yang menggemparkan dunia ini timbul pertanyaan dalam benak, mengapa Israel begitu takut dengan kedatangan kapal kecil yang hanya berisi 12 orang? Bukankah kapal dan para awaknya tidak membawa senjata apapun selain hanya pakaian di badan dan sejumlah bantuan kemanusiaan berupa obat-obatan, popok, tepung, beras, susu formula bayi? Lantas mengapa respon mereka harus seagresif itu—laksana melihat kapal besar berisi pasukan dunia yang hendak meruntuhkan tembok pertahanan yang mereka pelihara selama ini?

Advertisement

Scroll kebawah untuk lihat konten

Jawabannya ialah informasi. Israel takut pada kekuatan informasi atas kebenaran yang dibawa kapal Madleen bisa menghancurkan opini yang mereka bangun selama bertahun-tahun. Isreal takut narasi yang diteriakkan Grate dan kawan-kawan akan menginspirasi gerakan-gerakan yang lebih besar dan lebih terecana di masa depan, menggerakkan manusia-manusia waras lainnya untuk mengikuti langkah dan jejak yang sama. Dan lihatlah hari ini, kekuatan informasi itu benar adanya—ia telah menyebabkan riak di lautan, menguncangkan tanah di daratan, membisingkan suara di ketinggian. Berkat pantikan aksi dari koalisi Freedom Flotila, terbitlah gerakan-garakan lain yang lebih besar sebagaimana yang ditakutkan Israel, bertajuk Global March to Gaza yang resmi dimulai pada tanggal 9 sampai 15 Juni 2025.

Tidak hanya 12 aktivis, aksi solidaritas super magah ini telah berhasil menyatukan ribuan aktivis internasional dari lebih 80 negara. Bukan lagi mengarungi lautan menggunakan kapal kecil, kali ini semangat-semangat perjuangan tersebut menggembara melalui jalur darat, laut, hingga udara demi menembus blokade Israel dan membawa pesan solidaritas kepada rakyat Palestina. Walaupun kita sudah tahu akhirnya akan seperti apa, tentu saja Israel bahkan pemerintah Mesir—titik temu dan puncak utama dari aksi ini karena menjadi negara satu-satunya yang berbatasan langsung dengan Palestina—tidak akan membiarkan seorangpun aktivis menginjakkan kakinya ke kawasan tersebut dan mendeportasi mereka dari Mesir. Namun kenyataan pahit ini sungguh tidak membuat segala perjuangan, ikhtiar, dan perjuangan yang telah dikerahkan sia-sia. Justru sebaliknya, aksi bertaraf internasional ini adalah bukti nyata dari orang-orang yang masih memiliki akal dan hati nurani untuk ‘menolak diam’ terhadap genosida yang masih berlangsung dan telah membunuh ratusan ribu manusia bahkan anak-anak dan bayi di sana. Walaupun aksi ini mungkin tidak sampai menembus dan mengirimkan bantuan ke Palestina, tetapi narasi yang menyertai aksi mulia ini tetap berkibar—bahwa harapan itu masih ada, perjuangan masih panjang, dan semangat harus terus menyala.

Greta dan kawan-kawan aktivis lainnya telah menunjukkan kepada seluruh dunia, bahwa gagalnya pemerintah dunia hari ini, tidak ikut menggagalkan mereka sebagai manusia. Mereka ingin menekan dan menyadarkan para pemimpin dunia yang terus memilih bungkam dengan fakta genosida yang jelas-jelas ada di depan mata. Bagaimana bisa jerit tangis warga Gaza yang kehilangan keluarganya serta genangan darah bayi dan anak-anak yang syahid tidak kunjung mengetuk hati nurani para penguasa? Bagaimana mungkin para pemimpin dunia—terutama di negara-negara muslim—dapat tidur dengan nyenyak sementara di tempat lain ada puluhan ribu saudara seakidah mereka tidak pernah bangun kembali akibat hantaman bom dan rudal Israel?

Diamnya pemimpin di negara-negara muslim hari ini adalah sirine pertanda matinya rasa kemanusiaan yang seharusnya menjadi fitrah bagi manusia untuk saling menolong sesamanya. Hal ini membuat sebagian orang bersikap tidak peduli dan menjadi penonton pasif, namun sebagian lain yang peduli malah diliputi perasaan lemah, seolah tidak bisa berbuat apa-apa kecuali terus menunggu dan membiarkan urusan ini diambil alih oleh pemerintah dunia. Padahal jika dihitung dari segi jumlah, jelas kaum muslim menang telak. Dengan populasi sekitar 2 miliar manusia yang sebagian besarnya tersebar di 50 negara mayoritas muslim, tentu menjadi privillage yang lebih dari cukup untuk mengirimkan tentara-tentara paling kuat sekalipun, untuk membuat para penjajah itu lari tunggang langgang meninggalkan tanah Palestina.

Dari sini tampak jelas bahwa permasalahannya bukan terletak pada hambatan fisik namun pada terjajahnya pemikiran—bukannya tidak bisa namun tidak mau. Jika di Palestina sana kaum muslim terjajah secara fisik, kaum muslim yang hidup nyaman dan aman sentosa di negerinya masing-masing justru telah dijajah lebih dulu melalui pemikirannya. Barat telah mengganti akidah yang berkobar dalam setiap hati kaum muslim dengan akidah selain dari Islam, yakni kapitalisme-materialisme. Asas materialisme yang mengakar hebat dalam kehidupan modern saat ini telah menumbuhkan perasaan superioritas dan permusuhan dalam hati para petinggi dunia. Mereka selalu merasa perlu menunjukkan eksistensi negaranya pada dunia melalui pencapaian-pencapaian materi yang telah standarkan agar bisa menjadi negara dengan peringkat 1 dalam hal apapun, sehingga terciptalah paham nasionalisme. Rasa cinta tanah air yang salah kaprah ini dapat membatasi rasa kepedulian hanya pada batas garis-garis teritorial dan menyibukkan masing-masing negara dengan urusannya sendiri hingga lupa, bahkan menutup mata terhadap fakta bahwa saudara seakidah mereka terus mengalami pembantaian setiap hari. Berkat paham nasionalime pula, muslim yang dulunya bersatu dalam satu kepemimpinan Islam, kini terpecah belah dan termakan dengan narasi-narasi barat—yang katanya akan menghadirkan solusi untuk palestina namun nyatanya hanyalah solusi semu belaka. Betapa banyak retorika diplomatik, kecaman verbal, dan pernyataan formal yang telah keluar dari mulut penguasa, namun tidak pernah dibarengi dengan tindakan nyata. Tidak ada negara kaum muslim yang benar-benar berdiri bersama Palestina dan membelanya secara tegas dan berani. Bukannya membela dan melawan para penjajah, mereka lebih mirip seperti boneka kolonialisme yang terus membebek pada para penjajah.

Hal ini juga terjadi pada Indonesia, dalam menunjukkan keberpihakannya terhadap Palestina, Presiden Prabowo Subianto menawarkan beberapa solusi seperti menerima evakuasi warga Gaza ke Indonesia dan mendorong two-state solution sebagai penyelesaian konflik di antara kedua negara—yang disampaikannya dalam konferensi pers bersama Presiden Prancis Emmanuel Macron di Istana Merdeka, Jakarta pada Rabu, 28 Mei 2025 kemarin. Dengan kesadaran penuh, Prabowo menyampaikan bila Isreal mengakui kemerdekaan Palestina, maka Indonesia siap  membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Mungkin terdengar heroik dan bijak tapi disisi lain ini tidak lebih seperti pedang bermata dua, karena pernyataan tersebut sama saja dengan Indonesia mendukung penjajahan dan membiarkan pencuri mengambil tanah yang sejak awal sudah ditempati oleh warga asli Palestina selama bertahun-tahun. Bagaimana mungkin kita dapat membagi rumah kita sendiri dengan pencuri tersebut? Bukankah ini tidak masuk akal? Betapa memalukan dan menyedihkannya penampakan negeri-negeri kaum muslim hari ini yang secara terang-terangan berbaris bersama para penjajah dan berkhianat kepada saudara seakidah mereka yang ada di Palestina.

Ketiadaan kehendak politik independen pada negara dan pemimpin muslim, membuat mereka mau tidak mau, suka tidak suka terus mengikuti kehendak para penjajah dan tidak punya kuasa untuk melawannya. Sebagaimana yang disampaikan sebelumnya bahwa penghalang uluran tangan ini tidak kunjung sampai ke mereka yang ada di Gaza karena adanya tembok nasionalisme, maka untuk merubuhkannya hanya dapat dilakukan dengan persatuan umat. Sama seperti aksi Greta dan kawan-kawan yang menyatukan ribuan manusia dari berbagai penjuru dunia tanpa pandang bulu melalui aksi Merch to Gaza, dalam persatuan umat islam pun juga demikian, namun bedanya persatuan kali ini bukan hanya di dasari oleh rasa kemanusiaan semata tapi lebih dari itu. Persatuan umat Islam haruslah dibangun atas pondasi kokoh bernama akidah Islam dan ditopang oleh tembok negara yang menerapkan syariat Islam secara kaffah. Seluruh umat islam tidak terkecuali akan bersatu dalam negara yang mempunyai kepimimpinan Islam. Dengan kepemimpinan Islam tersebut, maka negara akan memiliki kekuatan politik independen. Lebih dari itu, negara-negara muslim lah yang seharusnya menjadi negara adidaya dan memimpin dunia, sehingga ketika melihat pembantaian manusia yang ada di Palestina, sang pemimpin atau khalifah tidak perlu menunggu aba-aba atau persetujuan, apalagi takut pada pihak manapun untuk mengirimkan pasukan militernya. Khalifah akan langsung menyerukan jihad fi sabilillah karena hanya itulah cara satu-satunya untuk menolong Gaza.

Sayangnya, hingga hari ini sosok pemimpin yang menyerukan jihad tersebut belum hadir ditengah-tengah kaum muslim dan ini menjadi tugas kita bersama. Disinilah dakwah berperan penting sebagai sarana untuk menyebarkan opini Islam, bahwa agama Islam tidak hanya berisi perkara ritual yang digunakan untuk membangun hubungan antara individu dengan Rabb-nya saja, namun dalam membangun negara, Islam juga memiliki seperangkat aturan dan rujukan lengkap mengenai hal tersebut. Dengan adanya kontribusi kaum muslim untuk memperjuangkan tegaknya Islam di muka bumi ini, maka pasukan jihad dengan keberanian dan kekuatan yang tidak terkalahkan seperti di era kepemimpinan Sultan Shalahuddin al-Ayyubi ratusan tahun lalu akan hadir dengan sendirinya.(**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *