Apalagi dalam konteks Gorontalo. Semenjak dulu mentalitas “Tutuhiya” menjadi salah satu instrumen yang memunculkan kegaduhan politik selama berabad-abad lamanya.
Jika membuka lembaran sejarah pemerintahan Linula dan Pohala’a di Gorontalo sejak abad XIII misalnya, sangat jelas tersaji, bagaimana konflik dan kekisruhan politik pemerintahan kala itu yang lebih disebabkan oleh mentalitas “Tutuhiya” dari para elit dalam memperebutkan kekuasaan.
Tidak heran, jika sejak abad XV Masehi dalam catatan sejarah Gorontalo, disebutkan bahwa untuk meminimalisir konflik bersaudara di Gorontalo dan sebagai upaya kompromi kala itu, maka di Pohala’a Limutu dan Hulonthalangi, tercetus pemerintahan Dwi tunggal, yakni satu Pohala’a dipimpin oleh 2 Raja yang dikenal dengan “Olongia Ta To Tilayo dan Olongia Ta To Huliya Liyo”.
Berdasarkan fakta sejarah itulah, maka dalam sepanjang perjalanan pemerintahan Pohala’a di Gorontalo, terjadi 2 perjanjian perdamaian yang tercetus, yakni perjanjian perdamaian “Tuwawu Duluwo Limo Lo Pohala’a tahun 1481 yang dipelopori oleh Raja Suwawa, bernama Gintulangi dan perjanjian Duluwo Limo Lo Pohala’a tahun 1673 yang dipelopori oleh Popa dan Raja Eyato.
Mirisnya, di era demokrasi saat ini, mentalitas “Tutuhiya” itu tidak dapat dipungkiri masih diwarisi oleh sekelompok elit politik Gorontalo yang menjerumuskan mereka menjadi “politisi petualang”
Ciri Politisi Petualang diantaranya, adalah kemampuannya hanya bisa mengelola kesalahan dan aib yang masuk dalam ranah pribadi seseorang, sebagai “tunggangan” dan obyek untuk memuluskan jalannya menuju kekuasaan. Mengapa? Karena ia tidak memiliki daya intelektual yang memadai, tidak memiliki modal sosial yang kuat sementara ambisi politiknya menggebu-gebu.