Scroll keatas untuk lihat konten
NASIONALHEADLINESPOLITIK

Jelang Pilkada, KPU & Bawaslu Diingatkan Potensi Pelanggaran

×

Jelang Pilkada, KPU & Bawaslu Diingatkan Potensi Pelanggaran

Sebarkan artikel ini
Pilkada
Illustrasi

JAKARTA, mediasulutgo.com — Koordinator Nasional (Kornas) Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Alwan Ola Riantoby mengingatkan potensi pelanggaran Pilkada 2020.

Menurutnya, menjelang hari pemungutan suara, ada peristiwa dan tahapan yang sangat perlu diwaspadai. Sebab pada 6 Desember ini, awal dari penerapan masa tenang sekaligus berakhirnya masa kampanye.

Advertisement
Scroll kebawah untuk lihat konten

“Seperti rapat umum dengan massa yang banyak dan masa tenang, justru seringkali menjadi peroses mempengaruhi pemilih yang sesungguhnya,” ungkap Alwan seperti di kutip dari Sindonews, Sabtu (5/12).

Alwan menuturkan, aktivitas kampanye penyampaian visi misi dan program dengan jumlah peserta yang dibatasi, berpotensi meningkatkan tensi politik. Dengan menggunakan tempat publik, aspek pertemuan antara pendukung kandidat atau dengan cara lainnya, sangat perlu diwaspadai sebagai uapaya pencegahan Covid-19.

Kata dia, akhir masa kampanye pada hari Sabtu 5 Desember, masing-masing kandidat, pendukung serta kelompok masyarakat pemilih, berupaya menampilkan kekuatannya. Daerah Pilkada akan menghangat di akhir masa kampanye tersebut.

Ia menerangkan, dalam masa tenang, merupakan waktu pemilih mempelajari semua informasi terkait dengan kandidat, lalu membandingkan dan menentukan pilihan. Catatan atas empat bulan mendengar, menyaksikan serta menyimak gagasan membangun daerah, dicermati dalam masa tenang, kemudian menentukan pilihan pribadinya. Seringkali, masa tenang justru menjadi masa dari praktik kampanye yang sesungguhnya.

Prediksinya, peningkatan suhu politik di masyarakat pemilih akibat dari persaingan intensif setiap kandidat dan pendukungnya. Akan nampak potensi tindakan pelanggaran Pilkada yang meninggi mendekati pelaksanaan hari pemungutan suara. Di antara potensi pelanggaran tersebut:

Pertama; ucapan intimidatif, ujaran kebencian dan saling serang dengan materi pemberitaan bohong (hoax). Dengan menggunakan teknologi informasi dan media sosial, materi kampanye negatif tanpa sumber, akan menyebar tanpa filter.

“Kecepatan penyebaran informasi, sama cepat dengan tingkat potensi kepercayaan pembacanya. Penyebaran kampanye negatif, tak dapat dicegah, apalagi ditindak oleh Bawaslu beserta jajarannya secara langsung,” ujarnya.

Instrumen pengawasan yang disediakan pun, kurang cukup mampu mengimbangi kecepatan penyebaran kampanye negatif tersebut. Perlu banyak pihak yang harus diajak bekerja sama.

Kedua; logistik pemungutan suara, menurutnya bermasalah. Seluruh alat dan bahan pendukung pemungutan suara, disiapkan menjelang hari pemungutan suara. Dengan letak geografis yang berbeda, KPU perlu memastikan logistik pemungutan suara tepat waktu, tepat jumlah dan tepat kualitas.

Ia menjelaskan, tepat waktu berarti logistik sudah diap didistribusikan ke TPS satu hari sebelum pemungutan suara dan disimpan di tempat yang sangat aman. Tepat jumlah, berarti jangan sampai ada logistik yang mengalami kelebihan atau kekurangan, karena jelas akan menggangu proses pemungutan dan terdapat potensi penyalahgunaan.

“Tepat kualitas, berarti setiap surat suara dipastikan kondisinya layak untuk digunakan dan sampai ke TPS mengalami perubahan kondisi,” jelasnya.

Ketiga; bahan dan alat peraga kampanye yang masih ada. Seluruh alat peraga dan bahan kampanye milik kandidat baik yang resmi ataupun yang tidak resmi, sepatutnya sudah dibersihkan saat masa tenang. Kondisi ini semakin membuat masyarakat pemilih nyaman dan menjamin kebersihan dan keindahan kawasan Pilkada.

Kata Alwan, jika pada masa kampanye alat peraga kampanye masih berada dalam tempat publik, akan menimbulkan potensi saling tuduh antar pendukung pasangan calon terhadap proses pembersihan alat peraga kampanye tersebut.

“KPU, Bawaslu dan Aparat Pemerintah harus memastikan kerjasama yang koordinatif untuk membersihkan semua alat peraga kampanye agar kondisi ruang publik seperti sediakala,” pintanya.

Keempat; Politik uang. Dalam tensi perebutan suara pemilih yang cukup tinggi, menurut Alwan, proses politik transaksional baik pemberian uang atau barang dalam banyak modus bisa terjadi. Dari yang paling sederhana seperti pemberian uang dan barang hingga yang terselubung semisal pemberian pulsa, pemberian fasilitas, pemberian barang publik dan sejenisnya.

Ia membeberkan, semakin mendekati hari pemungutan, cara mempengaruhi pilihan masyarakat semakin beragam. Cara paling primitif dalam mempengaruhi pemilih adalah dengan cara memberi uang dan atau barang untuk mempengaruhi pilihan masyarakat. Semakin tinggi tensi persaingan, praktik transaksional semakin kuat.

Kelima; terkait jaminan hak pilih. tujuan untuk memperbaiki sistem administrasi kependudukan melalui daftar Pilkada, menimbulkan potensi kehilangan hak pilih. Kata Alwan, penggunaan E-KTP sebagai syarat memilih dan Surat Keterangan bagi pemilih Non-KTP Elektronik membedakan pola pemutakhiran data dan proses pemungutan suara.

“Proses pendataan pemilih seperti itu berkontribusi terhadap proses perbaikan administrasi kependudukan” imbuhnya.

Konsekuensinya, lanjut Alwan, kebijakan pemberian Surat Keterangan bagi pemilih Non-KTP Elektronik membutuhkan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dalam pemutakhiran data pemilih Pilkada. Karena itu, koordinasi intensif dan pelayanan yang maksimal menjadi tantangan pemenuhan hak pilih bagi setiap warga. Di sisi lain, menurutnya, proses perekaman yang masih terkendala dan tanggungjawab memberikan fasilitas Surat Keterangan kepada warga yang belum perekaman dengan variasi daerah yang berbeda-beda menimbulkan potensi kehilangan hak pilih.

“Oleh sebab itu, dibutuhkan pengawasan yang optimal untuk memastikan setiap warga yang mempunyai hak pilih agar dapat menggunakan haknya,” terangnya.

Selanjutnya, soal dana kampanye. Seluruh pasangan calon, tutur Alwan, wajib menyampaikan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK). Pengalaman Pilkada 2015, 2017, 2018 menunjukkan, transparansi dana kampanye pasangan calon belum terbangun.

“LPPDK yang disampaikan oleh pasangan calon belum mencerminkan jumlah riil penerimaan dan pengeluaran selama masa kampanye,” ujarnya.

Laporan yang dibuat oleh pasangan calon, kata dia, masih mendasarkan kepada pemikiran “Daripada Dilaporkan Tetapi Potensial Mendapatkan Catatan/Melanggar ketentuan, Sebaiknya Tidak Dilaporkan”. KPU dan Auditor hanya dapat melakukan pemeriksaan terhadap kepatuhan dan akuntabilitas dari laporan yang disampaikan.
Inilah sumber dari politik transaksional.

Praktik politik uang, ucap Alwan, terjadi akibat pembiayaan kampanye yang tidak dilaporkan seluruhnya oleh pasangan calon dan “kontributor” pada saat melakukan pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka dan rapat umum,” ungkapnya.

Kata dia, Interaksi dengan pemilih yang cukup intensif dan dorongan untuk kampanye secara langsung, berpotensi terhadap peningkatan politik transaksional tersebut. Batasan maksimal terhadap nilai bahan dan biaya kampanye seringkali tidak cukup efektif dalam praktiknya, yaitu dengan menurunkan harga bahan dan biaya kampanye tersebut.

“Politik uang pada akhirnya berkelindan dengan bahan dan biaya kampanye yang dikeluarkan,” bebernya.

Oleh karena itu, lanjut Alwan, diperlukan adanya pengawasan dana kampanye yang dapat menghasilkan data pembanding atas laporan yang disampaikan oleh pasangan calon. Tingkat transparansi pengeluaran pasangan calon disandingkan langsung dengan hasil pengawasan berapa pengeluaran yang dilakukan.

Selain itu, dalam menciptakan pelaksanaan Pilkada yang berintegritas, semua pihak mempunyai tanggung jawab masing-masing. Penyelenggara Pemilu perlu memastikan seluruh logistik pemungutan suara sudah siap dan petugas pelaksananya mempunyai pengetahuan yang memadai untuk melaksanakan tanggungjawabnya dengan kemandirian yang tinggi.

Di sisi lain, ada kewajiban bagi pasangan calon bersama tim sukses dan pendukung kampanyenya harus menahan diri dan tidak melakukan kampanye yang dilarang oleh undang-undang. Ajari para pendukung dan didik masyarakat pemilih untuk menentukan pilihan berdasarkan program yang disajikan, bukan dengan menyebar fitnah apalagi dengan politik uang.

“Demokrasi substansial jauh lebih penting dari memolitisasi prosedur pemilihan. Keselamatan pemilih lebih penting daripada stabilitas harga kuota intrernet,” pungkasnya. (Yus)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *