Bolmut, medisasulutgo.com – Bolmong Utara bukan hanya sekadar nama. Terlukis pengorbanan akan sebuah cita-cita. Ada keringat para pejuang yang tak kenal lelah dan menyerah dengan segala susah payah. Hingga akhinya, lahirlah distrik kebanggan kita bernama Bolaang Mongondow Utara.
Sudah 15 tahun lamanya, kampung dengan segudang potensi yang ada ini berdiri dan menjadi rumah untuk kita semua. Namun, sudahkah kita nyaman menempati hunian ini? Telah terpenuhikah kelangsungan hajat hidup orang-orang di sini?
Pendidikan
“Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia.” Itu kata Nelson Mandela. Lantas, bagaimana dengan paradigma kita di Bolmong Utara? Dengan kesal, tampaknya kita harus mengatakan strategi jitu Nelson Mandela itu masih jauh dari konsepsi pembangunan.
Seorang anak berinisial PM yang tinggal di Desa Gihang, Kecamatan Kaidipang dipaksa melawan kerasnya hidup usai terhenti bersekolah sejak 5 tahun lalu.
Si anak itu, melepaskan seragam merah-putihnya gara-gara tak mampu membayar uang komite di sekolah. Kisahnya terakhir, tak diikutkan ujian karena belum menunaikan kewajibannya.
Di wilayah Desa Paku Selatan, anak-anak di Mts Fathul Khairaat saat pantauan pada November 2021 silam juga dipaksa duduk melantai ketika menerima pelajaran. Masalahnya adalah siswa di sana sebanyak 63 orang. Namun, hanya terdapat 25 kursi.
Lingkungan sekolah juga kadang banjir saat hujan deras turun. Guru dan para murid mesti ekstra hati-hati kalau berkeliaran di seputaran halaman sekolah yang sebagian bangunannya didirikan dari swadaya kayu warga setempat.
Bukan hanya di sana, beberapa sekolah lain juga demikian. Rata-rata masih kekurangan fasilitas dan sumber daya pengajar. Karena keadaan itu, pada akhirnya, anak-anak yang putus sekolah di Bolmong Utara makin bertambah.
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bolmong Utara mencatat ada sebanyak 3.522 anak tidak sekolah dan masyarakat putus sekolah hingga akhir tahun 2018. Belum diketahui hingga pertengahan 2022 ini. Mudah-mudahan saja tidak terus bertambah.
Sejak dimekarkan pada 23 Mei 2007, telah 15 tahun ini harapan masyarakat akan hadirnya perguruan tinggi di Bolmong Utara masih tetap pada taraf mimpi. Padahal, ada ribuan anak negeri dan masih tersebar di daerah tetangga karena harus merantau melanjutkan pendidikan yang juga tak jelas masa depannya.
Putra (26) bercerita singkat selama ia menempuh pendidikan tinggi di Gorontalo. Terkadang harus menahan lapar karena kiriman tak kunjung tiba. Sudah biasa, problem kelaparan, kehausan, sakit, dan rindu jadi teman sejati Putra. Namun, bagi pemuda asal Bolmong Utara itu, kumpulan masalah tersebut bukanlah persoalan besar yang sukar dihadapi.
Berbeda dengan rekan yang lain. Tidak sedikit harus pulang kampung karena tak mampu menyesuaikan dengan keadaan. Padahal, sudah habis puluhan juta karena biaya pendaftaran, tugas, dan ongkos makan-minum sehari-hari.
Coba bayangkan, kalau saja ada perguruan tinggi di Bolmong Utara, segala biaya anak-anak rantau itu bisa berputar di daerah kita. Namun, maksud hati memeluk gunung, apalah daya tangan tak sampai.
Pertanian
Puluhan tahun lamanya, orang-orang yang bekerja di sawah dan gunung itu masih tetap dalam pekerjaan mulia. Pekerja yang kita sebut petani itu adalah satu bagian penting dari siklus kehidupan berkelanjutan. Tanpa mereka, manusia pasti mati. Sudahkah kita menghargainya?
AH (32), Warga Desa Boroko Timur, Kecamatan Kaidipang berkisah saat dirinya mengadu nasib dengan menanam jagung di tanah pinjaman usai di-PHK dari pekerjaan sebelumnya.
Bermodalkan tenaga sendiri dan simpanan secukupnya, AH berusaha menjalani proses pembersihan lahan, penananam, pemupukan, sampai pemanenan. Walaupun, saat melewati tahapan itu, AH harus berhutang karena mahalnya harga bibit dan pupuk.
Berharap rezeki lebih di balik upaya itu, jangankan untung atau balik modal, kerugian malah dialami AH yang telah membuang tenaga dan waktunya selama 4 bulan. Inilah nasib petani Bolmong Utara tanpa sentuhan penguasa.
Sudah kesusahan mendapatkan bibit dan pupuk, ditambah lagi pasaran hasil panen yang tak jelas karena naik turunnya harga. Masalah ini disebabkan hasil panen sebagian besar harus dijual ke daerah tetangga. Maklum, kita tak mempunyai gudang yang bisa memfasilitasi hasil penen petani Bolmong Utara.
Padahal, kalau saja negeri ini mau menaikkan kelas dan strata sosial petani, ada upaya membuat badan usaha daerah. Manfaatnya bukan saja pada petani, melainkan akan menambah pendapatan asli daerah.
Bahkan, yang lebih parah, media lokal memberitakan tidak ada anggaran pupuk untuk petani Bolmong Utara. Itu pada 2019 silam dan hanya ada Pembangunan Unit Pengolahan Pupuk Organik Rp375.000.000.
Sementara tahun 2020, hanya ada Rp512.722.000. Satu tahun setelahnya (2021), malah tidak ada sama sekali. Beruntung, masuk di era 2022 ini, disediakan Rp2.811.760.000.
Namun, angka itu tak sesuai dengan jumlah petani yang masuk dalam kebutuhan kelompok pada tahun 2021 yang berjumlah 7.988 orang. Inilah fakta pembangunan pertanian di Kabupaten Bolaang Mongodow Utara.
Kelautan/Perikanan
“Kalau bicara untuk kesejahteraan nelayan pak, sampai saat ini tidak ada. Untung pemerintah desa kasih bantuan mesin ada 15 orang,” kata Udin (50) warga Desa Boroko Timur, Kecamatan Kaidipang.
Udin sudah 20 tahun bertaruh nyawa di lautan lepas untuk memenuhi kebutuhan anak dan isterinya. Beberapa kali mendengarkan janji dari pemerintah daerah dan berharap mengenai bantuan fasilitas, tetapi tak kunjung tiba.
“Kalau nelayan lain sama sekali tidak ada bantuan. Saya pribadi, pak, bersyukur walaupun sudah puluhan tahun ini, baru satu kali dikasih bantuan,” ucap Udin saat ditemui di pesisiran Pantai Batu Pinagut.
Inilah satu di antara yang menjadi penghambat kemajuan perikanan/kelautan di Bolmong Utara. Dukungan fasilitas sulit didapatkan. Kalau pun ada, penyaluraannya belum terarah dan inilah fakta yang sebenarnya.
Padahal, salah satu potensi besar yang dapat dikelola di Bolmong Utara adalah bidang kelautan dan perikanan. Pasalnya, daerah ini memiliki garis pantai sepanjang 174 KM dengan luas wilayah laut 54.740 Ha.
Potensi budi daya laut kita yakni 5.678 Ha dan Terumbu karang kita yakni 1.546.790 Ha. Catatan sementara (2018) terdapat nelayan sebanyak 9.010 jiwa.
Catatan media menyampaikan berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Bolmut, produksi perikanan tangkap laut pada tahun 2018 mencapai 1928,40 ton. Produksi itu turun jika dibandingkan tahun 2017 yang mencapai 3517 ton.
Bagaimana tahun 2022 ini? Apalagi aktivitas ilegal dari pengeboman ikan kian marak dan belum ada penindakan tegas dari pihak yang berwenang. Hal bikin kesal, perbuatan itu dilakukan orang-orang dari luar. Mereka hanya mau cari untung dan merugikan, bahkan, merusak ekosistem kelautan di perairan Bolmong Utara.
Kita harus berbenah. Karena jika potensi pembangunan kelautan/perikanan Bolmong Utara dikelola dengan baik, masif, dan inovatif, maka dipastikan akan menjadi salah satu sumber modal pembangunan dan pendapatan.
Hal yang utama adalah memberikan manfaat bagi nelayan dan pemerintah daerah. Apalagi kalau dibuatkan pabrik pengelolaan ikan. Tentu nelayan kita di Bolmong Utara akan sejahtera, makmur, bahagia dan sentosa.
Ekonomi
Perbedaan keadaan manusia tidak hanya sebatas jenis kelamin, suku, bangsa, dan warna kulit saja, melainkan juga dalam kehidupan ekonomi. Kita manusia yang mengalami masalah ekonomi itu, diberikan gelar dengan sebutan si-MISKIN.
Gelar yang bikin jengkel itu ada pada kita di Bolmong Utara. Tidak sedikit. Pasalnya, ada 6.530 Jiwa berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bolmut tahun 2021.
Sebenarnya, jika ditelisik tujuan berdirinya suatu wilayah adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh warganya. Namun, di kita, masih terdapat masyarakat dalam keadaan fakir, miskin, bahkan, terlantar.
Padahal, Pasal 34 Ayat I UUD 1945 menyebutkan fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Saya tak bermaksud menyuruh pemerintah daerah memberikan uang pada 6.530 jiwa itu.
Sekali lagi, tidak demikian. Ini hanyalah fakta bahwa di balik kemegahan para penguasa, terdapat jeritan tangis para warga yang tak didengar karena sibuk dengan pembagian jatah proyek ABPB.
Reformasi Birokrasi
Reformasi birokrasi mempunyai 4 sasaran. Pertama, terwujudnya pemerintahan yang bersih, bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme Kedua, meningkatnya kualitas pelayanan publik. Ketiga, meningkatnya kapasitas dana akuntabilitas kinerja birokrasi.
Di Bolmong Utara, dua kata, yakni reformasi birokrasi itu terus dikumandangkan. Pelayanan pada masyarakat diperintahkan untuk lebih dimaksimalkan. Dalam program pembangunan, baik tahapan perencanaan, pelaporan harus jelas arah, tujuan, dan penggunaan keuangan.
Pasalnya, Kabupaten Bolmong Utara, di tahun 2021 kemarin, kembali mendapatkan predikat Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksaan Keuangan. Predikat WTP itu sudah keenam kalinya sejak tahun 2016 silam.
Namun, kalau melihat fakta di lapangan, rasanya tujuan reformasi birokrasi yang salah satunya adalah peningkatan pelayanan publik itu masih jauh harapan.
Di bidang pengurusan administrasi, masih saja susah dan berbelit-belit dengan peraturan yang mestinya bisa disederhanakan. Minimal, kalau terkendala, difasilitasi untuk dicarikan jalan keluarnya. Pengurusan itu biasanya dalam dunia usaha.
Pada bidang kesehatan, bukan rahasia umum lagi, banyak pasien yang mendapatkan penolakan hingga akhirnya tak bisa diselamatkan.
Pernah ada salah satu pasien yang akan melakukan persalinan malah ditolak karena belum adanya surat rujukan dari pihak terkait. Bukan bermaksud saling menyalahkan, tetapi itulah faktanya dan ini harus menjadi pelajaran kita bersama.
Cita-cita reformasi birokrasi di Bolmong Utara tampaknya memang masih jauh dari impian kita. Karena penilaian Kemenpan RB, Bolmong Utara, baru-baru ini mendapatkan predikat C untuk SAKIP dan B pada penilaian reformasi birokrasi.
SAKIP itu adalah Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan yang merupakan integrasi dari sistem perencanaan, penganggaran, dan pelaporan kinerja yang selaras dengan pelaksanaan akuntabilitas keuangan.
Artinya, WTP bukan satu-satunya standar keberhasilan kinerja pemerintah daerah yang harus dibanggakan secara berlebihan. Karena nilai C SAKIP itu adalah dua tingkat paling rendah sesudah D. Ini yang mesti jadi perhatian kita semua.
Satu hal lagi yang perlu disentil juga adalah kedisiplinan Aparatur Sipil Negara (ASN). Pasalnya, pada Senin, 9 Mei 2022 lalu, apel perdana usai lebaran bersama ASN dilaksanakan di kantor bupati. Namun, amat kecewanya bupati, saat melihat banyaknya ASN yang tak ikut pada apel itu. Inikah yang disebut reformasi birokrasi?
Pada akhirnya, kemajuan pembanguanan Bolmong Utara pada beberapa bidang memang ada. Itu perlu diapresiasi. Ada yang kurang, itu juga mesti dibenahi. Segala kritikan harus diterima sebagai bahan evaluasi. Apa yang baik, harus dilanjutkan demi Bolmong Utara dan rumah untuk kita semua.
Dirgahayu Kabupaten Bolaang Mongondow Utara
Penulis: Aden Mansyur