Mirisnya, cita-cita kapitalisme yang menggandeng perempuan untuk mewujudkan kesejahteraan mengalami kegagalan setiap tahunnya. Tak bisa sukses mencapai planet 50×50 sesuai target yang mereka pasang. Boro-boro berdampak pada kesejahteraan, perjuangan pemberdayaan perempuan justru merendahkan derajat wanita. Perempuan pekerja rentan terlindungi keamanannya, mereka gampang terkena pelecehan dan kekerasan. Misalnya perempuan-perempuan yang bekerja sebagai TKW yang rela meninggalkan suami dan anak-anaknya rentan kasus kekerasan menimpa mereka. Posisinya sebagai ibu dalam rumah tangganya juga seringkali tidak berfungsi. Lalai membimbing dan mendidik anak karena tersibukan dengan padatnya aktivitas publik yang digeluti hingga menyebabkan hancurnya tatanan keluarga muslim.
Padahal, perempuan ialah ibu peradaban dan pencetak generasi unggul yang menjadi aset peradaban Islam sebagaimana yang telah Allah gariskan bagi mereka. Peran sentral perempuan adalah sebagai ibu dan manajer rumah (ummun wa rabbah al-bayt). Peran yang sangat mahal dibandingkan peran keahlian lain yang dimiliki perempuan. Sebab dengan peran ini jika diamalkan dengan maksimal akan menciptakan suasana peradaban yang gemilang.
Pemberdayaan perempuan tidak dengan menjadikan mereka sebagai tumbal ekonomi negara, karena itu akan semakin membengkokkan peradaban. Jika feminis benar-benar peduli terhadap nasib perempuan maka seharusnya kembali kepada konsep kebenaran fitrah perempuan, yakni sebagai ibu pendidik generasi yang dinafkahi suami dan walinya. Jika suami dan wali tidak mampu, tanggung jawab itu beralih pada negara. Oleh karena itu, tidak perlu berbangga dengan pemberdayaan ekonomi perempuan yang menjadi target kesetaraan gender. Inilah cara kapitalisme mengapitalisasi perempuan, serta menghapus fungsi utama mereka sebagai pendidik generasi dan pengurus rumah tangga. Kartini-Kartini masa kini harus segera menyadari bahaya ini dan menjadikan Islam satu-satunya solusi untuk mengakhiri arus sesat ide kesetaraan gender di setiap negeri muslim. (**)