Adapun narasi “tambang untuk meningkatkan pembangunan ekonomi,” ini tidak lebih dari sekedar obat penenang semata. Karena fakta di lapangan justru berbanding terbalik dengan narasi-narasi indah yang dibangun oleh pemerintah. Menurut ayobandung.com, 12 provinsi di Indonesia yang memegang predikat sebagai provinsi termiskin, mulai dari Papua, Maluku, Gorontalo, Aceh, Bengkulu, hingga NTB adalah provinsi yang sama yang juga memiliki di daerahnya. Fakta ini sangat mencengangkan, bukan? Bagaimana mungkin provinsi yang memiliki harta karun tidak terhitung dibawah tanahnya namun justru tidak merasakan cipratan keuntungan dari hasil alam mereka sendiri. Lantas dimanakah letak pembangunan ekonomi itu? Pada kenyatannya para ellit dan penguasa-lah yang paling banyak mendapatkan keuntungan dari kesuksesan tambang tersebut. Mereka datang ke daerah-daerah terpencil, mengiming-imingi kompensasi dan dibukanya lapangan pekerjaan, menjual omong kosong atas kesejahteraan, namun ketika harta karun itu sudah ada di tangan, mereka kabur membawa semuanya ke ibu kota demi mengenyangkan perut mereka sendiri. Hal ini dapat dilihat saat membandingkan antara provinsi yang memilki tambang dengan yang tidak, justru provinsi seperti Jakarta dan Bali yang tidak punya galian tambang-lah yang menjadi provinsi terkaya dan hidup sejahtera. Adapun anggapan bahwa dengan di bukanya industri tambang, maka akan dibukakan pula lapangan pekerjaan secara massal untuk warga lokal yang tinggal di dekat kawasan tambang, pada kenyataannya tidak demikian. Pekerja dan buruh yang direkrut malahan kebanyakan adalah warga asing. Hal ini tidak perlu mengherankan lagi karena sejak awal pemiliknya atau investor utamanya adalah pihak asing juga.
Alhasil, narasi pembangunan yang selalu dijadikan sebagai pembelaan terhadap tambang sebenarnya hanya diperuntukkan kepada segelintir orang dan untuk wilayah tertentu saja. Sementara daerah-daerah terpencil yang diambil hasil tambangnya malah tidak terkena getah dari pembangunan ekonomi tersebut, bahkan penduduk aslinya menjadi pihak yang paling dirugikan. Inilah yang terjadi apabila sistem kapitalis yang bekerja dalam mengatur jalannya suatu negara. Semua sektor dikapitalisasi, materi dijadikan sebagai segala-galanya, kepentingan individu dan golongan adalah priorintas nomor satu bahkan jika itu harus mengorbankan hajat hidup orang banyak. Sehingga sulit rasanya jika dalam sistem kapitalis hari ini tidak ada yang namanya bad mining seperti yang diharapkan Ulil. Bukannya kita tidak mengharapkan good mining dalam pertambangan, tapi track record Indonesia telah membuktikkan bahwa tidak ada namanya aktivitas tambang yang 100% baik dan benar, entah dari segi pengelolaan ataupun pendistribusian keuntungannya jika kita masih tenggelam dalam kubangan sistem kapitalisme.