Sebagai sosok akademisi yang identik sebagai insan “pembelajar”, Prof. Nelson tentu sudah belajar dan mengambil hikmah dari apa yang dialami oleh para politisi seniornya terdahulu itu.
Siapapun yang menjadi Gubernur, Bupati bahkan Presiden sekalipun, bukanlah malaikat, melainkan seorang “manusia” yang secara kudrati memiliki segala kelebihan juga kekurangan dan kelemahan yang melingkupinya. Sebagai manusia, mereka sudah pasti punya masa lalu lembaran hidup yang hitam dan putih, pernah khilaf dan salah yang mewarnai kehidupan mereka.
Oleh karena itu, sangat wajar jika politisi sekaliber Adhan Dambea menyebut, bahwa politisi yang memainkan isu masalah pribadi seseorang, sebagai “pengecut”. Karena sesungguhnya politik itu adalah ranah akal sehat, yang sejatinya menyuguhkan kompetisi yang fair tanpa menyentuh ranah urusan kehidupan pribadi seseorang.
Ketika seorang politisi menyerang politisi lainnya dengan “aib yang masuk ke dalam ranah pribadi seseorang”, maka disitulah kehancurannya berawal. Mengapa? karena dia sendiri tidak bisa menjamin bahwa dirinya bebas dan bersih dari “aib serta dosa” yang memang melekat kuat dalam diri setiap manusia.
Itulah sebabnya dalam tataran politik praktis, lahirlah 2 jenis politisi, yakni pertama, jenis “Politisi Lurus yang menempatkan politik sebagai wahana meraih kekuasaan dengan cara-cara yang normatif. Kedua, “Politisi Petualang” yang menempatkan politik sebagai “ansich” meraih kekuasaan dengan menghalalkan berbagai cara.
Buktinya, dalam tataran politik Indonesia hari ini, ketika muncul seorang tokoh yang “unggul” dari aspek intelektualitas, pemikiran, kinerja dan kebijakan akan selalu dicari sisi kelemahan “kemanusiaannya” yang akan menjadi obyek bulan-bulanan oleh lawan-lawan politiknya.