DMO adalah batas wajib pasok yang mengharuskan produsen CPO untuk memenuhi stok dalam negeri sesuai ketentuan. Terkait jumlah DMO yang ditetapkan pemerintah sebesar 300 ribu ton minyak goreng. Jumlah ini 50% lebih besar dari kebutuhan domestik sehingga diharapkan problem kelangkaan tidak akan terjadi lagi. Sedangkan DPO merupakan harga penjualan minyak sawit dalam negeri yang sudah diatur dalam keputusan Menteri perdagangan. Disebutkan harga CPO (sudah termasuk PPN) adalah Rp9.300 per kg. Harga jual tersebut ditetapkan untuk menurunkan harga migor sehingga problem migor mahal diharapkan selesai.
Lantas, apakah kebijakan pemerintah terkait ketersediaan minyak goreng berbasis pemenuhan pasar domestic (DMO) dan patokan harga migor sesuai harga eceran tertinggi bisa efektif menstabilkan ketersediaan minyak goreng dan harga minyak goreng?
Banyak Pengamat menilai bahwa kebijakan ini tidak efektif untuk mengatasi kelangkaan minyak goreng. Dikarenakan kebijakan DMO hanya memperhatikan kuota pasar domestik saja. Untuk aliran barang dari produsen ke konsumen tidak diperhatikan, padahal perhatian migor sampai ke tangan masyarakat merupakan hal yang sangat krusial.
Diketahui bahwa negeri ini terjalin kerja sama antara korporasi dan birokrasi.Jadi walaupun ada aturan larangan ekspor hingga memenuhi kuota domestik dengan bantuan para birokrasi, tetap ekspor CPO ilegal tidak bisa dicegah. Makanya setiap tahun terjadinya ekspor walaupun pemerintah mengganti-ganti kebijakan. Begitu pula keberadaan mafia migor juga bukan menjadi persoalan utama terkait kelangkaan migor. Karena kalau kita analisis lebih dalam lagi keberadaan mafia migor merupakan wujud dari adanya negara korporatokrasi.
Korporatokrasi merupakan model dari negara sistem kapitalisme-demokrasi. Sistem negara ini menyerahkan seluruh urusan rakyatnya pada swasta, baik produsen dan distribusinya. Maka dari itu penguasaan korporasi MIGOR akan selalu ada karena problem utamanya tidak diselesaikan.