Sayangnya, perjuangan pendidikan Kartini ini diselewengkan oleh feminis menjadi perjuangan gender. Para Kartini-Kartini masa kini di negeri ini diseru untuk memperjuangkan gender dengan dalih gender adalah ide yang diperjuangkan Kartini. Ketika laki-laki wajib keluar rumah maka perempuan juga wajib untuk keluar rumah. Jika laki-laki wajib bekerja maka perempuan wajib pula untuk bekerja.
Tak heran, seruan para feminis yang menyerukan perjuangan gender terus mendorong perempuan agar bisa berdaya turut serta menopang ekonomi keluarga dan negara. Setiap perempuan muda, ibu rumah tangga bahkan perempuan lansia sekalipun saat ini mereka tuntut agar dapat berdaya. Rancangan program pemberdayaan ekonomi perempuan mereka rumuskan, salah satunya dukungan wirausaha mikro dalam bentuk UMKM dimana perempuan sebagai penggerak utama. Karakter perempuan Indonesia yang dikenal telaten, mandiri, dan pantang menyerah dieksploitasi untuk menjadi wirausaha yang sukses dan berdaya. Perempuan dituntut bukan hanya berperan tunggal mengurusi sektor domestik tapi juga harus berperan ganda untuk terjun ke sektor publik.
Kartini masa kini jangan mau terbuai dengan bujuk rayu perempuan berdaya dari feminis. Hal ini karena pemberdayaan perempuan menjadi arus utama tujuan ke-5 dari kesetaraan gender dalam Sustainable Development Goals (SDGs), sedangkan tujuan pertama SDGs adalah perempuan berperan penting dalam mengurangi kemiskinan. Hal ini selaras dengan program yang UN Women aruskan. Nampak para perempuan akan dijadikan mesin pencetak uang daripada ibu pendidik peradaban.
Sejatinya, kapitalisme-lah yang telah memiskinkan rakyat negeri ini dan menjadikan perempuan sebagai “bumper” pengentasan kemiskinan. Memperdaya kaum hawa agar bekerja sehingga mengalihkan kewajiban laki-laki sebagai pencari nafkah pada perempuan dan mematikan peran perempuan sebagai pendidik generasi dan ibu peradaban.