Scroll keatas untuk lihat konten
OPINIHEADLINESHUKRIMNASIONAL

Budaya Kekerasan Pada Generasi Cermin Bobroknya Sistem Kehidupan

×

Budaya Kekerasan Pada Generasi Cermin Bobroknya Sistem Kehidupan

Sebarkan artikel ini

Oleh : Ayu Moidady  (Mahasiswi Arsitektur)

OPINI,Mediasulutgo.com-Aksi Premanisme makin menjamur di tahun 2023 ini. Pelakunya juga banyak dari kalangan pemuda. Tidak tanggung-tanggung, sebagian bahkan berasal dari kalangan berpendidikan ataupun anak orang berada. Maraknya sikap layaknya preman tentu sangat mengkhawatirkan. Mengapa perilaku amoral ini terus bermunculan?

Advertisement
Scroll kebawah untuk lihat konten

Padahal sekarang  publik baru saja sedikit lega setelah kasus Brigadir J tuntas dengan jatuhnya vonis kepada Sambo c.s., tetapi tidak sedikit pula warganet yang menganggap kasus Mario mirip Sambo, bahkan menyebut Mario sebagai Sambo U-20. Apa pun itu, yang jelas kasus Mario ini bikin gaduh bagai genderang ditabuh.

Dalam kasus penganiayaan anak pejabat pajak Mario Dandy Satriyo, terhadap putra petinggi GP Ansor Jonathan Latumahina, David, memasuki babak baru. Penganiayaan secara brutal oleh Mario ini terjadi di sebuah perumahan di Pesanggarahan, Jakarta Selatan, Senin (20/2) sekitar pukul 20.30 WIB dan berdasarkan video yang viral, publik setuju bahwa perilaku Mario terhadap D adalah jahat, terlebih D sampai mengalami koma. Kita bisa membayangkan betapa keji tindak kekerasan yang Mario lakukan terhadapnya. (CNN Indonesia).

Pakar Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Adrianus Meliala menyebutkan ada kemungkinan Mario bisa bertindak brutal karena selama ini terbiasa hidup penuh kemudahan dan tidak pernah ada di posisi hidup susah atau situasi yang down. Ini bisa menjadikan emosinya memuncak ketika dilanda masalah hingga menjadikan korban D sebagai pelampiasan.

Selain itu, berdasarkan temuan terbaru, di dalam mobil Jeep Rubicon Mario yang kini terparkir di halaman Polres Jakarta Selatan, terdapat minuman keras di bagian jok belakang dengan isi yang masih ¾ botol. Ini menguatkan dugaan bahwa tindak kejahatan Mario makin menjadi-jadi karena dipicu konsumsi minuman keras.

Kasus kedua yang juga viral adalah pemerkosaan terhadap seorang siswi SMP berumur 14 tahun di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Mirisnya korban meninggal setelah diperkosa beberapa temannya yang juga masih berusia 15 tahun. (kompas.com, 25-2-2023).

Dan kasus ketiga, lima orang pemuda berumur 17-19 tahun melakukan pencurian dengan kekerasan di Purwakarta. Mereka tercatat masih berstatus siswa SMK di Kabupaten Purwakarta. Kelima pemuda ini mencoba merampas ponsel korban setelah sebelumnya membacok punggung korban dengan celurit. (jurnalpolri.com, 22-2-2023).

Tiga kasus di atas hanyalah secuil kejadian nyata. Banyak tindakan premanisme lainnya yang membuat resah publik hingga lebih memilih diam walau sebenarnya mereka geram.

Kita juga bisa melihat fenomena tawuran antarpelajar dan klitih yang kerap terjadi dan meresahkan masyarakat. Korbannya tidak hanya para pelajar, tetapi juga menyasar warga yang lewat. Kekerasan jalanan ini merupakan tradisi yang diwariskan secara turun-temurun sehingga sulit untuk memutus rantainya.

Kenakalan remaja atau yang disebut juvenile delinquency dalam bahasa Inggris tidak hanya marak di Indonesia, tetapi telah menjadi permasalahan global. Data World Health Organization (WHO) pada 2020 menunjukkan bahwa setiap tahunnya terjadi 200 ribu pembunuhan di kalangan pemuda usia 12-29 tahun. Sebanyak 84 persen kasus melibatkan pemuda laki-laki.

Begitu seriusnya persoalan ini hingga WHO menyatakan bahwa kekerasan di antara pemuda telah menjadi isu kesehatan dunia. Kasus seperti kekerasan fisik, perundungan, kekerasan seksual, dan bahkan pembunuhan oleh pemuda terjadi di seluruh penjuru dunia. Ini menunjukkan bahwa kekerasan oleh pemuda bukan kasuistik, tetapi merata di berbagai negara.

Miris sekali, pendidikan negeri ini dan dalam berbagai negri lainya ternyata turut melahirkan pemuda berjiwa preman dan anarkis. Mereka tidak memikirkan efek dari tindakannya dan sekadar mengikuti garizah baqa (naluri eksistensi diri) demi kepuasan sesaat. Memang benar, setiap manusia dilahirkan dengan karunia naluri ingin eksis. Namun, cara memenuhinya tidak boleh serampangan seolah tidak ada aturan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *