Scroll keatas untuk lihat konten
OPINIEKONOMI BISNISHEADLINES

Kenaikan Pajak Untuk Keuntungan Siapa?

×

Kenaikan Pajak Untuk Keuntungan Siapa?

Sebarkan artikel ini

Oleh : Mona Fatnia

Pajak dalam kapitalis sendiri adalah tulang punggung pendapatan negara sehingga penguasa akan terus memburu rakyat dengan berbagai punggutan. Maka selama mendatangkan pemasukan, kenaikan pajak dan aneka tarif akan menjadi kebijakan langganan bagi penguasa kapitalis. Berbagai kategori pajak dipunggut kepada rakyat, mulai dari Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Meterai, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

Dan dalam sistem kapitalisme negara hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator, melayani kepentingan para pemilik modal, dan rakyat biasa akan terabaikan sampai rakyat menjadi sasaran berbagai punggutan negara yang bersifat “wajib” sebagai konsekuensi posisinya sebagai warga negara. Alhasil rakyatlah yang paling banyak dirugikan ketika kebijakan kapitalis ini diterapkan.

Advertisement
Scroll kebawah untuk lihat konten

Melihat fakta yang ada, ketika rakyat dijadikan tulang punggung dalam memasok pendapatan negara ialah melalui peningkatan pemasukan pajak yang sangat signifikan dari tahun ke tahun. BPS melaporkan penerimaan pajak mencapai 82,4% dari total penerimaan. Dan pada tahun 2023, negara meraup keuntungan sebesar Rp2.634 triliun. Tahun 2024 menjadi tahun dengan penerimaan negara paling tinggi sepanjang sejarah karena mencapai Rp2.802,3 triliun. Dalam raman resmi kemenkeu, hingga oktober 2024 pendapatan negara mencapai Rp2.247,5 triliun atau 80,2% dari target APBN. (Mnews, 26-12-2024)

Wajar bila pajak merupakan kebijakan yang paling digenjot ketika membuat Undang-Undang, karena pendapatan dari pajak lumayan untuk bisa membayar hutang negara (itu jika pemerintah mau berpikir lebih dalam). Namun apa mau di kata ketika pajak sendiri merupakan alat untuk memeras rakyat dengan bahasa yang halus guna dipakai demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Sedang kebijakan penguasa di sini bukan sebagai pelayan rakyat, tetapi hanya sebagai alat bagi para pemodal. Parahnya ketika para penguasa digaji dari hasil keringat rakyat karena tuntutan pajak, sedang kinerja untuk kepentingan rakyat masih jauh dari amanah dan adil.

Karenanya, punggutan pajak hanya untuk membuat rakyat menderita, karena punggutan yang ada tidak memandang kondisi rakyat, sehingga banyak kebijakan pajak yang memberikan keringanan pada para pengusaha, alias pro dengan para kapitalis dengan alasan guna meningkatkan investasi pengusaha bermodal besar. Padahal justru rakyatlah yang dikapitalisasi dan dikriminalisasi dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.

Pajak (Dharibah) dari Kacamata Islam

Dalam Islam, pajak disebut dengan dharibah. Dan dalam Islam hukum asal menarik pajak dari rakyat adalah haram. Akan tetapi, hukum Islam telah menetapkan kondisi tertentu yang memungkinkan pemerintah mengenakan pajak kepada warganya. Sebab Islam memandang pajak sebagai alternatif terakhir sumber pendapatan negara, itu pun hanya dalam kondisi tertentu, dan hanya pada kalangan tertentu.

Ini sangat berbeda jauh dengan pajak yang diterapkan oleh negara kapitalis yang sejatinya hanya mendatangkan kesengsaraan bagi rakyat bukan kesejahteraan. Perbedaan dari kedua pajak ini pun bagaikan langit dan bumi.

Pertama, dharibah hanya ditarik dalam keadaan darurat oleh negara karena hukum asal pajak adalah haram. Keadaan ini dapat terjadi ketika harta di baitulmal tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan darurat rakyat, atau karena negara tidak memiliki dana untuk mengatur urusan rakyat. Selain kondisi ini, penarikan pajak dianggap sebagai tindakan kezaliman.

Kedua, dharibah ditarik secara selektif, tidak semua individu dikenakan punggutan. Dharibah hanya akan dikenakan pada pihak-pihak yang mampu dan berkecukupan (kaya). Ketiga, dharibah dianggap sebagai kontribusi tambahan dalam APBN negara Islam bukan sebagai kontribusi utama. Negara hanya akan memunggut dharibah jika terjadi keadaan darurat, yaitu ketika harta dharibah terbatas.

Beda lagi dengan pajak dalam negara kapitalis yang menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Akibatnya banyak pungutan yang harus ditanggung sehingga beban pembiayaan masyarakat dan industri makin meningkat. Mirisnya dalam sistem kapitalis, pajak dikenakan atas semua barang, transaksi, dan jasa, dan ini diharamkan oleh oleh syariat Islam. Sebab punggutan seperti ini merupakan bentuk kekerasan dan penguasaan atas hak harta orang lain. Dan Islam sangat melarang seluruh bentuk kezaliman dan pelanggaran hak orang lain. (Mnews, 02-01-2025)

Islam juga menetapkan penguasa sebagai rain dan junnah, dan mengharamkan penguasa untuk menyentuh harta rakyat. Kewajiban penguasa mengelola harta rakyat untuk dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk berbagai fasilitas umum dan layanan yang akan memudahkan hidup rakyat. Dalam sebuah hadist, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,

“Imam itu adalah laksanakan penggembala dan dia akan dimintai pertangungjawabakan akan rakyatnya (yang digembalakannya).”

(HR Bukhari dan Ahmad dari Abdullah bin Umar ra.).

Wallahualam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *