Scroll keatas untuk lihat konten
HEADLINESOPINI

Demi Mengejar Eksistensi, Turunkan Taraf Berfikir Generasi

×

Demi Mengejar Eksistensi, Turunkan Taraf Berfikir Generasi

Sebarkan artikel ini

Demi Mengejar Eksistensi, Turunkan Taraf Berfikir Generasi

Oleh: Rostia Mile Penulis adalah Mahasiswa UNG

Advertisement
Scroll kebawah untuk lihat konten
Arus Konten Dan Media Sosial

Tanpa disadari, dunia maya menyihir para pemuda. Tidak sedikit waktu, dana, dan tenaga dihabiskan untuk hal yang sia-sia. Beberapa waktu lalu, seorang remaja tewas tertabrak tersebab mengadang truk untuk demi membuat konten di media sosial. Juga dikutip dari CNN Indonesia, Seorang perempuan di Leuwiliang, Kabupaten Bogor ditemukan tewas dengan kondisi leher menggantung di sebuah tali. Korban berinisial W (21 tahun) tersebut tewas saat membuat konten candaan gantung diri di hadapan teman-temannya via video call.

Hal ini mengakibatkan mati sia-sia demi mengejar konten unfaedah. Perilaku ini banyak dilakukan remaja dan generasi muda hari ini. Demi mengejar eksistensi, adegan berbahaya dilakoni. Berharap kontennya viral, nyawa pun dipertaruhkan Jangankan berpikir masa depan, tentang cara menjadi muslim yang taat kepada Allah dan berjuang untuk agama-Nya pun tidak pernah terpikir sedikit pun di benak mereka.

Virus Pemikiran Yang Menyebar

Hari ini eksistensi diri menjadi hal yang diprioritaskan.  Media sosial saat ini menjadi platform yang paling banyak disukai dan diminati banyak orang. Dahulu, untuk menjadi terkenal harus berusaha keras, punya kenalan atau koneksi, dan berbakat. Sekarang, tidak perlu bersusah payah menggapai ketenaran. Cukup bikin konten sensasional, lalu viral, akhirnya terkenal. Tidak jarang kita jumpai orang-orang melakukan hal aneh demi membuat konten. Bahkan, ada yang nekat “setor nyawa” agar kontennya terlihat sempurna.  Terkadang, mereka yang gila pujian dan eksistensi diri, rela menggelontorkan uang dengan tujuan ingin menunjukkan gaya hidup mewah agar bisa disebut sebagai orang kaya. Kemajuan media membuat hal tersebut menjadi lebih mudah. Hal ini di pengaruhi karena adanya flexing yang dimana menjadi salah satu kata yang sering digunakan di media sosial akhir-akhir ini. Apa itu flexing? Singkatnya, flexing adalah istilah yang merujuk pada seseorang yang menyombongkan gaya hidupnya demi memberikan kesan mampu pada orang lain.

Tidak sedikit dari mereka yang rela menghabiskan uang untuk barang-barang dan fasilitas mewah hanya demi menunjukkannya ke orang lain, khususnya melalui media sosial. Inilah sebabnya mengapa flexing seringkali dianggap sebagai hal yang buruk. Perilaku ini sejatinya adalah perilaku rendah, yang  muncul dari  taraf berpikir yang rendah pula.  Budaya ini menunjukkan ada yang salah dalam kehidupan ini. Dan ini tentulah hasil dari sistem kehidupan yang diyakini masyarakat dalam seluruh aspeknya.

Sebagaimana kita ketahui, saat ini kita hidup di dalam sistem kapitalisme, dalam sistem kehidupan yang serba kapitalistik, sekuler dan liberal. Masyarakat terkadang tidak bisa berpikir jernih, terutama generasi muda. Membuat konten pun tidak lagi mengindahkan etika dan norma. Apalagi jika kita kaitkan dengan standar halal-haram dalam Islam, sangat jauh sekali. Hal yang semestinya tidak diceritakan malah diumbar ke mana-mana, seperti aktivitas seksual dan sebagainya.

Dalam ideologi ini, nilai yang utama harus diraih dalam kehidupan adalah materi. Sementara itu, nilai akhlak, ruhiyah, dan kemanusiaan dikesampingkan. Semua perbuatan ditargetkan untuk mendapatkan materi. Standar kebahagiaan menurut ideologi ini adalah mendapatkan sebanyak-banyaknya materi. Materi tersebut dapat berupa materi fisik berupa harta melimpah atau non fisik, seperti ketenaran dan popularitas. Oleh karena itu, mayoritas remaja akhirnya memandang kehidupan hanya untuk bersenang-senang, jauh dari keinginan untuk berdakwah dan berjuang untuk Islam.

Selain itu, akidah sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan menjadikan generasi saat ini tidak ada semangat untuk menuntut ilmu. Jangankan tergiur dengan pahala yang besar, terbayang dalam benak pun tidak. Ini karena, selama ini tujuan menuntut ilmu bukan mendapatkan pahala dan rida Allah, tetapi materi semata. Dengan demikian, saat ada profesi yang bisa menghasilkan materi berlimpah tanpa harus bersusah payah menuntut ilmu, itulah jalan yang mereka pilih. Jadilah mereka dengan pendidikan seadanya membuat konten YouTube yang unfaedah. Asal banyak yang menonton dan mendatangkan pundi-pundi uang, apa pun dilakukan.

Ideologi kapitalisme telah mengalihkan tujuan hidup manusia yang semula untuk beribadah dan taat kepada aturan Allah Swt., menjadi serba materialistik. Tujuan hidup mencari kebahagiaan materi sebanyak-banyaknya tanpa peduli standar agama sebagai pedoman hidup yang sesungguhnya. Namun, lagi-lagi, atas nama sistem demokrasi kapitalistik, ajaran mulia ini ditentang. Saat ini, pemikiran sekuler kapitalisme banyak menjangkiti generasi muda yang melahirkan budaya liberal dan gaya hidup hedonis yang hanya tahu hidup untuk bersenang-senang dan bahagia menurut definisi manusia. Sistem hari ini gagal menunjukkan kemuliaan manusia melalui ketinggian taraf berpikirnya. Negara gagal melahirkan sosok individu berilmu tinggi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *