Bukan Sekadar Gejolak Jiwa Muda
Berdasarkan rumusan tahapan perkembangan psikososial oleh Erik Erikson, remaja ada pada rentang usia 12–18 tahun. Pada masa ini mereka mengalami krisis identitas. Fisiknya seperti orang dewasa, tetapi jiwanya seperti anak-anak. Stanley Hall menyebut masa remaja sebagai masa “storm and stress” sehingga rawan terjadi konflik dengan teman sebaya.
Namun, persoalannya bukan sekadar gejolak jiwa muda ini. Berbagai persoalan lainnya berkelindan sehingga menyebabkan ledakan masalah. Para pemuda ini, jika sedari dini mendapatkan pendidikan yang baik dari keluarga akan tumbuh menjadi sosok yang matang pada usia balig. Tidak ada masa krisis identitas karena identitas dirinya telah terbentuk melalui proses pendidikan oleh keluarga selama bertahun-tahun sejak ia bayi.
Oleh karenanya, pendidikan keluarga merupakan benteng terbaik yang mencegah pemuda berbuat kekerasan. Sayangnya, hari ini, benteng ini jebol seiring dengan rapuhnya institusi keluarga. Belum lagi dorongan pada kaum ibu untuk berbondong-bondong keluar rumah untuk bekerja demi nafkah keluarga telah mencabut peran ibu sebagai pihak yang utama melakukan pendidikan terhadap anak dalam keluarga. Sedangkan para ayah telah terlebih dahulu dimandulkan perannya dengan persepsi bahwa tugas ayah hanya mencari nafkah dan berlepas tangan terhadap pendidikan anak.
Akibatnya, lahirlah generasi motherless dan fatherless yang galau mencari identitas diri dalam per group yang senasib. Kegalauan para pemuda ini bertemu dalam kebingungan yang sama dan mendorong mereka untuk memperoleh pengakuan terhadap eksistensi dirinya dengan berbuat kriminal.