KOTAMOBAGU, Mediasulutgo.com — Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Kasih Fatimah baru-baru ini menjadi sorotan. Hal tersebut menyusul adanya salah satu Tenaga Kesehatan (Nakes) dirumah sakit swasta itu yang membeberkan sejumlah fakta menarik mulai dari dugaan keterlambatan pembayaran gaji hingga honor yang dinilai tidak sesuai dengan beban kerja bahkan jauh dari Upah Minimum Provinsi (UMP).
Kepada mediasulutgo.com, Nakes yang tidak ingin namanya dipublikasikan itu mengatakan, sebelumnya pihak RSIA Kasih Fatima telah berjanji untuk menaikan gaji, namun hingga kini tidak kunjung ditepati.
“Sejak setahun lebih saya bekerja di RSIA Kasih Fatimah. Gaji kami sangat kecil, padahal beban kerja kami cukup besar apalagi sebagai Nakes sangat beresiko terpapar Covid-19. Pihak yayasan pernah menjanjikan untuk menaikan gaji namun tak kunjung di realisasikan”ujarnya.
Yang lebih memilukan lagi ungkapnya, kini dia dan sejumlah tenaga kesehatan di Rumah Sakit tersebut bahkan belum menerima gaji selama dua bulan.
“Sampai saat ini dari pihak RSIA Kasih Fatimah belum memberikan kejelasan terkait gaji. Kami berharap pihak RSIA dapat merealisasikan hasil dari keringat kami ini secepatnya.”harapnya.
Menanggapi hal itu pihak RSIA kasih Fatimah melalui ketua Yayasan, Sitty Masita Korompot SH membantah hal itu. Menurutnya manajemen rumah sakit dalam memberikan gaji kepada seluruh karyawannya sudah melalui mekanisme yang ada.
“Bahwa gaji para Nakes tidak sesuai UMP tidak benar. Dalam manajemen RSIA Kasih Fatimah terdapat beberapa karyawan tetap yang digaji sesuai UMP, yang bertanggung jawab sebagai kepala ruangan dan tugas lainnya. Sementara untuk Bidan, Tenaga Harian Lepas(THL) gaji mereka di sesuaikan dengan jam kerja tidak full time dalam seminggu hanya masuk tiga hari kerja,”Ungkap Sitty.
Ia menambahkan, ada beberapa kriteria terkait para Nakes tetap, seperti memiliki STR, menjadi karyawan selama beberapa tahun, tidak ada pelanggaran selama melakukan pelayanan terhadap pasien, bahkan upah BPJS juga di bayarkan termasuk BPJS ketenagakerjaan.
“Kami dituntut oleh pemerintah untuk melakukan pelayanan kesehatan 1×24 jam diluar penanganan terhadap pasien Covid-19. Jangan hanya rumah sakit swasta yang dituntut untuk penerapan UMP namun juga rumah sakit pemerintah yang dibiayai oleh pemerintah sendiri, karena kami hanya menyesuaikan dengan kemampuan sistem pengelolaan yang masih terbatas,’tegasnya(Roni/Arifin)