OPINIHEADLINES

Janji Kemerdekaan Tinggal Fiksi, Mengapa Bendera ‘One Piece’ Menjadi Opsi?

×

Janji Kemerdekaan Tinggal Fiksi, Mengapa Bendera ‘One Piece’ Menjadi Opsi?

Sebarkan artikel ini

Oleh: Rayyan Kinasih

Bendera One Piece
Bendera 'One Piece'

OPINI,mediasulutgo.com — Momen kemerdekaan yang diperingati setiap tanggal 17 Agustus menjadi momentum perjuangan rakyat untuk meraih kebebasan, keadilan, dan kedaulatan dari tangan penjajah. Sebuah janji suci yang akhirnya bisa diproklamasikan oleh para pahlawan setelah mempertaruhkan harta, keluarga, bahkan nyawa demi melawan penjajah. Namun peringatan kemerdekaan kali ini sepertinya berbeda dari biasanya. Menjelang HUT RI yang ke-80 tahun bukannya mengibarkan bendara kebangsaan merah putih, masyarakat justru mengibarkan bendera One Piece atau disebut juga bendera Rolly Roger (berlatar hitam dan tengkorak, serta dua tulang menyilang di belakangnya) yang melambangkan perlawanan, persahabatan, perjuangan, kemerdekaan, dan solidaritas. Aksi ini dilakukan sebagai bentuk ekspresi kekecewaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah akhir-akhir ini. Rezim baru yang diharapkan bisa memberikan angin segar berupa kesejahteraan kepada rakyat malah menjelma menjadi ‘pemerintah dunia’ yang korup dan semena-mena seperti yang  ada di dunia One Piece. One Piece sendiri merupakan anime asal Jepang yang menceritakan petualangan Monkey D. Luffy bersama para Nakama (teman) yang berjuang melawan ketidakadilan. Walaupun One Piece dikemas secara sederhana melalui kisah seru tentang bajak laut, namun pelajaran di dalamnya mengandung kritik keras dan tajam terhadap rezim manapun yang zalim hari ini. One Piece menunjukan kepada kita bagaimana sebenarnya dunia ini bekerja—bagaimana pemerintah yang terlihat mengaggumkan dan berkata manis dipanggung kekuasaan perlahan menjadi pemerintah yang korup dan otoriter. Hal inilah yang menarik perhatian dan menjadi simbol ekspresi anak muda karena dianggap related dengan kondisi negeri akhir-akhir ini.

Misalnya, pada proses pengadilan Tom Lembong, kita dapat melihat bagaimana rusaknya sistem hukum hari ini. Belum lagi, ramai kabar mengenai tanah yang menganggur selama 2 tahun akan disita negara. Berita ini langsung memicu polemik panas warganet di media sosial seiring beredar juga berita upaya pemerintah melalui Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk membekukan rekening bank milik masyarakat yang telah menganggur 3 bulan. Kabar sita-menyita ini menjadi bahan roastingan di salah satu acara televisi, jika segala yang menganggur disita, lalu mengapa warga yang menganggur tidak diapa-apakan? Saat kampanye kemarin, presiden terpilih dalam amat berapi-api memperdengarkan janjinya untuk membuka 19 jutaan lapangan pekerjaan. Namun yang terlihat oleh mata justru PHK dimana-mana hingga menyentuh 42 ribu pekerja. Sayangnya, fakta-fakta yang terlihat di depan mata ini tidak kunjung membuat pemerintah mengintropeksi dan mengevaluasi kinerjanya sendiri. Sebaliknya, pemerintah malah mempermasalahkan pengibaran bendera One Piece yang dianggap sebagai upaya memecah belah bangsa.

Melalui DPR, beberapa orang yang katanya perwakilan rakyat tersebut mengatakan bahwa tindakan seperti demikian bisa memecah belah peratuan dan kesatuan, serta merupakan bagian dari provokasi untuk menyerang dan menjatuhkan pemerintahan Prabowo Subianto, sehingga perlu ada tindakan tegas dari penegak hukum untuk mencari provokator beserta motifnya. Dari sini timbul pertanyaan dalam benak, bukankah di negeri ini mengembar-gemborkan demokrasi, lantas mengapa orang yang mengekspresikan pendapatnya melalui bendera One Piece malah dibungkam? Jika pemerintah merasa tidak bersalah dan melakukan hal yang benar seharusnya respon pemerintah santai-santai saja, bukan? Bila dianalisis lebih dalam, segala ketidakadilan di negeri ini justru berpangkal dari demokrasi yang selama ini di propagandakan sebagai sistem terbaik dan dapat melahirkan keadilan. Karena sering yang mengatasnamakan rakyat, rakyat, dan rakyat, membuat banyak masyarakat terbuai dengan rayuan jargon yang semu ini. Padahal realita di lapangan berkata sebaliknya. Justru karena segala peraturan dan perundang-undangannya lahir dari tangan-tangan manusia, maka tidak perlu heran mengapa terdapat kecacatan dalam idenya hingga pada tahap pelaksanaannya.

Tidak ada yang namanya kedaulatan jika kedaulatan tersebut masih tercipta dari tangan manusia. Karena pada dasarnya, manusia adalah makhluk lemah dan terbatas sehingga tidak layak untuk membuat aturan sendiri. Maka sudah dapat diprediksi, penerapan ideologi ini pasti menghasilkan ketidakadilan karena bertentangan dengan fitrah dan akal sehat manusia, serta memuja manusia sebagai pusat segalanya. Dalam demokrasi yang berlandaskan sekulerisme, membuat keberadaan tuhan sebagai sang maha pengatur diabaikan. Alhasil, demokrasi yang mengatasnamakan kedaulatan rakyat, sesungguhnya yang berdaulat hanya segelintir rakyat yang lain—para elite politik yang diklaim sebagai wakil rakyat. Itupun suara yang mereka wakili hanyalah suara partai pengusungnya, suara para oligarki yang menjadi pendukungnya, atau suara bagi dirinya sendiri. Hal ini dibuktikan dari banyaknya kebijakan, hukum, undang-undang, dan peraturan yang mereka buat justru merugikan rakyat dan melanggengkan tirani kekuasaan yang mereka pelihara. Para penguasanya dibutakan oleh ambisi untuk selalu menjadi pemimpin yang paling benar dan mematikan semua suara dan aksi yang  mencoba-coba mengganggu bahkan meruntuhkan rezim yang sedang bertahta. Inilah wajah asli dari demokrasi—menciptakan ketidakadilan sehingga terjadi kesenjangan antara si kaya dan si miskin, hanya memberikan kesejahteraan para oligarki, dan menyengsarakan rakyat dengan hidup dalam kubangan kemiskinan.

Sudah terbukti akar segala permasalahan adalah konsep kedaulatan yang salah sejak awal.  Kedaulatan merupakan kekuasaan tertinggi, mutlak, dan satu-satunya yang memiliki hak untuk mengeluarkan hukumOleh karena itu, kedaulatan memiliki posisi yang sangat strategis dalam kehidupan suatu negara karena menjadi rujukan seluruh warga negara dan memiliki kekuatan hukum untuk memaksa mereka melakukan atau meninggalkan sesuatu. Kedaulatan yang ditempatkan pada tangan manusia, tanpa disadari mengundang bahaya dikemudian hari. Maka sudah sepatutnya penempatan kedaulatan ini diberikan kepada sesuatu yang lebih besar daripada manusia itu sendiri.

Dalam Islam, kedaulatan berada di tangan syariat Islam. Islam hanya mengakui Allah Swt. sebagai satu-satunya pemilik otoritas untuk membuat hukum dan syariat, baik dalam perkara ibadah ritual maupun mengatur kehidupan dunia. Adapun kedudukan manusia, baik rakyat atau pemimpin/pejabat, semuanya berstatus sebagai mukalaf yaitu pihak yang mendapat beban hukum yang wajib tunduk dan patuh dengan seluruh hukum yang dibuat Allah Swt. Dengan konsep kedaulatan ini, manusia akan terbebas dari penyembahan kepada sesama manusia. Kedudukan manusia sama di mata hukum, tidak ada yang merasa lebih hebat hanya karena keluarganya atau kenalannya duduk di kursi pemerintahan, tidak ada bongkar pasang hukum karena telah Allah yang membuat hukum sesuai dengan fitrah manusia, dan tidak akan ada penguasa yang mudah melabeli warganya sebagai pemberontak ketika mereka mengoreksi kebijakan penguasa melalui aksi demo, sebab mengoreksi penguasa merupakan bagian dari perintah Islam. Mengoreksi penguasa merupakan bentuk cek & balance yang wajib dilakukan oleh rakyat jika mendapati kebijakan penguasa menyimpang dari Islam atau menzalimi rakyat. Ini adalah wujud rasa cinta dari rakyat kepada pemimpinnya. Bahkan, para pemimpin Islam meminta kepada umatnya untuk melakukan kontrol atas kepemimpinannya.

Maka dari itu, bila umat menghendaki perubahan, hendaknya diawali dengan mengubah landasan hidup menjadi Islam. Bukan hanya dalam perkara ritual belaka, namun mengimplementasikan Islam secara menyeluruh, termasuk dalam sistem politik. Sebagaimana umat terdahulu, mereka memperjuangkan tegaknya Islam di muka bumi ini melalui aktivitas dakwah berjemaah untuk membongkar kerusakan dan menyampaikan bahwa tidak ada ideologi yang layak menghantarkan kebangkitan kecuali Islam.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *