Oleh : Grasela Sagita Taruna, S.Pd (Aktivis Muslimah)
OPINI, mediasulutgo.com, Dilansir dari sindonews.com– Angka orang dengan HIV tiap tahunnya terus meningkat. Data epidemiologi UNAIDS menyebutkan bahwa hingga 2021 jumlah orang dengan HIV mencapai 38,4 juta jiwa. Kelompok perempuan dan anak menunjukkan angka yang memprihatinkan.
Di Indonesia sendiri penduduk muslim terbesar di ASIA, terdapat sekitar 543.100 orang hidup dengan HIV dengan estimasi 27 ribu kasus infeksi baru pada 2021. Sekitar 40 persen kasus infeksi baru terjadi pada perempuan, sedangkan lebih dari 51 persennya terjadi pada kelompok remaja (15-24 tahun), dan 12 persen infeksi baru pada anak.
Sementara itu Dinas Kesehatan Kota Batam mencatat jumlah kenaikan kasus HIV/AIDS di Kota Batam mencapai 446 orang pada 2022. Yang mencengangkan, dari temuan Dinkes itu disebutkan, kasus kenaikan didominasi penyimpangan perilaku pasangan sejenis. (Dilansir dari Liputan6).
Kepala Dinas Kesehatan Kota Batam Didi Kusmardjadi mengatakan, frekuensi peningkatan kasus HIV/AIDS karena pasangan sejenis dan ini bukan hanya terjadi di Batam, tapi juga Indonesia secara secara nasional bahkan di negara lain.
Bahkan di Gorontalo sendiri khususnya di Kabupaten Gorontalo Utara, ada 64 orang mengidap HIV/AIDS yang terhitung hingga Maret 2022. Ini diungkapkan Kepala Dinas Kesehatan, Gorontalo Utara, Rizal Yusuf Kune ketika ditemui media di ruang kerjanya. Menurutnya, angka HIV/AIDS cukup tinggi dan parahnya lagi data yang tervalidasi tersebut, paling banyak usia produktif. (Dilansir dari HARGO.CO.ID).
“Kalau di Gorontalo Utara itu, masih lebih tinggi LSL (lelaki seks lelaki) atau guy dan IRT (Ibu Rumah Tangga). Kemungkinan ini terjadi karena bapak-bapaknya biasa ‘jajan-jajan’ sembarangan lalu bawa ‘oleh-oleh’ ke rumah,” kata Rizal Yusuf Kune.
Dari sini kita bisa menarik kesimpulan bahwa Infeksi baru HIV/AIDS terus meningkat itu disebabkan karena meningkatnya perilaku menyimpang pasangan sejenis, dan seks bebas yang sudah menjadi budaya. Akibatnya perempuan dan anak pun juga banyak yang tertular.
Pada 1 Desember 2022 UNAIDS Indonesia, Jaringan Indonesia Positif, Ikatan Perempuan Positif Indonesia, Lentera Anak Pelangi, dan Yayasan Pelita Ilmu, membuat Aliansi Nasional untuk mengakhiri AIDS pada Anak di Indonesia. Aliansi ini digagas untuk memperbaiki salah satu masalah yang paling mencolok dalam respon penanggulangan AIDS. (Dilansir dari tempo.co)
Tujuan Aliansi Nasional untuk Mengakhiri AIDS pada Anak yakni, memastikan bahwa tidak ada lagi anak yang hidup dengan HIV yang tidak dapat mengakses pengobatan sebab di Indonesia, hanya 25 persen dari anak-anak yang hidup dengan HIV menjalani pengobatan ARV untuk menyelamatkan jiwa.
Sayangnya, dari angka tersebut hanya 28% yang menerima pengobatan ARV. Indonesia menduduki posisi 3 terbawah di Asia Pasifik untuk cakupan pengobatan ARV bersama dengan Pakistan dan Afghanistan.
Untuk merealisasikan epidemi AIDS pada 2030, semua orang harus meningkatkan upaya pencegahan, semua orang dengan hasil tes positif harus segera menjalani treatment ARV, semua orang yang sedang menjalani pengobatan harus disiplin untuk mencapai viraload tersupresi.
Dan inilah yang disampaikan Krittayawan Boonto bahwa “Penguatan multi-sektoral menjadi penting untuk dilakukan agar mendapatkan dukungan yang cukup untuk program HIV. Negara juga harus prioritaskan pembiayaan program HIV. Dengan begitu, saya yakin bahwa kita semua dapat akhiri AIDS pada 2030,”
Sejatinya, Berbagai program yang diarahkan untuk menyelesaikan kasus HIV tahun 2030 tidak akan mampu menyelesaikannya, sebab solusi yang diberikan tidak dapat menyentuh akar permasalahan, apalagi legalisasi perilaku menyimpang justru malah diserukan. Ditambah Negara bahkan sampai kekurangan biaya untuk menyediakan pengobatan bagi penderita.
Disisi lain, Analisis PBB telah menyatakan bahwa ketidak setaraanlah yang menghalangi berakhirnya AIDS. Dangerous Inequalities menunjukkan bagaimana ketidak setaraan gender dan norma terkait gender yang diskriminatif dapat menghambat berakhirnya pandemi AIDS.
Direktur Eksekutif UNAIDS Winnie Byanyima menyatakan “Dunia tidak akan mampu mengalahkan AIDS jika patriarki masih kuat,”
Sejatinya ini analisis yang konyol dan terasa ngawur dalam menyesaikan HIV. sebab mereka hanya melihat dari segi laki-laki yang mungkin dapat menularkan HIV/AIDS, tanpa menelaah kembali, mengapa penularan ini bisa separah ini? Apalagi jika penyimpangan seksual dibiarkan eksis ditengah-tengah ummat dengan dalih Hak Asasi Manusia, tentu ini dapat memperparah penyebaran HIV, walaupun segudang solusi diberikan, takan bisa menyesaikannya. Sebab akar masalahnya ketika kita melupakan peran agama dalam mengatur kehidupan atau sekularisme.
Jadi dalam sistem sekularisme membatasi agama dalam pengaturan pergaulan, interaksi social, dan meniscayakan kebebasan bertingkah laku Termasuk hubungan sesame jenis yang menjadi penyebab HIV/AIDS semakin tidak terkendali. Selama sekularisme menjadi landasan kehidupan, infeksi HIV/AIDS mustahil diberantas karena sekularisme justru membuka peluang penularan infeksi HIV/AIDS ini.
Maka Target dunia bebas HIV/AIDS yang ditargetkan tercapai tahun 2030 ‘Three Zero HIV/AIDS 2030′ akan jauh dari harapan, pasalnya sejak diluncurkan pada 2010, infeksi baru HIV tetap terus meningkat.
Sehingga sudah selayaknya kita melihat bagaimana islam menyelesaikan, bagaimana islam mengatur interaksi sosial. Islam mengharamkan semua kemaksiatan dan mampu mencegah penularan infeksi HIV/AIDS. Apakah kita masih ragu dengan penyelesaian islam?
Allah swt berfirman :
وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Artinya : Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin (QS Al-Maidah : 50)
Wallahualam bisawab[]