OPINI,mediasulutgo.com — Jika tahun kemarin harga beras masih aman tapi stoknya yang dibuat langka, kini hal itu terjadi lagi pada posisi harga beras naik tapi berasnya yang melimpah. Apakah ini kebetulan ?Lantas, regulasi seperti apa yang digunakan menyelesaikankecurangan-kecurangan seperti ini? sementara kita tahu bersama bahwa Indonesia adalah lumbung beras terbesar ke 6 di Asean. Tapi anehnya, justru banyak kelangkaan serta harga beras yang melambung tinggi di pasaran.
Kecurangan Beras, apa yang Salah?
Fenomena pengoplosan bahan pangan kembali muncul ke permurkaan, seperti jamur beracun yang bisa tumbuh kapan pun di setiap tempat. Melansir dari Kompas.com pada 13-07-2025, Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengungkapkan, beras oplosan beredar sampai di rak supermarket dan minimarket, dikemas seolah-olah premium, tapi kualitas dan kuantitas menipu. Dimana dalam temuan ini adalah hasil investigasi Kementerian Pertaniam dengan Satgas Pangan yang menunjukkan 212 merek beras terbukti tidak memenuhi standar mutu, mulai dari berat kemasan, komposisi, hingga label mutu. Tentu hal ini merupakan keprihatinan serius di sektor pangan nasional.
Sebagaimana diketahui, investigasi yang berlangsung pada 6-23 juni 2025 ini melibatkan 268 sampel beras dari 212 merek di 10 provinsi. Hasilnya, 85.56% beras premium tidak sesuai standar mutu, 59,79% dijual di atas HET, dan 21,66% tidak sesuai berat kemasan. Untuk beras medium, 88,24% tidak memenuhi mutu, 95,12 % melebihi HET, dan 9,38% memiliki berat kurang dari klaim kemasan. Artinya ini sangat merugikan pihak konsumen yang jika dibiarkan terus menerus, dimana kerugian bisa mencapai Rp 99 triliun per tahun. (Metrotvnews, 29-06-2025).
Hal yang sama didapati pada temuan berdasarkan hasil uji laboratorium terhadap sampel beras yang dilakukan oleh 13 laboratorium milik Badan Urusan Logistik (Bulog). Pengujian mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian No.31/Permentan/PP.130/8/2017 tentang Kelas Mutu Beras dan Peraturan Badan Pangan Nasional No. 2 Tahun 2023. Dimana bukan saja kualitas yang diuji, tetapi parameter pengujian juga mencakup kesesuaian harga terhadap harga eceran tertinggi (HET) untuk kategori premium dan medium, serta kesesuaian volume berat bersih dalam kemasan. Hal insiatif pengecekan dilakukan setelah pihaknya menemukan adanya kenaikan harga beras di pasar, padahal stok dalam kondisi melimpah.(Tempo, 26-06-2025).
Dari hasil pemeriksaan Bareskrim Polri, ada 10 perusahaan besar produsen beras yang diduga melakukan penipuan, di antaranya Wilmar Grup, PT Food Station Tjipinang Jaya, PT Belitang Panen Raya, PT Sentosa Utama Lestari (Japfa Group), PT Unifood Candi Indonesia, PT Buyung Poetra Sembada Tbk., PT Bintang Terang Lestari Abadi, PT Subur Jaya Indotama, CV Bumi Jaya Sejati, dan PT Jaya Utama Santikan. Dari temuan yang didapat oleh Satgas Pangan berdasarkan pemeriksaan yang ada didapati 26 merek beras diduga merupakan hasil praktik penipuan sebagaimana yang disampaikan oleh Mentan Amran. Dari 26 merek beras tersebut asalnya dari empat perusahaan besar.(IDNTimes,15-7-2025).
Regulasi yang ada harusnya digunakan untuk memperlancar proses distribusi bahan pangan pada masyarakat, tapi justru disalahgunakan dengan sebebas-bebasnya oleh oknum yang tidak bertangungg jawab. Terjadinya penipuan-penipuan ini bukanlah ketidaksengajaan dari para pelaksana regulasi, melainkan regulasi yang dibuat adalah bukti bahwa tidak selamanya regulasi hasil buatan manusia bisa sejalan dengan kebenaran dan jauh dari keniscayaan adil.
Praktek kecurangan adalah suatu keniscayaan dalam kehidupan yang jauh dari aturan agama. Semua demi keuntungan, bahkan menghalalkan segala cara dan melanggar regulasi. Hal yang dianggap biasa dalam sistem sekuler kapitalisme menganggap segala hal yang berbau materi adalah baik meski itu menabrak hal-hal yang bertentangan bagi para oknum-oknum yang haus akan uang dengan melakukan perbuatan keji terhadap masyarakat.
Wajar jika kecurangan pangan dimasifkan dan dilumrahlisasikan, layaknya penyakit kanker yang terus menggerogoti seluruh tubuh meski diobati tetap saja ia menyebar. Alih-alih kecurangan ini berhenti, tapi justru hanya dibiarkan. Berlarutnya persoalan ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan juga sistem sanksi. Juga erat kaitannya dengan sistem Pendidikan yang gagal mencetak individu yang Amanah dan bertakwa.
Jika merujuk pada pandangan pakar kebijakan publik Emilda Tanjung, M.Si. menilai bahwa terjadinya penipuan ini bukti lemahnya regulasi. Artinya penipuan ini membuktikan lemah dan tidak bergiginya regulasi yang ada. Jika dibayangkan, penipuan ini terjadi di 10 provinsi dan telah menelan kerugian konsumen lebih dari Rp99 triliun. Dan tidak menutup kemungkinan hal ini terjadi di daerah lain yang tidak termasuk di 10 provinsi tersebut. Ia pun menambahkan bahwa persoalan ini bukan hanya beras oplosan saja, tetapi juga harga beras yang terus melambung tinggi meski stok berlimpah atau distribusi beras SPHP (Program Stabilitas Pasokan dan Harga Pangan) yang tidak tepat sasaran. (Mnews, 12-07-2025)
Disisi lain, kecurangan beras ini justru menimbulkan skema piramida, baik dari distributornya sampai kepada konsumen. Dimana regulasi yang ada dibuat oleh pihak penyedia pangan dalam hal ini pemerintah sendiri, lalu didistribusikan kepada masyarakat lewat pelaksana pangan yaitu para perusahaan-perusahaan besar yang menyediakan beras untuk dijual ke pasar. Artinya masalah utama dari kecurangan ini adalah pada penyedia pangan selaku pembuat regulasi didalam proses penyaluran beras, karena tidak ada aturan yang mendukung proses kesepakatan jika didalamnya terdapat kejangalan dan cacat prosedural. Apalagi hal ini berulang dan melihat fakta-fakta sebelumnya adanya pengoplosan BBM, Minyak Kelapa, sampai pengoplosan beras. Kesemuanya adalah kebutuhan yang diperlukan oleh masyarakat.
Kecurangan ini bisa demikian masif dan terjadi bertahun-tahun karena lemahnya pengawasan dan sistem sanksi yang negara lakukan. Negara abai dalam mengawasi produksi dan distribusi beras. Dan parahnya, negara baru bereaksi ketika masalah sudah membesar dan terjadi anomali di masyarakat. Lebih miris lagi ketika negara lemah dalam mewujudkan efek jera bagi para pelaku industri yang melakukan praktik curang karena sanksi yang terlalu ringan. Berdasarkan UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 8 ayat (1) huruf a, pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai standar dan mutu akan mendapatkan sanksi pidana penjara hingga lima tahun atau denda maksimal Rp2 miliar. Ini tentu sanksi yang sangat ringan bukan, jika dibandingkan dengan kerugian akibat perbuatan mereka yang mencapai hampir Rp100 triliun per tahun. (Mnews,22-7-2025).
Islam Menjamim Kebutuhan Masyarakat
Simbiosis mutualisme, makna ini yang dihadirkan Islam dalam memberikan kebermanfaatan antar sesama tanpa ada yang dirugikan atau didiskriminasi dalam segala bidang. Baik itu dari segi pendidikan, ekonomi, sosial, politik bahkan ibadah sekalipun. Sebab, Islam sejatinya berasas pada aturan Ilahi yakni Allah Swt yang sumbernya diambil dari Al-Qur’an dan Sunnah. Sehingga terbebas dari kepentingan manusia dan aturan ini tentu sempurna tanpa cacat sekalipun.
Bagi pejabat atau penguasa, Islam mengharuskan mereka amanah dan juga bertanggungjawab dalam menjaga tegaknya keadilan. Disisi lain, dalam Islam sendiri kepala negara wajib hadir sebagai raa’in (pelayan) dan junnah (pelindung umat). Apalagi terkait dengan regulasi dan pengelolaan pangan, pemerintah harus mengambil perah utuh mulai dari hulu hingga ke hilir untuk memastikan setiap individu rakyat tanpa terkecuali bisa mendapatkan pangan yang mencukupi, layak dan berkualitas, yaitu halal dan tayib.
Apalagi perihal pemenuhan kebutuhan pangan rakyat, pemerintah harus bertangungg jawab penuh terhadap distribusi pangan. Baik dari menjaga keseimbangan harga yang wajar, pun negara juga harus mengawasi pasar sehingga tidak ada praktek penipuan yang merugikan rakyat. Dalam Islam tegaknya aturan didukung oleh tiga hal. Ketakwaan individu, control masyarakat dan tegaknya aturan oleh negara yang akan terwujud dengan sistem sanksi yang tegas dan menjerakan.
Islam juga memiliki qadi hisbah yang akan memeriksa dan memastikan regulasi terkait hal ini berjalan dengan baik dan sesuai aturan. Tugas utama qadi hisbah adalah mengawasai kegiatan publik, termasuk para pedagang dan pekerja. Tujuannya untuk memastikan agar mereka mematuhi hukum-hukum Islam dan mencegah praktek penipuan dalam perdagangan serta pekerjaan mereka. Sanksi yang pun diberikan terhadap pelanggar, seperti penggunaan timbangan atau takaran yang merugikan masyarakat. Qadi hisbah juga menjaga keadilan dalam praktek perdagangan dan mencegah kemungkaran, termasuk melarang praktik-praktik yang diharamkan, mulai dari Riba, perjudian, dan jual beli dengan unsur gharar (ketidakpastian), serta mencegah dengan cara yang tidak jujur.
Dari sisi SDM, negara akan memastikan seluruh pejabat dan pegawainya amanah sehingga tidak ada yang terlibat dalam kongkalikong dengan pengusaha untuk melakukan kecurangan. Pejabat yang menyalahgunakan wewenang untuk meraih keuntungan pribadi akan diusut, diadili, dan diberi sanksi tegas sesuai dengan perbuatannya. (Mnews, 22-7-2025)
Ketersediaan beras bagi rakyat merupakan urusan strategis negara karena menentukan ketahanan pangan. Rasulullah Saw. bersabda,
“Barangsiapa di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya, diberikan kesehatan badan, dan memilikimakanan pokok pada hari itu rumahnya maka seakan-akan dunia telah berkumpul pada dirinya.” (HR. Tirmidzi).
Seperti kisahnya Khalifah Umar bin Khaththab ra. khalifah umar sangat menjamin nafkah dari setiap rakyatnya. Suatu ketika Khalifah Umar bin Khaththab ra. sedang berjalan di pinggiran kota Madinah dan mendapati anak-anak yang menangis kelaparan menunggu masakan yang belum matang. Ternyata ibunya yang janda sedang menanak batu. Umar pun bersegara ke baitulmal untuk mengambil sekarung gandum dan memikulnya sendiri ke rumah keluarga tersebut.
Tidak hanya mengantarkan gandum, khalifah Umar bin Khaththab ra. juga memasakkan keluarga tersebut dan menyedikan makanan untuk mereka. Dan keluarga itu pun bisa tidur lelap karena sudah kenyang. Ini adalah bukti riayah dan wujud tanggung jawab kepala negara terhadap rakyatnya. Sebagai pemempin, Umar ra. takut kepada Allah jika dirinya lalai dan ada rakyat yang menderita kelaparan. (Mnews).