Kebijakan kenaikan tunjangan guru yang terkesan mendadak ini patut dipertanyakan. Pasalnya satu sisi diberatkan dengan berita kenaikan PPN sebasar 12% pada tahun 2025 yang merata hampir pada setiap aktvitas dan dirasakan semua kalangan termasuk guru. Bukan hanya itu, adanya inflasi yang berdampak pada peningkatan biaya hidup. Pada November 2024, tingkat inflasi adalah 1,55% secara tahunan (year on year/yoy) dan 0,30% secara bulanan (month to month/mtm) . Komoditas penyumbang utama inflasi pada kelompok ini adalah beras, cabai merah, bawang merah, dan daging ayam ras. Bukan hanya itu pemerintah sudah merencanakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Rencana ini tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2024. Peraturan ini menjelaskan bahwa besaran iuran BPJS Kesehatan yang baru, termasuk manfaat yang didapatkan, akan ditetapkan paling lambat tanggal 1 Juli 2025.
Jika kenaikan gaji disandingkan dengan realita biaya hidup yang dihadapi tentu nominal kenaikan gaji tak menjamin kehidupan guru. Sebab, realitas biaya hidup sangat banyak, masih ada yang lain seperti: transportsi/ BBM, biaya rumah/ tempat tinggal, dan komunikasi/ kuota. Sungguh miris, tarik ulur soal kenaikan gaji guru mengungkap realitas pahit bahwa dalam sistem kapitalistik, pendidikan seringkali dipandang sebagai bisnis. Guru, yang seharusnya menjadi pilar utama dalam pendidikan, justru diperlakukan seperti pekerja buruh bagi industri. Dimana guru adalah factor produksi dalam roda ekonomi disektor Pendidikan. Sementara jasa guru terhadap murid-muridnya tak dapat dinilai dengan nominal sebesar apapun.