Oleh: Maryam Yusuf
OPINI,mediasulutgo.com-DPR RI sedang membahas soal RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) yang salah satu isinya membahas soal cuti melahirkan selama enam bulan. RUU KIA disebut telah disepakati oleh Badan Legislasi (Baleg) dan disetujui oleh 7 Fraksi di DPR.
“RUU ini di Baleg sudah selesai harmonisasi. Sudah diambil keputusan bersama. Ada 7 fraksi yang mendukung untuk dibawa ke tingkat lebih lanjut. RUU ini atau draft ini untuk disahkan atau ditetapkan di rapat Paripurna sebagai RUU inisiatif DPR, baru kemudian dibahas bersama dengan pemerintah dan sangat terbuka masukan dari teman-teman,” ucap anggota DPR dari Fraksi PKB, Luluk Nur Hamidah, dalam acara webinar yang diselenggarakan Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia dengan tema ‘Cuti Melahirkan 6 Bulan, minggu (detiknews.19/6/2022).
Anggota DPR dari Fraksi PKB, Luluk Nur Hamidah Menjelaskan Alasan Kenapa perlunya RUU KIA bagi Calon Ibu adalah Karena depresi pasca Melahirkan (Detiknews/19/6/2022)
Benarkah Solusi?
Meskipun daam RUU KIA ini memberikan jaminan kesejahteraan kepada perempuan ternyata muncul kekhawatiran dari masyarakat yakni akan ada diskriminasi kepada pekerja atau pencari nafkah perempuan seperti salah satu komentar akun Twitter @DPR RI “agak kontra, kalau aku mikirnya perusahaan bakal jadi :agak” mikir kalau mau terima karyawan cewek. Normal yo 3/4 bulan aja…kadang aja ada kantor yang ga rela karyawannya cuti nyampe 3 bulan, apalagi 6 bulan. ?????” tulis warganet di Twitterr, mengungkapkan keresahan mereka.
Wajar saja dilema ini muncul dari kalangan perempuan,terlebih lagi, jika perempuan tersebut menjadi tulang punggung keluarga, sebab ideologi kapitalisme yang diterapakan pada kehidupan saat ini memang gagal menjamin kesejahteraan perempuan.
Pangkal dari kegagaglan ini disebabkan karena ideologi kapitalisme mengukur kesuksesan perempuan pada capaian materi dan posisi publik. Ukuranya angka belaka seperti samanya jumlah gaji dengan laki- laki, jumlah perwakilan perempuan dilembaga publik seperti Eksekutif,legislative dan yudikatif jumlah intelektual perempuan,jumlah perempuan prestasi di bidang profesional dan sebagainya.
Sedangkan tugas utama perempuan sebagai umm warobatul bait ( Ibu Rumah Tangga) sama sekali tidak dimasukan dalam parameter keberhasilan tersebut.karena di anggap non-measurable.Maka seorang perempuan yang tidak bekerja atau hanya seorang ibu rumah tangga di anggap tidak produktif. Apalagi jika perempuan tersebut hidup dalam himpitan ekonomi keluarga, sehingga tawarkan bekerja menjadi solusi alternatif menghadapi persoalan tersebut,dengan bekerja perempuan tersebut dikatakan berdaya dan terhindar dari disktriminasi seperti yang di agunggkan aktifis gender “balance for better. Disisi lain Ideologi kapitalisme gagal untuk menghilangan kodrat perempuan yang harus melahirkan dan mengurus anak maupun keluarga sehingga para karyawan mengambil cuti,maka jelas industry merasa dirugikan. Maka wajar jika perempuan merasa khawatir dengan kebijakan RUU KIA mereka justru akan kehilangan kesempatan bekerja sebagaimana kaum laki-laki sekalipun cuti melahirkan adalah hak mereka.
Dilema ini tidak akan menjadi masalah jika kehidupan manusia di atur dengan sistem yang sohih yaitu sistem Islam yang disebut khilafah. Posisi Perempuan dan laki-laki dalam Islam akan di pandang sama ketika sebagai seorang hamba. Contohnya mereka diwajibkan untuk melaksanakan sholat,puasa,zakat,haji maupun dakwah. Namun Islam tidak mensejajarkan laki-laki dan perempuan karena Allah SWT telah menciptakan laki-laki dan perempuan dengan karakter dan predikatnya masing – masing, seperti kewajiban bekerja yang dibebankan kepada laki-laki dengan karakter dan predikatnya sebagai laki-laki, syara’ menetapkan kewajiban mencari nafkah ada di pundak laki-laki. Seperti dalam firman Allah dalam Q.S Al Baqarah {2}: (233) “ Dan kewajiban ayah memberi nafkah dan pakaian kepada istrinya dengan cara yang ma’ruf”. Dan juga dalam sistem Islam Negara akan menjamin setiap laki-laki akan mendapatkan pekerjaan yang layak sehingga mereka bisa mememuhi kehidupan keluarga mereka secara ma’ruf. Sedangkan untuk perempuan dengan karakter dan predikat sebagai seorang perempuan, syari’at telah menetapakan kewajiban dan tugas mulia mereka menjadi umm warobatul bait (ibu rumah tangga). Keberhasilan mereka diukur ketika mereka mampu mendidik anak-anak mereka menjadi pejuang Islam,tugas ini amat berat maka syariat tidak menambah beban menjadi pencari nafkah. Dalam Islam kewajiban nafkah dibebankan kepada wali. Disisi lain wanita di perbolehkan untuk terjun dalam bidang ekonomi,politik, mengembagkan hartanya dll, sehingga hukum bekerja bagi wanita adalah boleh(mubah). Dalam peradaban Islam wanita bekerja bukan karena himpitan ekonomi, mereka bekerja untuk mengamalkan ilmu mereka. Dan wanita akan dipekerjakan sesuai dengan feminitasnya seperti guru,dokter dll, dan dalam sistem Islam akan memperhatikan jam kerja wanita jangan sampai melalaikan tugas utamanya sebagai umm warobatul bait atau ibu bagi generasi. Sehingga ketika mereka berada dalam masa hamil atau menyusui, mereka bisa mengajukan cuti hamil tanpa beban ekonomi mereka akan terganggu,sebab nafkah mereka di tanggung oleh walinya.