Kini, berkat adanya Cincau Clinic, paling tidak seminggu sekali Wahyudi bisa menjual daun cincau sebagai bahan minuman.
“Saya menanam cincau jenis jelly. Tapi karena Cincau Clinic butuh juga cincau bulu, maka saya bisa mengajak petani lain. Alhamdulillah, adanya akses pemasaran ini saya bisa memperluas lahan agar kesinambungan pasokan terjaga,” papar Wahyudi.
Fidya menyebut bahwa adanya UMKM yang bisa menggerakkan rantai pasok (supply chain) merupakan tujuan utamanya mendirikan Cincau Clinic. Rantai pasok yang ia maksud adalah adanya petani yang memasok bahan baku, UMKM yang memproduksi produk, dan memasarkannya ke konsumen.
“Sebaik-baiknya bisnis tentu yang bisa bermanfaat buat orang banyak, termasuk saudara-saudara kita para petani,” urai Fidya yang juga alumni Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, Surabaya ini.
Apalagi menurut Fidya, industri makanan dan minuman (mamin) menyimpan potensi pasar serta kontribusi yang signifikan terhadap struktur ekonomi nasional. Ia kemudian menyitir data Kementerian Perindustrian, dimana 99 persen pelaku industri makanan-minuman adalah pengusaha mikro dan kecil.
Secara keseluruhan, ada 1,68 juta pelaku industri berskala mikro dan kecil yang berkontribusi terhadap output industri makanan-minuman nasional sebesar 10 persen.
Fidya kembali mengingatkan bahwa pedagang es tradisional kini perlahan mulai tergeser oleh dominasi minuman kekinian dari luar negeri. Ia menyebut misalnya dominasi bubble tea, minuman manis asal Taiwan. Lalu ada thai tea, minuman khas Thailand.
“Kita sadar sekarang eranya globalisasi. Jadi tantangannya adalah bagaimana minuman tradisional bisa menyesuaikan diri tanpa harus meninggalkan identitas aslinya,” ujar Fidya.