OPINI,mediasulutgo.com — Penemuan pagar laut misterius di perairan Kabupaten Tanggerang berhasil menghebokan publik baru-baru ini. Padahal, aktivitas pemagaran laut ini sudah diindera pertama kali oleh pihak Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten sejak 14 Agustus 2024 kemarin dan dilanjutkan dengan pengecekan langsung ke lapangan pada 19 Agustus 2024. Dalam pengecekan tersebut, panjang pagar yang sebelumnya masih terpantau 7 km, kini telah terbentang jauh sepanjang 30 km di ditengah lautan biru (Kompas.com, 8/1/2025).
Namun anehnya, walaupun perkara ini sudah mulai tercium dari tahun lalu, per hari ini, pihak berwajib tak kunjung mengeluarkan pernyataan resmi mengenai siapa dalang sebenarnya dari pembangunan liar yang mengganggu aktivitas warga tersebut. Penyelidikan yang berjalan lambat dan mengarah pada ketidakjelasaan seolah menunjukkan bahwa penegak hukum terpantau lesu dalam menindaki masalah ini. Hingga kini, siapa, bagaimana, dan mengapa pagar laut ini dipasang masih berstatus misterius. Pemerintah seperti masih meraba-raba padahal sudah ada beberapa bukti yang mengindikasikan adanya pelanggaran hukum dan administratif dalam kasus ini.
Sebelumnya pada Sabtu (18/1), Elisa Sutanudjaja seorang pengamat perkotaan, melalui akun X-nya, membagikan adanya temuan sertifikat HGB (Hak Guna Bangunan) untuk lokasi pagar laut sepanjang 30,16 km tersebut. Hal ini juga ikut dibenarkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang Nusron Wahid, bahwa 263 bidang dan sekitar wilayah perairan tersebut memiliki sertifikat HGB dan 17 bidang lainnya memiliki sertifikat hak milik (SHM). Menurut Nusron, sembilan bidang diberikan sertifikat HGB atas nama individu, dan 254 bidang lainnya dimiliki oleh dua perusahaan. Dalam konferensi pers pada Senin (20/1), Nusron menyatakan, “Atas nama PT Intan Agung Makmur sebanyak 234 bidang, dan atas nama PT Cahaya Inti Sentosa sebanyak 20 bidang.”
Meskipun demikian, Nusron menambahkan bahwa area di luar garis pantai termasuk dalam area milik bersama yang tidak dapat disertifikasi. Hal ini tertuang dalam pasal 8 UU Pokok Agraria yang dengan tegas melarang adanya kepemilikan individu atau perorangan serta badan hukum atas objek sumber daya air. Maka sudah jelas ada cacat prosedur yang tidak dilakukan dengan benar atau dimanipulasi oleh beberapa pihak. Jika nama sudah dikantongi, sertifikat yang dikeluarkan juga telah terbukti menyalahi aturan, lalu mengapa sampai hari ini belum ada pihak yang ditetapkan sebagai tersangka? Apakah buramnya penanganan kasus ini dikarenakan oleh akrobat hukum di dalamnya─dimana penguasa dan para oligarki saling kongkalikong untuk mempermainkan kasus ini di atas meja kekusasaan?
Kapitalisme adalah Rumah Oligarki
Terungkapnya HGB serta korporasi dan individu dibalik kasus ini ternyata tidak menjamin cepat atau tidaknya penegakan hukum akan berjalan. Sulit untuk membayangkan bahwa pagar laut sepanjang 30 km yang terletak di perairan Tanggerang memiliki sertifikat HGB, namun tidak ada satu pun pemerintah pusat atau daerah yang menyatakan bahwa mereka mengetahuinya. Maka sangat mudah untuk publik menyimpulkan bahwa terbitnya HGB ini tidak lepas dari adanya aktivitas suap menyuap yang menjadi tabir awal terbukanya praktek mafia tanah dan kelautan. Belum lagi adanya indikasi pemalsuan data dan dokumen pelengkap untuk membuat aktivitas ini terkesan legal dan resmi.
Inilah penampakan negera ala kapitalis, dimana negara lebih mementingkan kenyamanan para oligarki daripada membela kedaulatan rakyat dan kelestrarian alam. Sudah jelas pihak pertama yang mendapatkan kerugian atas pemagaran laut ini adalah rakyat itu sendiri. Para nelayan yang tinggal disekitar laut menjadi kesusahan menangkap ikan sehingga mereka kehilangan mata pencahariannya. Di tambah lagi dampak lingkungan yang ditimbulkan, batang bambu yang ditancapkan ke dasar laut berpotensi merusak terumbu karang yang ada disana. Namun fakta tersebut tak kunjung juga menyentuh hati para penguasa, karena dalam sudut pandang kapitalisme, kebebasan kepemilikan individu sangat dijunjung tinggi termasuk laut pun bisa dimiliki individu.
Individu yang hidup dengan mental kapitalis akan menimbulkan keserakahan yang tidak ada habis-habisnya dan tidak akan pernah merasa puas. Bahkan setelah kesengsaraan rakyat dan kerusakan lingkungan yang terjadi, negara tetap tidak bisa menghukum mereka. Akibatnya rakyat berdiri sendirian tanpa adanya negara yang membekingi mereka. Negara terkurung oleh penjara ‘kebebasan individu’ dan hanya dapat bertindak sebagai regulator yang dikontrol untuk memenuhi hasrat para oligarki kapitalis. Padahal, peran negara lebih daripada itu, sesungguhnya negara adalah pengurus (raa’in) dan perisai (junnah) bagi umat manusia.
Kedaulatan dalam Islam
Di bawah kacamata Islam, negara meletakkan kedaulatan di tangan syariat, bukan di tangan manusia. Jika dilihat dari bagaimana regulasi kepemilikan dalam kasus pagar laut di atas, jelas ini tidak bersumber dari syariat Islam, melainkan dari hawa nafsu manusia yang serakah dan berambisi menggapai dunia dengan cara apapun. Padahal seluruh perilaku, ucapan, dan kebijakan penguasa haruslah tunduk pada syariat Islam dan hanya wajib menjalankan aturan Islam saja. Penguasa haram menyentuh harta milik publik, memfasilitasi orang lain untuk mengambil harta milik publik, dan bahkan menerima suap atas posisi yang ia jabat. Akibatnya kedaulatan penuh ini membuat negara tidak akan pernah menyerahkan SDA pada oligarki walaupun dihadapkan dengan iming-iming harta sekalipun. Karena dalam pandangan Islam, SDA seperti laut merupakan aspek yang dimana manusia berserikat akan hal tersebut.
Dalam ekonomi Islam, konsep kepemilikan harta dibagi menjadi tiga kategori: kepemilikan individu, kepemilikan publik, dan kepemilikan negara. Mengenai laut, keberadaanya adalah kepemilikan umum yang tidak boleh dimiliki secara pribadi. Negara akan tegas menindak semua yang melanggar hukum jika ada pihak yang mencoba memprivatisasi laut, seperti pagar laut. Negara memiliki kemampuan untuk menerapkan sanksi tegas terhadap individu yang melakukan pelanggaran hukum dan undang-undang Islam. Dalam Islam, sistem sanksi memiliki dua fungsi: pencegahan (zawajir) dan penebusan (jawabir). Artinya, orang lain yang bukan pelanggar hukum dilarang melakukan tindakan kriminal yang sama dan jika pelanggar hukum diberi sanksi, itu dijadikan sebagai bentuk penebusan dosanya. Adapun dalam kasus seorang pejabat pemerintah menerima hadiah dari orang lain yang terkait tugas yang ia emban, hadiah tersebut termasuk ghulûl dan hukumnya haram bila ia menerimanya, meskipun hadiah tersebut diberikan dengan senang hati.(**)